Jakarta, beritalima.com| Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi sorotan utama Pengurus Pusat Muhammadiyah. Pasalnya, hal itu menjadi perhitungan penting pada persoalan Pilkada 2020.
“Kami menilai LHKPN belum menjadi sistem pengawasan atau kontrol secara efektif,” ujar Busro Muqodas Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia/Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pusat Muhamadiyah kepada beritalima.com Kamis 22/10.
Misalnya, berapa banyak seseorang yang taat melapor LHKPN setelah terpilih, namun apakah materi LHKPN diisi secara jujur, muslihat, atau campuran keduanya.
“Ini perlu panduan-panduan untuk menolong calon-calon kepala daerah bisa memiliki kepercayaan diri bahwa LHKPN sebagai sistem moral yang dijadikan instrumen yang perlu dipahami, bukan dipungkiri,” ujar Busyro.
Adapun persoalan kedua, katanya, mengenai mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Busyro menganggap APBD harus berdasarkan kepentingan masyarakat sipil, seperti pemberdayaan terhadap petani atau nelayan.
Contoh lainnya, isu kampanye apa yang berkolerasi dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Bagi dia, tata ruang di daerah tak lepas dari incaran kekuatan modal, sehingga membuat rakyat tak bisa memanfaatkan lahan-lahan tersebut.
Dia menilai dua persoalan itu perlu dihadapi dengan memainkan peran masyarakat sipil bersama lembaga pemerintah untuk membuat konsep demokratisasi yang mengatur aktivitas pasca pilkada.
“Demokratisasi itu butuh konsep, terutama pasca pilkada. Kalau sekedar pilkada kita sudah rutin,” ucap dia.
Karena itu, dia menilai isu-isu kampanye seharusnya diatur dalam kerangka demokratisasi sehingga siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah betul-betul kepala daerah cerminan dari rakyat.
“Represent of the people, bukan of the parpol (partai politik) atau koalisi parpol,” ungkap Busyro.
Selain itu juga, banyak pejabat negara yang juga tidak jujur mengisi LHKPN. Hal itu menurutnya tidak ada kode etik yang efektif sebagai kode perilaku harian di dalam dan diluar kantor kantor, dan lumpuhnya pejabat untuk mampu menegakkannya.
“Mereka sudah terjerembab dalan kubangan korupsi dan koruptif. Dan hal itu menunjukan pejabat yang tidak profesional dan terbuka,” katanya.
Busro menambahkan bahwa adanya tekanan pengaruh oligarki bisnis yang tidak merasa nyaman, terutama sektor perekonomian, apalagi Aparat Penegak Hukum saat ini berada ditangan orang jujur. [San]
Redaktur : Santoso