SURABAYA, Beritalima.com|
Baru-baru ini, kasus polio di Indonesia kembali menggemparkan masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa telah terjadi penemuan tiga kasus polio di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Adanya kasus tersebut menjadikan Indonesia masuk ke dalam status Kejadian Luar Biasa (KLB) polio. Salah satu penyebab meningkatnya polio pada beberapa daerah tersebut adalah rendahnya tingkat vaksinasi. Untuk itu, pemerintah perlu menyelenggarakan sosialisasi vaksinasi secara masif kepada setiap elemen masyarakat.
Pakar Komunikasi Kesehatan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) Dr Liestianingsih Dwi Dayanti Dra MSi membagikan pandangannya terkait persoalan tersebut. Menurutnya, pencegahan polio melalui sosialisasi vaksin secara masif sangatlah penting. Terlebih, penyakit polio sangat berbahaya karena menyebabkan kelumpuhan otot yang tidak ada obatnya.
“Pencegahan Polio melalui vaksinasi menjadi sangat penting,” ucapnya.
Sosialisasi dan Persoalannya
Dosen yang akrab disapa Lies itu menilai, upaya pemerintah dalam melakukan sosialisasi vaksin polio sudah cukup baik dan tepat. Berkali-kali pemerintah mengimbau masyarakat untuk mencegah penularan virus polio secara rutin.
“Pemerintah telah mengimbau masyarakat misalnya untuk melakukan imunisasi rutin bagi anak, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta membiasakan kebiasaan BAB (Buang Air Besar) di jamban,” jelasnya.
Kendati demikian, tidak semua masyarakat memahami pentingnya mencegah virus polio dengan baik. Tidak sedikit dari mereka yang menolak pemberian vaksin dengan bermacam alasan.
“Ada beberapa kelompok justru menolak semua vaksinasi termasuk vaksinasi polio karena bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Inilah tantangan dalam sosialisasi vaksinasi yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi pemerintah,” ujar Lies.
Pendekatan Budaya
Lebih lanjut, Lies menuturkan bahwa pencegahan polio tidak cukup dengan sosialisasi kesehatan saja. Menurutnya, perlu adanya pendekatan lain yakni pendekatan budaya yang lebih dekat dengan masyarakat.
“Dengan pendekatan ini kita bisa melibatkan tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain,” tutur penulis buku Hubungan Masyarakat itu.
Pendekatan kesehatan maupun budaya perlu menyasar seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). Pasalnya, hingga saat ini sosialisasi vaksin polio masih belum merata di seluruh Indonesia.
“Contohnya pendekatan di sekolah-sekolah. Atau bisa juga petugas vaksinasi langsung menyebar ke masyarakat layaknya vaksinasi COVID-19. Dengan demikian, sosialisasi vaksinasi polio dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat,” terang Lies.
Pada akhir, Lies berharap agar seluruh lapisan masyarakat ikut serta menyuarakan urgensi vaksin polio. Perguruan tinggi, kata Lies, bisa menjadi salah satu fasilitator untuk mendukung pencegahan polio dengan berbagai pendekatan.
“Misalnya mensosialisasikan urgensi vaksinasi polio atau menyadarkan masyarakat tentang bahaya penyakit polio,” pungkas Lies.(Yul)