Soal Zakat Pengurang Pajak, Anis: Perlu Kajian Mendalam Terkait Pelaksanaan

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Provinsi Aceh Darussalam merupakan daerah yang diberi keistimewaan untuk menjadikan zakat sebagai pengurang pajak. Hal itu berdasarkan Undang-Undang (UU) No: 11/2006. Padahal, sebelumnya, zakat telah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sayangnya, UU No: 11/2006 itu sampai saat ini belum bisa dilaksanakan.

Menilik praktek di negeri jiran Malaysia, kata anggota Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati, zakat sudah dapat menjadi pengurang pajak dan tak masuk dalam anggaran pemerintah. Karena besarnya potensi zakat di Indonesia, saat ini Rp500 triliun, sudah selayaknya pemerintah segera mempersiapkan aturan pelaksanaan zakat sebagai pengganti pajak.

Wakil rakyat yang membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan tersebut dalam keterangan pers yang diterima awak media mengatakan, wacana mengenai zakat sebagai pengganti pajak sudah sejak lama menjadi diskusi dikalangan akademisi dan pemangku kebijakan.
Kebijakan publik terkait zakat sebagai pengurang pajak selain berkaitan dengan masalah substansi akademik, juga dominan berkaitan dengan keputusan politik dari pemerintah dan stakeholder terkait.

Dalam Islam telah dijelaskan melalui konsep keuangan publik Islam klasik, posisi zakat adalah menjadi bagian utama dari penerimaan Baitul Maal yang dialokasikan secara terikat untuk para penerimanya. Dalam perkembangan mutakhir, berbagai negara muslim menetapkan zakat dengan kondisi yang beragam dari bersifat mandatory sampai voluntary.

“Dalam konteks NKRI, pengelolaan zakat (sebagaimana dituangkan dalam UU Pengelolaan Zakat) sampai hari ini masih menganut paradigma voluntary dan memberikan partisipasi masyarakat untuk mendirikan LAZ,” kata Anis.

Jika mengacu kepada khazanah awal keuangan publik Islam, jelas Anis, kecenderungannya akan mengintegrasikan zakat pada keuangan publik negara. Untuk kondisi Indonesia saat ini, dengan menimbang berbagai konsideran konstitusi dan UU yang berlaku, diperlukan objektifikasi dengan berbagai konsideran yang kontekstual, mempertimbangkan kemaslahatan yang terbesar.

Dalam pandangan Anis, tantangan yang dihadapi Pemerintah saat ini untuk menerapkan zakat sebagai pengganti pajak diantaranya, kondisi penerimaan negara dan terutama penerimaan perpajakan yang sangat berat, membuat kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, langsung dipersepsi pemerintah akan mengurangi penerimaan negara.

Selain itu, tuntutan dari pemeluk agama lain atas kewajiban keagamaan yang sejenis untuk mendapatkan equal treatment juga menjadi tantangan lain. Dan pelaksanaan Keuangan Negara (APBN) dan Keuangan Sosial Islam yang belum sinergis atau terintegrasi, menjadi tantangan tersendiri.

Menurut Anis, kebijakan zakat sebagai pengurang pajak membutuhkan kajian kebijakan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan keragaman serta perlu analisis yang lebih detail. Selain itu juga butuh political will dan dukungan penuh dari Pemerintah dan kekuatan politik serta stakeholder lainnya. Sinergi dan integrasi yang lebih mendalam antara keuangan publik negara dengan keuangan sosial Islam, juga sangat diperlukan.

Selain itu, pemerintah perlu membuat disain perencanaan pembangunan nasional dan sinergi kebijakan yang kokoh untuk optimalisasi dan sinergi seluruh potensi keuangan negara.

“Keuangan Publik Negara, Keuangan Sosial Islam, dan Dana-Dana Sosial Masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan harus disinergikan dengan baik sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait