Solusi Dualisme BP Batam vs Pemko Batam

  • Whatsapp

Oleh: Wirya Putra Silalahi

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Sejak ketentuan pertama yang mengatur Pulau Batam (Kepres 74 Tahun 1971 tanggal 26 Oktober 1971), pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura ini, diharapkan menjadi motor ekonomi nasional.

Dengan sekian kali perubahan/penyempurnaan aturan, Badan Pengelola (BP) Batam diberi kewenangan dalam enam sektor ekonomi: perdagangan, perhubungan, maritim, industri, perbankan, dan pariwisata. Batam pula diberi hak memungut sewa atas tanah di kawasan, agar bisa mengelolala/membiayai rumah tangganya sendiri.

Namun tentu saja tujuan utama adalah bagaimana membuat Batam menjadi lokomotif ekonomi nasional, bukan untuk mendapatkan profit dari unit-unit usaha pelabuhan, bandar udara, rumah sakit dan lain-lain. Bukan seperti Badan Usaha Milik Negera (BUMN), tetapi bagaimana berkontribusi bagi ekonomi nasional, tenaga kerja, pariwisata, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, suka tidak suka harus diakui, banyak keluhan atas tumpang- tindih kewenangan BP Batam dengan Pemko Batam. Meskipun sudah banyak aturan tentang BP Batam dan Pemko Batam sendiri, mulai dari kawasan khusus hingga perdagangan bebas, namun tetap saja “tuduhan” tumpang-tindih tidak bisa lenyap.

Kawasan Khusus

Mari kita lihat aturan demi aturan tentang Batam. Aturan pertama adalah Kepres 74 Tahun 1971 seperti yang disebut di atas. Ke dua, Kepres 41 Tahun 1973, seluruh wilayah Pulau Batam menjadi daerah industri. Ke tiga, Kepres 41 Tahun 1978, seluruh daerah industri di Batam sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse.

Ke empat, Kepres 28 Tahun 1992, seluruh daerah industri di Batam menjadi wilayah usaha kawasan berikat (bonded zone). Wilayah daerah industri Batam ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Ke enam, Kepres 94 Tahun 1998, penyempurnaan Kepres 41 Tahun 1973.

Ke tujuh, Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Perppu ini disahkan menjadi Undang-undang Nomor 36 tahun 2000.

Daerah KPBPB, bebas dari pengenaan Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan cukai. Kegiatan KPBPB: Perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang-bidang lain. Jangka waktu KPBPB, 70 tahun. BP Batam mengusahakan sumber-sumber pendapatan sendiri.

Ke delapan, Kepres 113 Tahun 2000, perubahan ke empat stas Kepres 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Ke sembilan, Kepres 25 Tahun 2005, perubahan ke lima atas Kepres Nomor 41 Tahun 1973.

Ada beberapa hal penting pada Kepres Nomor 25/ 2005. Pasal 4: BP Batam juga bertugas membangun prasarana dan fasilitas lainnya, mengembangkan kegiatan pengalihkapalan (transhipment), memberi izin usaha, mengelola perizinan bagi penanam modal di Batam.

Ke sepuluh, PP 46 Tahun 2007. Masa berlaku KPBPB adalah 70 tahun. Kawasan KPBPB meliputi Pulau Batam, Tonton, Setokok, Nipah, Rempang, Galang dan Pulau Galang Baru. Ke sebelas. PP 5 Tahun 2011 (Perubahan atas PP 46/ 2007).

Aturan Pemko Batam

Pemerintah Kota (Pemko) Batam diatur dalam PP 34 Tahun 1983 yang bertugas membina dan mengarahkan pemerintahan dan pembangunan dengan perkembangan sosial ekonomi sosial budaya dan industri di wilayahnya.

Kepres 7/1984 kemudian secara khusus mengatur pembagian wewenang antara BP Batam dengan Pemko Batam. UU 53/1999 mengatur pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam.

Sesuai dengan Pasal 21 (UU 53 Tahun 1999): Batam sebagai daerah otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemko Batam menyertakan BP Batam. Di pihak lain, ada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah – yang tentu saja harus dijaga agar tidak tabrakan.

Pasal 9 UU 32/2004 menyebutkan, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota; di mana fungsi kawasan khusus tersebut (seperti kawasan perdagangan/pelbauhan bebas), ditetapkan dengan UU.

Pasal 21 mengatur, dalam kawasan khusus, hak Pemda/Pemko adalah memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan hak lain yang diatur khusus.

Mengakhiri Dualisme

Dari beberapa UU di atas, Batam sebagai daerah khusus perdagangan/pelabuhan bebas sudah sah. Namun masih ada kekurangan. Pasal 21 Ayat 3 UU 53/ 1999 menyebutkan: hubungan kerja antara Pemko Batam dengan BP Batam, akan diatur berupa PP. Namun, hingga kini, PP dimaksud belum ada ada.

PP dimaksud perlu segera dibentuk, supaya jangan ada keraguan dalam batas wewenang BP dan Pemko Batam. Misalnya saja, dalam PP 46/ 2007, BP Batam leading dalam urusan pengelolaan tanah. Sedangkan pada UU 53/ 1999, Pemko Batam leading dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan (dengan menyertakan BP Batam).

PP tersebut sebetulnya lebih sebagai upaya mempertegas wewenang yang sudah disebut dalam berbagai aturan. Dengan disarikan dalam suatu aturan (PP), maka pembagian tugas menjadi jelas tegas, dan tidak menimbulkan peluang untuk misinterprestasi.

Dalam UU sudah jelas, BP Batam mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi di bidang: perdagangan, perhubungan, maritim, industri, perbankan dan pariwisata, atau semua yang menjadi urusan pemerintah pusat. Sedangkan Pemko Batam yang menyangkut urusan rakyat: pemukiman, jalan, darainase, fasilitas sosial dan semua yang menyangkut urusan pemerintah daerah.

Sesuai Pasal 21 Ayat 6 UU 32/ 2004, Pemda berhak mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lain yang berada di daerah. Maka Pemko Batam perlu mendapat bagi hasil dari Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO), seaport tax (pelabuhan), dan airport tax serta hasil unit usaha lainnya.

Jadi berbagai aturan yang mengatur hak dan wewenang BP Batam dan Pemko Batam, perlu dirangkum (ditegaskan ulang) dalam PP, supaya jangan lagi timbul kesan tumpang-tindih wewenang, demi kemajuan Batam. ***

Penulis adalah Wakil Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung Kepulauan Riau

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *