Sosok Penyair Bambang Oeban Dalam Puisi

  • Whatsapp

(Yeni Sulistiyani)

Apakah Anda akan marah atau tersinggung jika saya mengatakan bahwa puisi merupakan salah satu cara memanjakan diri dalam mengarisipkan kenangan berharga sebagai kutipan perjalanan hidup seseorang? Arsip kenangan tersebut dituangkan ke dalam bahasa yang padat dengan memilih diksi, majas, irama, dan rima dengan kekuatan maknnya menjadi sebuah puisi.

Ada apa dengan kenangan? Kenangan merupakan sesuatu yang membekas di dalam ingatan atau sesuatu yang memiliki kesan di dalam ingatan. Jika pada akhirnya puisi yang telah kita arsipkan sebagai potret kenangan menjadi potret sejarah bangsa ataupun budaya bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin, bukan? Lalu, puisi yang berjalan sebagai arsip kenangan tersebut melangkahkan kaki-kaki katanya dengan gemulai membangun makna sehingga terserap oleh semua elemen pembaca dari tukang sampah, tukang sayur, sampai tukang mengatur negara dan akhirnya dapat secara mulus memengaruhi sebuah tata nilai kehidupan bangsa bisa saja terjadi. Bukan sebuah kebetulan karena puisi tersebut mudah dicerna dan memiliki makna namun karena puisi tersebut hadir digiring oleh petunjuk yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi Petunjuk kepada penulis untuk menghantarkan kalamnya ke kancah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, juga beragama (mencerminkan nilai-nilai transendental kepada manusia).

Inilah puisi. Hadir bukan semata karena keindahan bahasa atau bunyi, namun juga kekuatan makna yang bisa mengetuk nurani pembaca. Puisi yang terlahir dari rahim kesunyian penyair tercipta bukan semata kita beronani dengan kesedihan namun dia terlahir sebagai bentuk refleksi diri terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam diri juga di luar diri kemudain terbentuklah sebuah puisi yang selain indah dan bermakna dia juga memiliki manfaat bagi pembaca. Apakah manfaat tersebut? Setidaknya manfaat yang terpetik adalah terjadinya refleksi di dalam diri penyair juga pembaca setelah membaca puisi tersebut.

Kepada pecinta puisi pemula, mengapa harus gusar berpikir sudah pusikah puisi yang kubuat ketika kita mau memahami setiap manusia sebagai pembelajar sepanjang hayat (long live learner) pasti mengalami proses dan fase-fase belajar yang tiada henti. Apakah Anda percaya bahwa apa yang kita buat pada hari ini belum tentu terbaik pada masa yang akan datang. Setidaknya kita telah berusaha bukan?

Pertemuan pertama saya dengan guru Bambang Oeban dalam sebuah kebersamaan acara Sulteng Bergaung Puisi memberikan banyak inspirasi dan kekuatan keteguhan saya terhadap kesederhanaan berpikir saya terutama dalam berkarya juga menelaah suatu karya. Sebuah kesederhanaan berpikir yang selama ini terkadang memberikan skeptisisme dalam diri saya menjadi sebuah kekuatan keyakinan terhadap jalan kebenaran pribadi saya selama ini. Bahwa, tidak ada karya yang tidak memiliki ruang pembaca, bahwa tidak ada karya yang tidak berharga. Semua karya sebagai hasil kreatifitas berpikir yang telah diberikan Sang Maha Agung sebagai salah satu kesempurnaan yang Ia berikan kepada manusia sebagai pembeda dari makhluk lain. Sikap kerendahan hati Bambang Oeban dalam mengapresiasi karya sastra lebih mengarah pada penghargaan sebuah proses yang sedang dijalani seseorang yang berkarya. Termasuk di dalam menulis puisi. Saya pun percaya pada akhirnya proses menulis akan memberikan warna dan karakteristik penyair, bahkan bisa jadi akan muncul eksperimen-eksperimen bari di dalam menulis puisi.

Bambang Oeban bernama asli Bambang Wahyono lahir di Palembang, 10 Mei 1961 adalah sosok ranum yang multitalenta. Hehe, saya katakan ranum karena memang sudah matang namun belumlah terlalu tua untuk saya katakan sesepuh. Ia adalah seorang pembaca puisi hebat, aktor satra, aktor film, ilustrator, pelukis, juga penulis skenario. Segudang prestasi yang telah diraih pun tak lepas dari campur tangan Tuhan yang telah mengutuknya menjadi begitu multitalenta. Semua pun tak pernah terlepas dari proses belajar dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mahir. Kerendahan hatinya dengan selalu berusaha menempati ruang-ruang yang ditempatkan untuk dirinya tanpa mencampuri ruang orang lain membuatnya menjadi pribadi yang bisa memaksimalkan dirinya menjalani apa yang telah digariskan dengan suka cita dan keikhlasan.

Puisi tidak mesti dicantik-cantikkan dengan majas yang gemulai bahkan sulit dan gelap. Puisi dapat diungkapkan dengan gaya penyampaian secara alami namun penuh maksud namun sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik tubuh dan batin puisi yang sesungguhnya. Baiklah, untuk sedikit mengatasi skeptisisme kita selama ini dalam menulis puisi ada baiknya kita cermati puisi-puisi beliau yang saya petik dari sebuah antologi puisi Aksara Amerta berikut ini.
TEMBANG NEGERI JAJAHAN
(Bambang Oeban)

rintih angin senja menghantar
lembar-lembar catatan sejarah yang terbuang
aku mendengar gumam alam masa silam
melantunkan tembang meluluhkan sukma
mengingatkan pada nasib negeri ini
menjadi madu bagi bangsa
yang miskin pada tata kemanusiaan
kenyamanan hidup bangsaku dibuyarkan
demi menjarah kekayaan

Raffles,
dari Inggris kaubawa otakmu ke tanah Jawa

kau tumbangkan kuasa raja pribumi dengan siasat
keilmuan leluhur digilas oleh kemahiran membaca peta budaya
kehidupan bangsa yang lemah
lewat riset dan fakta informasi
warna politikmu menghanyutkan
merubah pikiran para penguasa pribumi

pantai-pantai, bandar-bandar, lalu lintas lautan
dalam genggaman dengan bahasamu yang menghanyutkan

telah kau asingkan raja yang kalah, lalu kau pelihara raja
pribumi dengan mas kawin tipu daya perjanjian

Rafles, tajam bius akal hasutmu
kau bangun kekuatan militer demi membela rakyat
yang tertindas dari raja pribumi yang kau hujat jahat,
padahal kau terus menumpuk rempah-rempah
di gudang terbuat dari keringat rakyat

apa kuasamu, tentara kerajaan dalam pengawasan?
Kedu, Pacitan, Jipang dan Grobogan jadi seserahan
tata ekonomi kamu monopoli
memang Rafles telah mengungsi dikebumikan sejarah
tapi sikapmu banyak yang meneladai
bagaimana ini?

*(Kepada Presiden yang Ter …)

Puisi tersebut bukanlah puisi gelap namun bukan pula diafan sebagaimana kita pahami bahwa puisi diafan adalah puisi polos yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkrit dan bahasa figuratif (bersifat kiasan) sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Secara sepintas mungkin iya, namun semakin dalam kita menelisik dapatlah kita temukan sebuah harmoni tubuh dan jiwa puisi menyatu di dalam puisi tersebut. Penyatuan tubuh dan jiwa tersebut dapat kita rasakan dari maksud-maksud atau tendensi di dalamnya. Adanya pesan yang dapat kita simpulkan dari keseluruhan puisi ini begitu magis.

Penyair yang memahami hakikat tubuh puisi tidak akan hanya menggunakan metafor-metafor di dalam puisinya. Penyair yang paham tubuh puisi sesungguhnya akan mengorkestrasi sebuah bangunan puisi dengan memilih, memadukan, menggabungkan berbagai macam majas yang dapat dikonstruksi ke dalam sebuah puisi sehingga puisi yang dibuat tidak menjadi monoton dan terkesan membosankan. Bisa jadi di sini membosankan pembaca karena tidak mampu memahami pesan secara benar dan keseluruhan.

Begitulah Bambang Oeban memainkan setiap lekuk tubuh puisi menjadi sebuah tarian diksi yang apik dan mampu menghipnotis pembaca pada pesan-pesan yang dia sampaikan. Pada puisi Tembang Negeri Jajahan Bagian1 dapat kita rasakan balutan immajinernya puisi telah menyentuh seluruh panca indra kita. Ini adalah puisi prismatis. Bambang Oeban telah menyelaraskan kemampuannya menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak juga terlalu gelap sehingga harus berkerut-kerut pusing memahami makna puisi.Sebagai contoh, begitu kita memasuki bait pertama puisi kita sudah diajak untuk menyelami indra pendengaran, penglihatan, pencecap kita.

Gaya satire pun muncul. Kritik-kritik pun dimunculkan dengan mengetengahkan ingatan-ingatan kita pada sejarah penjajahan di negeri kita Indonesia, kenangan buruk pada masa lalu. Siapa yang tidak mengenal Raffles? Dialah Thomas Stamford Raffles Gubernur jenderal (1811-1816) ketika Jawa dikuasai Inggris. Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendeles) dengan mereformasi pengadilan, polisi, dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa.

Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.

Inilah sekelumit ingatan tentang Raffles yang sebenarnya pemikiran-pemikiran dan kebijakan-kebijakannya selama masa penjajahan begitu kejam. Mengapa saya mengajak Anda mengingatnya kembali dalam ulasan ini? Karena agaknya inilah yang menjadi kegelisahan Bambang Oeban melihat kondisi Republik Indonesia saat ini dengan begitu banyak bertaburannya manusia dengan otak-otak Raffles. Banyaknya oknum yang menjajah di negerinya sendiri dengan titik-titik peluang masuknya investor asing sehingga mulai menguasai negeri kita. Hal ini tampak nyata dalam larik-larik puisinya sebagai berikut.

apa kuasamu, tentara kerajaan dalam pengawasan?
Kedu, Pacitan, Jipang dan Grobogan jadi seserahan
tata ekonomi kamu monopoli
memang Rafles telah mengungsi dikebumikan sejarah
tapi sikapmu banyak yang meneladai
bagaimana ini?

Raffles memang telah ditelan bumi namun karakter dan pemikirannya telah banyak menjadi contoh di dalam karakter dan pikiran anak bangsa ini. Bambang Oeban menuliskan tentang perilaku imitasi terhadap Raffles bukan menggunakan bahasa yang sarkais namun begitu lembut. /tapi sikapmu banyak yang meneladani/ inilah kegelisahan, inilah kelembutan kegelisahannya yang tidak menggunakan justifikasi sebuah keadaan, bukan klaim-klaim kasar namun cukuplah satu lirik ini dia meajak kita untuk sama-sama berpikir dan merenunginya dengan larik penutupnya sebuah tanya /bagaimana ini?/. satu pertanyaan di akhir larik ini mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan gejala-gejala sikap Raffles yang mulai mengakar di dalam otak/pemikiran bangsa ini.

Selanjutnya, mari kita simak dan cermati puisi Bambang Oban selanjutnya yang berjudul Lagu Kebangsaan. Puisi yang masih tetap menyerukan tentang kecintaannya pada Republik Indonesia sebagai putra bangsa yang senantiasa ngeri dan miris terhadap pertumbuhan dan perkembangan negerinya.

LAGU KEBANGSAAN

bersatulah hati, pikiran, laku dalam perenungan semesta sebagai
perkawinan darah pada ikatan mata batin dalam serba satu:
satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa

apakah kita masih punya rasa rindu pada negeri?
apakah kita masih punya rasa cinta pada negeri?
apakah kita masih punya rasa memiliki pada negeri?
apakah kita masih punya lagu kebangsaan negeri?

apakah jiwa kita masih bergetar bergelora ketika lagu
kebangsaan dikumandangkan?
lagu kebangsaan bukan lirik-lirik lagu iseng tak berhati
tak berjantung, tak bersukma, menjadi tak bermakna
menghambar dan termusnah

lagu kebangsaan tak diciptakan sambil onani di WC yang mampet!

pernahkah lagu kebangsaan meruang sukma, memacu kesadaran
membangun keselarasan hidup?
setiap lagu kebangsaan sarat pada motivasi memacu kesadaran
menjunjung teguh hakikat kemanusiaan

sebagai anak bangsa dari satu rahim ibu pertiwi, apakah kita
merasa punya sepenuhnya lagu kebangsaan?
atau malah sebaliknay, menjadi turis hobi keluyuran dengan
gaya hidup serabutan, makan minum, tidur, dan rajin soal begituan?

apakah yang ada di rumah sebelah?
lagu-lagu kebangsaan hanya dijadikan penghias lemari
dikalahkan parade lagu-lagu hits impor dan kumpulan lagu kembang semusim
sehingga jauh jarak jiwa dengan semangat kebangsaan sebagai anak negeri

lagu kebangsaan bukan jerit pekik yang mendendangkan
tentang kematian alam pikiran, menyebarkan bau amis nanah
dari koreng kemiskinan yang melumpuhkan daya hidup!

lihatlah,
ibu negeri terjepit di tanah retak, mengerang di tandas luka
batinnya berdarah, ketika lagu kebangsaan ditipu jiwanya
diperkosa kesuciannya ditelanjangi ruhnya, menggelepar
terbuang di tanah lumpur!

buat apa nyatakan cinta pada negeri, kalau kita gagap
menyanyikan lagu Indonesia Raya
apa maksudnya setia pada tanah air
apabila kita tak mengenal lagu Bagimu Negeri
bagaimana menyatakan pembela bangsa
kalau kita tak pernah menghapal lagu Halo-Halo Bandung!
apakah kita cukup puas jadi beo atau kakatua?

oh Ibu negeri luruh termangu di lembah-lembah kabut duka!
kesabarannya meleleh, melendir sebab ternista!
sementara kita terus memisahkan jarak ruang dan waktu
meniadakan harapan mulia atas kepentingan bersama rindukan
surga di bumi kita punya?

badai gelisah terus menerpa dan menghunjam, tak tentu masa
lagu kebangsaan dianggap nyanyian sumbang
tak punya naluri, tak mendarah, tak mengurat,
tak mendaging, tak menulang, tak jadi jeroan
mengisi alam sadar, jadi harum kayu cendana!

mengapa kita gemar membuat Ibu negeri mengerang
meluka batin, tersayat, berdarah, beku terbalut kafan,
lantaran kita tak ambil pusing, untuk menjaga, merawat
ketenangan mata jiwanya

sementara,
kita selalu terlena mendengarkan lagu hingar bingar pekik
pembantaian tanpa memikirkan kedukaan saudara sebangsa,
yang dilahirkan di tanah serupa

lagu kebangsaan,
bukan dijadikan penghuni
laci lemari!

*(Kepada Presiden yang Ter…)

Tidak saya pungkiri, saya pun berkali-kali merasakan apa yang telah dia rasakan di dalam puisi ini. Pengalaman batin yang saya rasakan adalah manakala menyimak lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara penuh tiga stanza. Ya tiga stanza. Mungkin tidak semua pembaca mengetahui bahwa lagu Indonesia Raya sejak dahulu dilahirkan sebanyak tiga stanza atau bisa jadi tidak semua mengetahui lirik dua stanza berikutnya karena hanya stanza satu yang biasa dinyanyikan oleh bangsa Indonesia dalam menyanyikan lagu tersebut di setiap moment.

Lirik lagu yang sesungguhnya membawa pesan-pesan dan nilai-nilai sakral yang semestinya menjadi salah satu pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Lirik lagu yang memiliki nilai-nilai puisitia dan makna pesan begitu agung telah dibuat oleh WR Supratman namun begitu disayangkan harus terpenggal dua stanza lainnya.

Berikut ini ada baiknya jika kita simak dan cermati keseluruhan isi tiga stanza lagu Indonesia Raya.

Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku, Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku, Hiduplah neg’riku, Bangsaku, Rakyatku, semuanya, Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya. II Indonesia, tanah yang mulia, Tanah kita yang kaya, Di sanalah aku berdiri, Untuk s’lama-lamanya. Indonesia, tanah pusaka, P’saka kita semuanya, Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia. Suburlah tanahnya, Suburlah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya, semuanya, Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya, Untuk Indonesia Raya. III Indonesia, tanah yang suci, Tanah kita yang sakti, Di sanalah aku berdiri, N’jaga ibu sejati. Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku sayangi, Marilah kita berjanji, Indonesia abadi. S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya, Pulaunya, lautnya, semuanya, Majulah Neg’rinya, Majulah pandunya, Untuk Indonesia Raya. Refrain Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Tanahku, neg’riku yang kucinta! Indonesia Raya, Merdeka, merdeka, Hiduplah Indonesia Raya.

Indonesia kita kaya sehingga seharusnya tidak ada kemiskinan di bumi Indonesia. Namun masih juga kita melihat di sana-sini kemiskinan dan kemelaratan. Tanah yang subur belum mampu menghidupi desa demi desa, kota demi kota, perut demi perut bahkan yang lebih ironis lagi terjadi negeri subur kita karus mengimpor beras bahkan garam dari luar negeri padahal negeri kita adalah negeri bahari. Ikan-ikan membusuk dari kepala hingga buntut tak mampu diselamatkan karena sulitnya penggaraman.

Di dalam lirik lagu Indonesia Raya tersemat sebuah sumpah dan janji untuk menjaga rakyatn, pemuda, pulau, laut dan seluruh harta kekayaan Indonesia raya demi kemajuan dan keberlangsungan hidup dan keutuhan negeri bernama Indonesia. Di dalam lagu ini kita dituntut untuk terus bergerak maju, memajukan negeri juga pemuda Indonesia sebagai ujung tombak yang berada di garda terdepan sehingga Indonesai menjadi negara yang disegani dunia.

