Denny JA
Dari manakah datangnya ekstasi itu? Satu totalitas, kesadaran yang memuncak. Ia tak hanya memberi kedalaman. Kebahagiaan tak terkira. Ia juga menjadi sumber batin kreativitas yang ekstra, yang melahirkan karya – karya besar. Masterpiece.
Pertanyaan ini yang saya bawa ketika mengunjungi jejak Jalaluddin Rumi (1207-1273) di Turki. Di tahun 2009, salah satunya saya datang ke Hodjapasha Teater di Istambul. Di sana, ditampilkan tarian sufi: Darwish Dancing, yang datang dari Jalaluddin Rumi.
Rumi sudah wafat 800 tahun lalu. Tapi BBC Culture menulis, bahkan kini buku puisi Rumi tetap paling laku bahkan di Amerika Serikat (1). Buku puisi Rumi dicari, dibeli, dibaca melampaui penyair kontemper dunia barat seperti Walt Whitman, Edgar Allan Poe, bahkan William Shakespeare.
Di Amerika Serikat, puisi Rumi terdengar tak hanya di Mesjid, tapi juga di Gereja, Sinagog dan Kampus. Bahkan puisi Rumi dibacakan pula oleh selebriti seperti Madona, Demi More, dan Depak Chopra.
Saya datang ingin merasakan langsung getar batin Rumi dari jejak terdekat, di Turki.
Pemandu tur menjelaskan, itu salah satu lukisan tentang Rumi yang paling tua, dibuat lebih dari 600 tahun lalu. Gaya lukisan itu terasa purba. Itu kisah Rumi yang sedang ziarah ke makam ayahnya. Lalu hadir Sultan Sejuk di sana. Terkesan dari lukisan itu, bahkan seorang sultan menghormati mistikus, sufi dan penyair Rumi.
Sempat pula saya memandang buku Divan-I- Kebir, karya puisi masterpiece Rumi. Buku itu dicetak tahun 1366. Puisi dari buku ini, juga dari buku Masnavi, yang membuat Andrew Harvey, akademisi agama menulis. Dalam kesadaran Rumi hadir kedalaman renungan sekelas Budha, luasnya pengetahuan sekelas Plato, dan keindahan bahasa sekelas William Shakespeare. Tiga guru dunia sekaligus dalam satu pribadi.
Dari manakah datangnya ruh, spirit, kreativitas yang ikut membawa Rumi dalam ekstasi, melahirkan masterpiece.
-000-
Saya duduk di ruang itu. Menikmati alunan musik dan tarian Darwish. Lima penari berputar dalam tiga tahap, dalam pertunjukan sekitar 1 jam.
Tarian itu berputar- putar itu dengan kecepatan meninggi. Dan kesadaran sang penari semakin intens.
Dalam tari itu, suasana batin sang penari sangatlah utama. Para penari mulai dengan tahap kesadaran yang disebut pengetahuan tentang Tuhan. Lalu penari beranjak lebih intens dengan penglihatan batin kehadiran Tuhan. Puncaknya, penari merasakan bersatu dengan Tuhan.
Ketika sampai pada tahap penyatuan dengan Tuhan, itulah keheningan tertinggi. Pengunjung yang juga mengembangkan kesadaran batin ketika menonton tarian itu bisa ikut merasakan aura sang penari.
Dalam banyak kasus, Rumi menciptakan puisi dalam kondisi yang ekstasi seperti itu. Ia juga menari. Kadang Rumi juga berputar. Total jiwa raga Rumi menyatu pada satu momen kesadaran. Seolah waktu berhenti. Tak ada yang lain. Hanya Ia dan Tuhan.
Dalam suasan ekstasi, kadang air mata Rumi menetes. Suaranya bergetar penuh haru. Dari mulutnya keluar ungkapan indah. Acapkali ada satu sampai dua murid yang hadir di ruang itu. Mereka mencatat syair dan puisi yang lahir dari kesadaran ektasi itu.
Lahir puisi dalam proses yang tak biasa. Hadirlah renungan dengan kedalaman yang juga tak biasa. Tak heran, karya Rumi yang lahir dalam proses ektasi itu mampu menembus ruang dan waktu hingga 800 tahun.
Apa yang dilahirkan Rumi dari puncak kesadaran di abad ke 13, masih menggetarkan hati homo sapiens, yang hidup 800 tahun kemudian. Padahal zaman dan selera sudah sangat berbeda.
Para ahli di masa kini, menyebut kesadaran Rumi ketika mencipta puisi sebagai Flow. Kondisi Flow ini banyak diteliti oleh Mihaly Czikszenmihalyi (2). Ia dianggap salah satu dari bapak positive psychology.
Itu kesadaran yang sangat intens, total. Flow hanya bisa terjadi pada pelaku yang begitu mencintai apa yang dikerjakan. Seperti Mozart bermain piano. Michael Angelo memahat patung. Pele bermain bola. Einstein merenung merumuskan hukum fisika.
Dari Mihaly kita pelajari. Momen yang paling bahagia itu bukan simulasi eksternal: mendapat harta banyak, promosi jabatan tinggi, penghargaan atas prestasi. Momen puncak itu adalah kualitas kesadaran, ketika hati penuh cinta, penuh passion, total engagement.
Suasana Flow itu tak hanya memberi kebahagian puncak. Tapi dari sana pula meledak kreativitas puncak.
-000-
Pengalaman ekstasi dan Flow tak hanya dialami para maestro. Publik luas dapat pula mengalaminya dalam intensitas yang beragam. Kualitas kesadaran tingkat ektasi dan Flow tak pula hanya datang dari ritual agama atapun renungan sastra. Aneka kegiatan sehari-hari juga dapat menghasilkan kualitas itu.
Mulai dari kegiatan waktu luang, sport atau seni, atau berleha-leha. Juga kegiatan kantor sehari hari seperti bekerja rutin, intens dengan paper work, menyusun agenda program. Hingga aktivitas hubungan sosial, seperti hang out, percakapan, dan sebagainya. Semua kegiatan itu punya potensi membangkitkan ekstasi atau flow, dengan spektrum kedalaman yang berlainan.
Itu kesimpulan dari riset yang dilakukan di Mihaly Czikszenmihalyi, Univesitas Chicago, di tahun 1970an (3). Riset ini melibatkan 2300 responden dalam jangka waktu panjang. Metode yang digunakan disebut Experience Sample Methods (ESM).
Masing- masing responden selama waktu riset diminta membuat catatan harian. Mereka menuliskan apa saja kegiatan mereka per jam. Lalu mereka juga diminta memberikan skor seberapa mereka merasakan suasana ekstasi dan flow dari kegiatan itu.
Total laporan riset sebanyak 70 ribu halaman. Dari laporan itu, Mihaly menyimpulkan. Sekitar 23 persen responden cukup sering merasakan situasi flow itu. Sebanyak 12 persen menyatakan sama sekali tak pernah merasakan atau tak tahu kesadaran flow. Sisanya sekitar 65 persen responden merasakan sekali sekali.
Ada yang merasakan flow ketika menikmati waktu luang berolah raga, menikmati seni. Ada pula yang flow ketika intens menyusun rencana kerja kantor. Banyak juga yang flow ketika berdoa, hang out, berjalan bersama kekasih.
Satu hal yang pasti. Semua kegiatan yang memberikan suasana ekstasi hanya yang sangat disukai oleh individu itu. Suasana flow, apapun kegiatannya, hanya lahir jika ada passion, ada rasa cinta. Terlibat sepenuh hati atas apa yang dilakukan, apapun itu, potensial melahirkan flow.
-000-
Ini prinsip ketiga dari spiritualitas baru: Passion. Terlibat sepenuh hati. Apapun yang memang penting untuk dilakukan sentuhlah dengan cinta.
Spiritualitas baru itu narasi besar gelombang ketiga, setelah gelombang pertama (mitologi), dan gelombang kedua (wahyu, agama). Pada gelombang ketiga, prinsip panduan hidup bermakna dan bahagia disusun berdasarkan riset ilmu pengetahuan.
Spiritualitas baru tidak menggantikan agama, namun menjadi common denominator homo sapiens yang kini terbelah dalam 195 negara, 4300 agama dan 6500 kelompok bahasa.
Ini sesuai dengan spiritnya: Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spiritualitas.
Prinsip pertama spritualitas baru adalah Personal Relationship. Yaitu memiliki hubungan personal yang akrab dengan orang lain, saling mengasihi, saling menumbuhkan. Mungkin itu kekasih, keluarga, komunitas. Jumlah tak penting. Yang penting kualitas hubungan.
Prinsip kedua: Positivity. Bukalah mata lain. Lihat sisi positif aneka peristiwa. Derita dan musibah dapat dilihat dengan hikmah. Bahwa derita itu membawa pesan Tuhan untuk pertumbuhan bagi yang mengalami.
Prinsip ketiga: Passion, juga dirumuskan berdasarkan hasil riset. Apapun jenis kelamin, usia, warna kulit, status ekonomi. Apapun agama yang dipeluk, asal negara, tinggi rendah jabatan. Semua homo sapiens dapat mengalami suasana ekstasi dan Flow.
Rumi menyatakannya dengan puitis. “Tenggelam lah dengan khusyuk pada apa yang kamu cintai.” Atau: “Dimanapun, kapanpun, apapun yang kamu lakukan, tumbuhkan kehangatan cinta.”
Juga di kutipan lain: “Jika kau jalani sepenuh jiwa, sungai makna deras mengalirimu.” Renungkan pula ini: “Buka hati bagi setiap panggilan yang membuat batinmu riang.” Atau “Sang pencari yang dipenuhi cinta, tak pernah tersesat.”
Sepanjang umur usia kita. Apapun yang dijalani, dimanapun, kapanpun, Hiduplah dipenuhi cinta. ***
Juni 2020
(Bersambung)