Soegondo Djojopoespito Agar Diajukan Jadi Pahlawan Nasional

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH

PUNCAK peringatan HUT ke 93 Sumpah Pemuda tingkat Jawa Timur, 28 Oktober 2021, diselenggarakan di Tuban.  Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, upacara Sumpah Pemuda biasanya dilangsungkan di halaman gedung negara Grahadi,  Surabaya.

Ternyata, ada maksud “terselubung” dari Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, memindahkan upacara kenegaraan itu ke alun-alun Kota Tuban. Sebagai mantan Menteri Sosial, Khofifah “merasa punya hutang” kepada rakyat Kabupaten Tuban.

Dengan diselenggarakannya Upacara Sumpah Pemuda di Tuban, maka terkuaklah apa yang menjadi “uneg-uneg” Khofifah. Bahkan, sebagai upaya “mencicil hutangnya” kepada rakyat Tuban.

Lho, hutang apa? Mungkin selama ini ada yang mengganjal perasaan Khofifah. Sebab, seorang tokoh Nasional asal Tuban, bernama Soegondo Djojo Poespito — dikenal sebagai Soegondo DP — belum dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional. Padahal, Soegondo DP, dianggap sangat layak menerima gelar “Pahlawan Nasional”.

Betapa tidak,  sejarah mencatat bahwa, Ketua Panitia Kongres II Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda itu adalah Soegondo Djojopoespito.

Untuk itulah, sebagai Gubernur Jatim, Khofifah punya kesempatan “memerintahkan” kepada Bupati Tuban, Aditya Halindra, agar segera mengajukan Gelar Pahlawan Nasional ke Pemerintah Pusat.

Apalagi, menurut Khofifah — saat dia menjabat Menteri Sosial — “sebetulnya Pemerintah Provinsi DI Jogjakarta sudah  pernah mengajukannya, karena makam beliau di Jogjakarta. Tetapi dalam catatan yang sampai ke saya ada dokumennya yang belum lengkap.”

Tidak hanya itu yang membuat hati Khofifah menetapkan puncak peringatan Sumpah Pemuda 2021 ini di Kabupaten Tuban. Sejak terpilihnya Aditya Halindra menjadi Bupati Tuban pada Pilkada Serentak 2020 lalu,  Khofifah langsung “jatuh cinta”.

Betapa tidak,  sang bupati Tuban yang baru itu, masih muda. Pria kelahiran Surabaya, 15 April 1992 itu, benar-benar menjadi favorit Khofifah. Bupati Aditya Halindra, merupakan figur Pemuda “zaman now”, begitu bisik hati Khofifah.

Nah, begitulah kira-kira maka Gubernur Khofifah  meminta Bupati Tuban untuk segera melengkapi berkas persyaratan pengajuan sebagai pahlawan nasional tersebut.
“Jadi mohon berkas pengajuan segera  diajukan oleh Pemkab Tuban dan dilengkapi, kemudian diteruskan ke provinsi untuk segera diajukan ke dewan gelar nasional,” kata Khofifah saat menjadi Inspektur Upacara Hari Sumpah Pemuda ke-93 di Alun-Alun Kabupaten Tuban, Kamis (28/10/2021).

Khofifah mengatakan, selain sebagai tokoh aktif Perhimpunan Pelajar- Pelajar Indonesia (PPPI), Soegondo Djojopoespito merupakan putra Jawa Timur yang mengambil peranan penting atau memberi inspirasi terhadap peristiwa Sumpah Pemuda sampai berhasil diikrarkan.

“Atas perjuangan tersebut, sudah sepatutnya kita mengusulkan beliau menjadi pahlawan nasional,” ulasnya.

Ternyata Benar

Berdasarkan penelusuran sejarah yang saya lakukan,  ternuata benar Soegondo Djojopoespito sebagai Ketua Panitia Kongres II Pemuda Indonesia m, yang juga memimpin sidang, 28 Oktober 1928 itu.

Berikut di bawah ini cuplikan dari catatan saya yang pernah  dipublikasikan di beberapa media.

Kongres Pemuda yang diadakan di dekat lapangan banteng (Weltevreden) Batavia yang sekarang bernama Jakarta) pada tanggal 27 – 28 Oktober 1928 1928.

Selengkapnya inilah nama-nama Panitia dan Peserta Kongres II Pemoeda Indonesia, tersebut:

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi).

Pesertanya, adalah:

• Abdul Muthalib Sangadji
• Purnama Wulan
• Abdul Rachman
• Raden Soeharto
• Abu Hanifah
• Raden Soekamso
• Adnan Kapau Gani
• Ramelan
• Amir (Dienaren van Indie)
• Saerun (Keng Po)
• Anta Permana
• Sahardjo
• Anwari
• Sarbini
• Arnold Manonutu
• Sarmidi Mangunsarkoro
• Assaat
• Sartono
• Bahder Djohan
• S.M. Kartosoewirjo
• Dali
• Setiawan
• Darsa
• Sigit (Indonesische Studieclub)
• Dien Pantouw
• Siti Sundari
• Djuanda
• Sjahpuddin Latif
• Dr.Pijper
• Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
• Emma Puradiredja
• Soejono Djoenoed Poeponegoro
• Halim
• R.M. Djoko Marsaid
• Hamami
• Soekamto
• Jo Tumbuhan
• Soekmono
• Joesoepadi
• Soekowati (Volksraad)
• Jos Masdani
• Soemanang
• Kadir
• Soemarto
• Karto Menggolo
• Soenario (PAPI & INPO)
• Kasman Singodimedjo
• Soerjadi
• Koentjoro Poerbopranoto
• Soewadji Prawirohardjo
• Martakusuma
• Soewirjo
• Masmoen Rasid
• Soeworo
• Mohammad Ali Hanafiah
• Suhara
• Mohammad Nazif
• Sujono (Volksraad)
• Mohammad Roem
• Sulaeman
• Mohammad Tabrani
• Suwarni
• Mohammad Tamzil
• Tjahija
• Muhidin (Pasundan)
• Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
• Mukarno
• Wilopo
• Muwardi
• Wage Rudolf Soepratman
• Nona Tumbel

Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu “”Indonesia Raya”” gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

• Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.

• Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai “peninjau” Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang yaitu :
a. Kwee Thiam Hong
b. Oey Kay Siang
c. John Lauw Tjoan Hok
d. Tjio Djien kwie.

Profil Soegondo Djojopoespito

Kalau dilihat jejak langkah perjuangan Soegondo Djojopoespito,  memang layak menjadi Pahlawan Nasional. Di bawah ini, kutipan saya dari Wikipedia.

Soegondo Djodjopoespito, lahir di Tuban, 22 Februari 1905. Bapaknya bernama Kromosardjono,  seorang Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di kota Tuban, Jawa Timur. Ketika Soegondo masih kecil, ibunya sakit-sakitan dan meninggal dunia, kemudian Bapak Kromosardjono kawin lagi dan pindah ke Brebes Jawa Tengah menjabat sebagai lurah di sana. Selanjutnya Soegondo dan adiknya (Soenarjati) diangkat anak oleh pamannya yang bernama Hadisewojo seorang collecteur  wilayah Blora.

Pamannya ini yang menyekolahkan Soegondo ke HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di kota Tuban. Tahun 1919 setelah lulus HIS pindah ke Surabaya untuk meneruskan ke MULO (Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun) tahun 1919 – 1922 di Surabaya. Pamanya  menitipkan Soegondo mondok di rumah HOS Cokroaminoto  bersama Soekarno.

Kemudian setelah lulus MULO, tahun 1922 melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B – paspal – 3 tahun) di Jogjakarta tahun 1922-1925. Pamannya melalui HOS Cokroaminoto  menitipkan mondok di rumah Ki Hadjardewantoro di Lempoejangan Stationweg 28 Jogjakarta (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada), yaitu sebelah barat Puro Paku Alam.

Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan beasiswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta – didirikan tahun 1924 – cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang). Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos Pasar Baru lainnya di Gang Rijksman (belakang Rijswijk – sekarang Jl Juanda belakang Hotel Amaris Stasiun Juanda).
Di sana Soegondo bisa membaca majalah Indonesia Merdeka  asuhan Mohammad Hatta  terbitan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia.

Selama menjadi mahasiswa hidupnya sulit. Hanya punya satu baju, yang harus dicuci dulu kalau mau kuliah. Kuliah di RHS hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1), setelah Propadeus, karena beasiswanya dicabut akibat kegiatan politiknya. Di samping itu juga pamannya meninggal dunia. Jadi, Soegondo putus kuliah. Jadi hanya sampai  setingkat dengan ijazah D2, karena sistem pendidikan sekolah tinggi pada waktu itu adalah terdiri atas 4 jenjang, yaitu: Propadeus, Candidat 1 dan Candidat 2, serta Doktoral.

Perjuangan

Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia – dan tidak masuk dalam Jong Java). Pada tahun 1926 saat Kongres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Kongres Pemuda II 1928,  Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Kongres, karena ia adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia), adalah wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan.

Saat itu Mohammad Yamin,  diangkat menjadi Sekretaris. Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan. Waktu itu notulen rapat ditulis dalam bahasa Belanda yang masih disimpan dalam museum.

Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta, yang menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 itu, di mana Para Pemuda setuju dengan  Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA.
Trilogi ini lahir pada detik terakhir kongres, ketika Moh. Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo,  seraya berbisik: Ik heb een elegante formule voor de resolutie (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3 kata atau trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Selanjutnya Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang juga  menyatakan setuju.

Selain trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik,  meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Kongres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada waktu itu.

Kebangkitan Nasional

Pada masa Kebangkitan Nasional, Soegondo aktif sebagai guru dan masuk partai politik. Pada tanggal 11 Desember 1928 bersama Mr. Sunario Sastrowardoyo  mendirikan Perguruan Rakyat  yang beralamat di Gang Kenari No.15 Salemba, dan diangkat sebagai Kepala Sekolah.

Namun pada tahun 1930 ia diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru Perguruan Taman Siswa Bandung. Pada waktu di Bandung tahun 1930 ia mulai sebagai simpatisan  PNI  (Perserikatan Nasional Indonesia) pimpinan Sukarno.

Tahun 1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Tamansiswa Bandung. Tahun 1933 menikah dengan penulis Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr. A.K.Pringgodigdo, suami dari kakak isterinya (Ny. Suwarni).

Pada tahun 1933 ketika Pemerintah Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Gubernur General Mr. Bonifacius Cornelis de Jonge, para aktivis politik mulai ditangkap. Ir. Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Flores  kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Pada saat itu PNI pimpinan Ir. Soekarno beralih pimpinan pecah menjadi dua, yaitu dilanjutkan sebagai Partindo (Partai Indonesia) pimpinan Mr. Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Sugondo memilih masuk dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Syahrir. Kemudian pada tahun 1934 gilirannya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel kemudian dipindahkan ke Banda Neira.

Dan selanjutnya tahun 1934 itu juga, giliran Sugondo juga ditangkap, tetapi tidak terbukti bahwa ia anggota partai, sehingga ia hanya mendapat larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar dicabut tahun 1935 ia pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa, tetapi sepi murid, sehingga ditutup.

Setelah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor, Sugondo pada tahun 1936 pindah mencari pekerjaan ke Semarang, dan ia mengajar di sekolah Tamansiswa Semarang, sedangkan isterinya bekerja di sekolah pimpinan Drs. Sigit. Namun kemudian akhir tahun 1936 ia pindah ke Surabaya bekerja sebagai wartawan lepas De Indische Courant Soerabaia.

Setelah di Surabaya, tahun 1938 ia pindah lagi ke Bandung dan Sugondo diterima menjadi guru di Handels Cologium Ksatria Instituut (Sekolah Dagang Ksatria) pimpinan Dr. Douwes Dekker.

Ketika keadaan Eropa genting, menjelang Perang Dunia II, maka pada tahun 1940 Soegondo pindah ke Batavia ikut isterinya yang mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi orang Balanda. Soewarsih menjadi guru di GOSVO (Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia – Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia – sekarang SMKN 27 Pasar Baru). Selain itu ia juga dipercaya oleh kenalannya yang pulang ke Eropa untuk menjaga rumah di daerah Menteng (Tjioedjoengweg, sekarang Jl. Teluk Betung belakang HI). Ia sempat bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistiek Pasar Baru (CKS – Badan Pusat Statistik) sebelah GOSVO tempat isterinya bekerja, dan juga sebagai wartawan lepas De Bataviaasch Nieuwsblad.

Pada tahun 1941 oleh Mr. Soemanang dipercaya memimpin Kantor Berita Antara (sebagai Direktur, melalui dua orang utusan Djohan Sjahroezah  dan Adam Malik yang datang meminta di rumahnya Tjioedjoengweg, sedangkan Adam Malik tetap menjadi Redaktur/merangkap Wakil Direktur) yang beralamat pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 30 Noord Batavia (Jl. Pinangsia 70 Jakarta Utara) sebelum pindah ke Jl. Pos Utara No. 53 – Pasar Baru.[7]

Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan), atas bantuan Mr. Notosoesanto sebagai kawan yang pernah bersama kuliah di RH Batavia dan berkantor di Jl. Cilacap Jakarta Pusat, serta pindah rumah di Jl. Serang No. 13, Jakarta Pusat, rumah bekas orang Belanda yang pulang ke Eropa akibat penjajahan Jepang (di muka rumah Mr. Johannes Latuharhary sebelah dokter Soeradi).

Masa Revolusi Fisik

Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) (beranggotakan 28 orang saja). Pada masa RIS, dalam Negara Republik Indonesia dengan Acting Presiden Mr. Assaat, Sugondo diangkat dalam Kabinet Halim sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat, dan jabatan di BP-KNIP digantikan oleh Djohan Sjahroezah yang ia kenal baik.

Setelah RIS tahun 1950

Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, memilih pensiun sebagai bekas menteri dan perintis kemerdekaan, membaca buku dan sering bertemu dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri.

Pernah Presiden Sukarno (sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta ia datang ke Jakarta, yang disampaikan kepada isterinya waktu datang di istana mengantarkan kakaknya (Ny. Soewarni isteri Mr. A.K. Pringgodigdo, sekretaris kabinet), ia berujar: Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie voor hem geven (Di mana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri jabatan untuk dia), tetapi ia menolak jabatan ini, tidak ada kejelasan mengapa ia menolak.

Kawan dekatnya sebelum tahun 1955 adalah Sultan Hamengkubuwono IX yang sering datang ke rumah naik mobil kecil warna abu-abu merk Vauxhall  AB-1881 dan Sutan Syahrir yang datang menjenguknya naik pesawat kecil ke Maguwo  mengemudi sendiri bersama pelatihnya

Setelah tahun 1965 adalah Romo Mangun (Y. B. Mangunwijaya) yang sering bertandang, karena bertetangga dekat dengan Seminari Jogjakarta di Kota Baru di mana ia menghabiskan waktu sehari-harinya di rumahnya yang di Kota Baru juga.

Pada tahun 1978 wafat kemudian dimakamkan di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa  Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo – Jogjakarta.

Penghargaan Pemerintah

Atas jasa pada masa pemuda dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 diberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia: berupa  Bintang Jasa Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992.

Wisma Soegondo Djodjopoespito Cibubur

Pihak Kemenpora telah mengabadikan namanya pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djodjopoespito Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) yang dibangun oleh Kemenpora dan diresmikan oleh Menpora pada tanggal 18 Juli 2012.

Gedung ini disediakan kepada umum untuk dapat dimanfaatkan, terutama untuk kegiatan kepemudaan – pramuka – olahraga untuk tingkat lokal maupun nasional. Pada waktu peresmian sedang dimanfaatkan untuk penggemblengan pelaku Paskibraka 2012.

Belum Pahlawan Nasional

Sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, tetapi ia hingga kini belum mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara resmi. Namun pihak Kemenpora sejak bulan Juli 2012 sedang mengusungnya menjadi Pahlawan Nasional.

Nah, demikian cuplikan catatan saya melengkapi peran tokoh asal Kabupaten Tuban: Soegondo DP atau Soegondo Djojopoespito. (*)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait