Sosialisasi Sekolah Ramah Difabel di Yogyakarta Dapat Dukungan DPD RI 

  • Whatsapp
Sosialisasi Sekolah Ramah Difabel di Yogyakarta dapat dukungan DPD RI (foto: istimewa)

Yogyakarta, beritalima.com|– Upaya mewujudkan pendidikan inklusif di Kota Yogyakarta kembali ditegaskan melalui kegiatan Sosialisasi Sekolah Ramah Difabel yang digagas Anggota DPD RI R.A. Yashinta Sekarwangi Mega, di SD Negeri Serayu, Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY (17/12).

Kegiatan ini teguhkan komitmen bersama menghadirkan sekolah ramah bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), namun sekaligus membuka fakta pemenuhan hak ABK masih menghadapi tantangan serius, terutama pada aspek deteksi dini.

Yashinta soroti masih lemahnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya deteksi sejak usia dini. Banyak kasus autisme dan hiperaktivitas baru teridentifikasi ketika anak berusia enam tahun, padahal intervensi ideal dapat dimulai sejak usia dua tahun.

“Keterlambatan deteksi bukan semata persoalan keluarga, tetapi juga sistem. Negara harus hadir melalui edukasi, regulasi, dan anggaran yang berpihak,” jelas Yashinta dan berjanji membawa isu ini ke tingkat nasional untuk mendorong penguatan payung hukum pendidikan inklusif.

Pemerintah Kota Yogyakarta, melalui Wakil Wali Kota Wawan Harmawan, menyatakan komitmennya agar tidak ada anak tertinggal dari akses pendidikan. Seluruh sekolah negeri diwajibkan menerima peserta didik ABK sesuai kuota.

Namun, ia mengakui transformasi pendidikan inklusif menuntut perubahan cara pandang, dari sekadar pemenuhan administratif menuju pelayanan yang berempati.

“Pendidikan inklusif tidak cukup dibangun lewat kurikulum, tetapi melalui keberpihakan nyata,” terang Wawan, seraya menyinggung peran UPT Unit Layanan Disabilitas (ULD) sebagai garda depan layanan konsultasi kesulitan belajar.

Data Disdikpora Kota Yogyakarta menunjukkan terdapat 1.601 ABK terdata pada 2025, tersebar di sekolah negeri dan swasta. Kepala Disdikpora, Budi Santosa Asrori, menyebut angka ini menjadi dasar penguatan layanan melalui UPT ULD dan resource center, termasuk peningkatan kapasitas guru dan penyediaan alat bantu.

Namun, keterbatasan sumber daya masih menjadi pekerjaan rumah. Hingga Oktober 2025, jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK) baru mencapai 139 orang. Angka ini dinilai belum sebanding dengan kebutuhan di lapangan, terutama jika pendidikan inklusif ingin berjalan substantif, bukan sekadar formalitas.

Anggota Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Endro Sulaksono, menilai kolaborasi lintas lembaga perlu diikuti dengan keberanian mengatasi persoalan struktural, mulai dari sarana prasarana hingga distribusi tenaga pendidik khusus.

Kegiatan sosialisasi ini direncanakan berlanjut ke berbagai jenjang pendidikan di Kota Yogyakarta. Tantangannya kini bukan lagi pada wacana inklusivitas, melainkan pada konsistensi kebijakan agar sekolah ramah difabel benar-benar hadir sebagai ruang belajar yang adil bagi semua anak.

Jurnalis: rendy/abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait