JAKARTA, Beritalima.com– Musyawarah dan mufakat adalah ciri khas suku yang ada di Indonesia. Cara musyawarah dan mufakat tidak hanya dilakukan dalam menyelesaikan selang sengketa tapi juga persoalan lain, termasuk berbagai rencana besar.
Bahkan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945 buah dari musyawarah dan mufakat yang dilakukan tokoh pendiri bangsa. Namun, generasi penerus bangsa belakangan, sudah banyak meninggalkan cara-cara seperti itu.
Salah satu yang kokoh mempertahankan musyawarah mufakat adalah etnis Minang. Musyawarah dan mufakat sudah menjadi ciri khas orang Minang yang turun temurun sampai saat ini.
Masyarakat Indonesia belakangan ini, kata politisi senior Partai Demokrat, Lucy Kurniasari, banyak meninggalkan budaya musyawarah mufakat ini. “Dalam pengambilan suatu keputusan, masyarakat Indonesia bukan menyelesaikannya di meja perundingan, melainkan kerap menggunakan suara terbanyak (voting),” kata Lucy.
Hal tersebut ditegaskan Anggota MPR RI dari Dapil I Provinsi Jawa Timur itu dalam Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, Sudoarjo, Selasa (16/3).
Lebih lanjut, Lucy mengatakan, voting dilakukan dengan pemungutan suara di mana suara terbanyak akan menjadi penentunya. Pilihan ini diambil karena dinilai praktis dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengambilan keputusan.
Menurut Lucy, praktik menggunakan voting kerap ditemui dalam pemilihan Kepala Desa, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Begitu juga dalam pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan (ormas), ketua OSIS, dan ketua BEM serta banyak contoh lain.
Akibatnya, ungkap Lucy, setelah pengambilan keputusan banyak yang tak puas. Pihak yang kalah, kerap membuat organisasi tandingan, bahkan ada yang memunculkan organisasi kembar sehingga konflik semakin runyam dan berkepanjangan.
Padahal, lanjut Anggota Komisi IX DPR RI dari Dapil Kota Surabaya serta Kabupaten Sidoarjo tersebut, sila keempat Pancasila sudah memberi rambu-rambu dalam pengambilan keputusan. Sila keempat menyatakan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.
Lucy menegaskan, asas musyawarah ialah asas yang memperhatikan aspirasi dan kehendak seluruh rakyat melalui forum permusyawaratan. Hal itu untuk menyatukan pendapat dan mencapai kesepatakan bersama atas kasih sayang, pengorbanan serta kebahagiaan bersama.
Dihadapan lebih 150 warga dari berbagai elemen di Sidoarjo tersebut, Ning Suroboyo 1986 ini menjelaskan, budaya musyawarah mufakat merupakan kegiatan berembuk dan berunding untuk memecahkan masalah yang menghasilkan kesepatan bersama (win-win solution) tanpa merugikan salah satu pihak.
Musyawarah mufakat bertujuan untuk mempererat tali kekeluarga atau persaudaraan. “Musyawarah mufakat merupakan proses membahas persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan. Musyawarah mufakat dilakukan sebagai cara untuk menghindari pemungutan suara yang menghasilkan kelompok minoritas dan mayoritas,” tegas Lucy.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kota Surabaya ini. mencontohkan, dalam kehidupan sehari-hari, musyawarah mufakat dibudayakan untuk menciptakan kerukunan, keharmonisan, toleransi dan kekeluargaan. “Melalui musyawarah untuk mufakat, semua pihak akan merasa dilibatkan, diikutsertakan, dihargai, dan dihormati aspirasinya, sehingga hasil yang akan dicapai dapat dinikmati seluruh anggota,” demikian Lucy Kurniasari. (akhir)