JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua I Komite I DPD RI, Dr Filep Wamafma menyoroti somasi yang dilayangkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) kepada Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Menurut senator muda itu, LBP terkesan emosional dan kekanak-kanakan menanggapi kajian cepat yang dilakukan YLBHI, KontraS, LBH Papua dan rekan lainnya.
Ini kajian berdasarkan data yang menyebut nama-nama dibalik konsesi tambang di Papua. Kalau tidak benar, silahkan buka data yang benar ke publik.
“Data, ya dilawan dengan data! Rakyat Papua butuh jawaban, bukan somasi terkait dengan temuan itu. Somasi tidak dapat menghilangkan keresahan dan ketakutan rakyat Papua,” kata senator muda yang juga Akademisi Papua Barat ini.
Menurut Filep, hasil kajian cepat yang menyimpulkan adanya praktik bisnis militer kaki kedua di Intan Jaya, sekaligus menyingkap adanya potensi kepentingan ekonomi harus menjadi kajian yang lebih serius.
Dia menganggap, data itu tak bisa dianggap main-main jika semua pihak benar-benar ingin memperbaiki Tanah Papua. Dia
mengkhawatirkan jika data itu benar, ini akan membangkitkan semangat perlawanan Orang Asli Papua (OAP) terhadap oligarki yang selama ini terus menguras kekayaan SDA Papua khususnya di Intan Jaya.
Apalagi, masyarakat sipil terus menjadi korban konflik berkepanjangan antara TNI/Polri dan OPM.
Di Intan Jaya, sekitar 1200an masyarakat sipil yang terdata sebagai pengungsi, termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak.
“Mereka melarikan diri karena takut jadi korban salah tembak! Semua itu karena banyaknya TNI/Polri yang diturunkan dan terus terjadi baku tembak dengan TPNPB. Kalau benar ujung-ujungnya semua ini karena motif ekonomi, harus memakan korban berapa banyak lagi?,” tegas Filep saat dimintai komentar, Minggu (29/8).
Menurut senator Papua Barat ini, rakyat manapun tidak ingin dijadikan sebagai objek kepentingan investasi dan politik. Rakyat Papua ingin SDA yang dimiliki memberikan kesejahteraan. Yang terjadi saat ini, bukannya kesejahteraan yang didapat, justru ketakutan menghantui karena adanya konflik yang tak kunjung usai dan rakyat harus menanggung dampaknya.
“Data yang mencuat ini momentum pembuktian. Siapa dan apa motifnya. Dan itu bisa membuka mata kita semua tentang problem sesungguhnya di Papua,” demikian Filep Wamafma. (akhir)