S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya, Pulaunya, lautnya, semuanya, Majulah Neg’rinya, Majulah pandunya, Untuk Indonesia Raya

Lirik yang menjadi janji ini semestinya menggetarkan patriotisme bangsa kita untuk melepaskan segala keegoan dan nafsu dunia yang membatukan hati dan rasa sehingga lupa untuk menjaga ibu sejati kita, ibu pertiwi, Indonesaia tanah tumpah darah kita.

Magisnya Lagu Indonesia Raya ini sangat wajar jika pada akhirnya pemerintah kolonial Hindia Belanda melarang beredarnya lagu ini karena rupanya justru jadi sumber kecemasan yang dituduh mengganggu ketertiban dan keamanan (rust en orde). Karena lirik lagu ini memberikan semangat yang menyala dan berkobar-kobar di dalam jiwa dan semangat juang bangsa Indonesia ketika itu. Puitika dan diksi yang dipilih WR Supratman memiliki kekuatan ghiroh berjuang, memiliki jiwa dan energi yang luar biasa. Ketika Balatentara Jepang baru datang dan merebut Hindia Belanda, lagu ini sempat berkumandang bebas untuk sementara waktu. Setelah Maret 1942, lagu ini jadi lagu terlarang.

Kita sudah tidak lagi meneriakkan kata Indonesia merdeka meskipun kita belum merdeka secara sesungguhnya. Namun, sudah menjadi sebuah keniscayaan bila saat ini kita berjuang bergerak maju untuk melindungi bagsa ini, dari penjajahan-penjajahan Raffles-Raffles baru di Indonesia.

badai gelisah terus menerpa dan menghunjam, tak tentu masa
lagu kebangsaan dianggap nyanyian sumbang
tak punya naluri, tak mendarah, tak mengurat,
tak mendaging, tak menulang, tak jadi jeroan
mengisi alam sadar, jadi harum kayu cendana!

Miris ketika membaca dan mendengar puisi ini dikumandangkan. Sampai di bait ini saya semakin merasa tertampar, tertindih, terciduk ke dalam arah telunjuk. Kegelisahan-kegelisan yang sering kali muncul bukan hanya merupa keresahan namun juga ketakukan setiap tampak di hadapan ketimpangan-ketimpangan sosial, kekerasa, dan ketidakadilan muncul, dan lebih parah lagi ketika melihat pemuda kita hanya bersantai-santai ria bahkan melakukan penyimpangan-penyimpangan yang semestinya hal itu tidak terjadi. Narkoba menjadi amunisi yang siap menghancur luluhkan putra-putri bangsa Indonesia sebagai virus yang menggerogoti setiap arteri darah.

Lagu kebangsaan bukan hanya dikenal, dihafal, namun dijadikan jiwa dari semua pesan-pesan yang berbentuk petuah dalam syair lagu. Lagu kebangsaan adalah pusaka yang menjaga haluan berbangsa dan bernegara karena di sana terkandung wasiat dan amanah para pejuang pendahulu kita.

Bambang Oeban selalu mengakui sebagai murid Rendra yang cinta Rendra dan pemikiran-pemikiran Rendra. Rendra seorang seniman besar yang telah turut memberikan kontribusi kepada negara turut memperjuangkan dan melawan segala bentuk penindasan dan penyelewengan yang merusak gerak hidup bangsa.

Demikianlah Bambang Oeban dengan keranuman usianya tampak ke dalam puisi-puisinya yang kokoh dan kuat. Kegelisahan-kegelisahannya terhadap kondisi bangsa Indonesia diekspresikan ke dalam kata-kata yang menghentak-hentak kesadaran pembaca. Semestinyalah kita merenungi keseluruhan isi puisi tersebut dan sewajarnyalah jika pada akhirnya kita merasa malu menjadi bangsa Indonesia yang tidak memahami falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Demikianlah sosok kepribadian penyair tersirat di dalam batin puisi yang tertulis dengan mengalir deras sehingga menderaskan kembali hasrat cinta tanah air dan bangsa yang bukan semata larut dalam hafalan namun menjadi sebuah sikap hidup. Dia berusaha untuk membuktikan patriotisme yang mengalir dalam jiwanya dalam sebuah filosofi kepenyairannya, yaitu PERJUANGAN ADALAN PELAKSANAAN KATA-KATA. Lewat sastra kita luruskan laku gerak hidup berbangsa dan bernegara!

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *