Sopir Angkot Dan (Kinerja) Hakim

  • Whatsapp

(Sekelumit Refleksi tentang Rasa Keadilan)
Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)

Kondisi jalan kota yang sering macet, membuat saya lebih suka memilih angkutan umum ketika hendak menuju ke objek tujuan. Kali ini saya sengaja memilih angkutan kecil yang di setiap kota mendapat nama akrab berbeda-beda. Di kota kecil tempat saya tinggal, mendiang ibuku menamainya “kol”, di Makassar dinamai “pete-pete”, di Jember dinamai “line”, dan di kota anda pasti punya nama lain pula. Sengaja saya pilih angkutan jenis ini, meskipun transportasi yang lebih modern dan lebih murah ( bis kota ) lalu lalang. Lantas apa alasan saya memilihnya? Jawaban singkatnya: “sekedar simpati saja”. Saya sering melihat jenis angkutan ini jok penumpangnya kosong tak diduduki penumpang. Kecepatan rata-rata yang hanya 10 sampai 20 kilometer perjam dengan jok penumpang yang sering kosong itu laksana orang tua nan kurus kering sedang berjalan dengan langkah gontai karena perutnya seharian belum terisi apapun selain hanya segelas air mineral.

Kali ini saya beruntung, sebab sopir yang mengemudikannya ternyata ‘genius’. Cara bicara dan materi pembicaraannya, tidak sebanding dengan kendaraan dekil yang dikemudikannya. Di mana letak keistimewaannya? Di sepanjang jalan, sang sopir itu berbicara panjang lebar seputar perjalanan karirnya sebagai sopir dari masa ke masa sekaligus suka duka akibat regulasi para penguasa tentang transportasi umum. Singkat cerita pada saat ini sebagai sopir angkot lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Diapun menyampaikan pengalaman hariannya yang sering harus merugi. Sering biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding (lebih kecil) dari biaya bahan bakar yang harus dibeli untuk menjalankan mesin mobilnya. Kondisi pendapatan yang demikian belum termasuk untuk memikirkan biaya perbaikan, bukan perawatan, kendaraan apabila rusak. Singkat cerita ‘curhatan’ hatinya itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa pemerintah sama sekali tidak memperdulikan nasibnya. Ketika menunjuk angkot sejenis yang sering lalu lalang dengan tempat duduk kosong, dia pun seolah berbicara mewakili teman-temannya.

Sang sopir hebat itu pasti juga tidak menyangka, siapa orang yang sedang ia paksa mendengar ‘keluhan profesi’ sepanjang jalan itu. Pasti dia akan lebih bersemangat dan lebih berapi-api jika dia tahu bahwa yang sedang di sampingnya itu ternyata seorang hakim (Pengadilan Agama). Hakim perkara perdata khusus dan ketika memutus sering bersentuhan langsung dengan kondisi kehidupan riilnya. Yang pasti, sejak awal saya juga selalu memperhatikan kalimat demi kalimat yang ia ucapkan dengan tulus, sambil sesekali menerawang tanpa arah, meskipun mata selalu tertuju ke depan.

Di sepanjang perjalanan itu pun saya tercenung sambil tertunduk malu. Malu ketika mengingat beberapa putusan yang sering mengatasnamakan keadilan itu sering hanya bersumber dari bahan bacaan di atas kertas, seperti aturan hukum tertulis. Dan, bukan dari kehidupan riil seperti yang saya dengar darinya. Sikap demikian tentu sangat ironis. Mengapa? Ketika mempelajari ilmu Hukum selalu diingatkan adanya pameo “het recht hink achter de faiten an” ( hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta yang terjadi ). Berikut, saya dan mungkin teman-teman hakim perlu sering-sering beristighfar dalam-dalam, sekalipun tidak sepenuhnnya salah, ketika putusan-putusan yang diambil sering kurang merespon kondisi riil masyarakat. Contoh riil putusan hakim mengenai hal ini adalah dalam hal menentukan berapa jumlah nafkah—dan kewajiban suami pascaperceraian lain–yang harus dibayar suami, jumlah biaya nafkah anak yang (hanya) harus dibebankan kepada suami.

Harus mencantumkan pula adanya kenaikan 10 atau 20 persen setiap tahun. Suatu ‘ide’ yang perlu dikaji ulang dari sisi ilmu ekonomi (laju inflasi) dan rasa keadilan masyarakat sedang berlangsung. Apalagi, saat dunia mengalami pandemi seperti sekarang.
Faktor yang sering dijadikan alasan mengapa demikian, karena aturan memang telah menentukan demikian. Sejumlah PERMA dan SEMA juga ikut menjadi penyebab. Beberapa aturan itu memamg mengatur kekosongan hukum acara, tetapi beberapa aturan lain yang tertuang dalam SEMA sudah menyangkut hukum materiil. Letak kekurangtepatannya adalah ketika para hakim menyikapi sama terhadap dua aspek tersebut. Ketika isi SEMA berkaitan dengan hukum acara, agar terjadi keseragaman prosedur, memang harus diikuti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan karakteristik eskistensi hukum acara itu sendiri, yang memang ‘wajib’ diterapkan secara rigid (kaku). Ketidakpatuhan menerapkan hukum acara juga dapat berakibat “unprofessional conduct” yang dapat berbuah sanksi berat. Sadangkan, pada aspek hukum materiil, secara teori, tidak ada keharusan untuk menerapkannya secara kaku. Justru dalam aspek hukum materiil ini–meskipun tetap harus mengacu teori-teori hukum–seorang hakim bisa saja punya pendapat berbeda dari teks aturan, apabila teks aturan tersebut bila di hadapkan dengan kasus riil, memang tidak sejalan. Itulah sebabnya, para hakim dibekali dengan sejumlah ilmu-ilmu teroritis menyikapi aturan tertulis yang terkait dengan hukum materiil, misalnya ketika ia dikenalkan dengan berbagai macam interpretasi (penafsiran) hukum. Tujuannya, adalah agar para hakim dapat menemukan hukum yang tepat mengenai kasus yang sedang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuan hukum.
Kepatuhan mengikuti aturan tertulis yang terkait dengan hukum materiil oleh para hakim juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan karena pertimbangan struktural. Pertimbangan struktural sering menjadikan alasan mengapa hakim harus “sami’na wa atha’na” dengan setiap ‘pedoman’ yang dibuat oleh atasan (Perma dan semacamnya). Ketidakpatuhan terhadap kebijakan, kalau tidak mujur, sering berbuah pahit, seperti disebut “hakim ngeyel”. Hal demikian sering diperparah ketika hakim yang bersangkutan sendiri, dari sisi cara berfikir akademiknya, dianggap kurang mumpuni atau jati diri hakim yang bersangkutan memang belum dikenal dengan baik oleh atasan ( sebut saja: hakim pengawas). Tidak jarang akibat disitgma negatif oleh hakim atasan, hakim yang bersangkutan terkena ‘hukuman’ menyedihkan, seperti harus dimutasi ke tempat yang tidak disukai atau takut tidak lolos fit and proper test ketika menginginkan posisi tertentu. Beban struktural ini akhirnya diam-diam telah menyeret hakim kepada apa yang disebut “hakim sebagai corong undang-undang”, seperti yang dikatakan Montesquieu. Sebuah predikat yang dilekatkan untuk penganut aliran positivisme hukum yang sebenarnya saat ini sangat tidak disukai para hakim dan oleh siapapun yang mengharapkan kemunculan para hakim progresif di era digital ini.

Menangani perkara dalam suasana yang dilingkupi ‘ketakutan’–atas pelanggaran teks-teks aturan, bagi hakim yang berpikiran maju–sering melahiran putusan yang bertentangan dengan hati nurani. Padahal, seperti yang dikatakan Paul Scholten, bahwa “Een rechtelijke beslissing is een zedelijke en vertandlijke besslising” (suatu putusan hakim adalah putusan hati nurani dan akal pikiran). Yang membuat kita prihatin, sikap ‘ketakutan’ hakim dan akhirnya menimbulkan sikap tidak kreatif hakim tersebut—akibat sering hanya bertumpu teks-teks aturan tanpa mau menghubungkannya dengan denyut nadi rasa keadilan masyarakat—jelas bertentangan dengan amanat Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009, bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Amanat demikian berlaku untuk semua hakim. Dalam rangka menuju ke arah itu, memang ada baiknya kita ingat kembali yang pernah ditulis oleh mendiang Prof. Dr.H.Busthanul Arifin, S.H. (Mantan Hakim Agung dan Tuada Uldilag MARI): “Seorang hakim haruslah learned in law (alim dalam ilmu hukum) dan skilled in law ( terampil dalam melaksanakan hukum). Kecuali harus memahami subtansi dan arti hukum, hakim harus terampil dalam penerapan hukum. Di tangan hakim, hukum menjadi applie science. Para hakim yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal undang-undang dan peraturan yang terdiri huruf-huruf mati itu.”

Untuk mencapai itu, selanjutnya, beliau mengatakan: “Belajar dan membaca literatur sebanyak-banyaknya, membuka mata, telinga, pikiran dan hati selebar-lebarnya…..”
Dalam konteks judul di atas mengenali dan menyelami kehidupan sopir angkot (dan tentunya juga kehidupan masyarakat lain) secara langsung dapat menjadi bagian upaya menuju kematangan seorang hakim. Semoga.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait