Review Buku Denny JASpirituality of Happiness,Spiritualitas Baru Abad 21,Narasi Ilmu Pengetahuan
SPIRITUALITAS UNIVERSAL,LINTAS AGAMA
Dr. Haidar Bagir Peraihan kebahagiaan (the pursuit of happines, tahshil al-sa’adah) adalah barangkali satu-satunya concern manusia yang sudah ada sejak awal sejarah manusia, dan mungkin akan tetap terus ada sampai akhir zaman.
Buku ini menarik karena menyoroti persoalan ini dari suatu perspektif baru di dunia penelitian tentang kebahagiaan. Yakni ilmu neuroscience dan psikologi mutakhir–yakni psikologi positif.
Lebih dari itu, hampir-hampir pendekatan buku berlawanan dengan pendekatan naturalistik-materialistik yang lagi fashionable belakangan ini. Sebaliknya dari hanya percaya dengan yang serba naturalistik-materialistik, penulis buku ini mengaitkan kebahagiaan dengan spiritualitas.
Yakni keterhubungan manusia dengan kekuatan kudus yang bersifat supranatural, yang biasa disebut sebagai Tuhan. Khususnya dengan gagasan tentang the benevolent God (Tuhan yang welas asih).
Seraya mengambil dari logoterapi-nya Victor Frankl, penulis juga banyak memanfaatkan temuan-temuan ilmiah psikologi positif yg dimotori oleh Martin Seligman.
Selain mengacu kepada percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Seligman dan kawan-kawan tentang upaya memperkuat positivity–sikap positif dalam merespons kejadian-kejadian yang menimpa–dan pentingnya optimisme, penulis juga menimba dari gagasan salah seorang proponen psikologi positif lainnya–Mihayi Csikszentmihalyi–tentang flow.
Flow adalah suatu keadaan yang di dalamnya seseorang yang mengalaminya berada di peak performance, yang, sekaligus, memberinya rasa puas atau bahagia (ekstase). Penulis menyebut keadaan ini sebagai passion.
Berbagai hasil penelitian neuroscience dan psikologi mutakhir ini menjadi tambang yang darinya penulis merumuskan suatu bentuk spiritualitas baru berdasar ilmu pengetahuan ini.
Sebelum masuk ke dalam unsur-unsur spiritualisme baru ini, penulis menegaskan–berulang kali, di beberapa tempat dalam buku ini, bahwa spiritualitas baru ini bukanlah pengganti agama, melainkan merupakan cara baru para penganut agama ini seharusnya memahami dan mempraktikkan agamanya.
Jika pada awalnya orang menganut agama secara mitis–bahkan dilandaskan pada ketakutan–lalu berkembang menjadi berlandaskan wahyu, maka spiritualisme baru ini memanfaatkan temuan-temuan baru sains untuk mengejawantahkan ajaran-ajaran agama ke dalam perilaku yang bisa memastikan penganutnya untuk bisa meraih kebahagiaan yang dicarinya, sesuai dengan cara jiwa dan otak manusia bekerja.
Sebagai salah satu bukti, atau implikasi, bahwa spiritualitas baru ini tak dimaksudkan untuk mengganti agama, maka sesungguhnya spiritualitas baru ini bisa secara universal diterapkan atas semua agama, tanpa kecuali.
Bukan saja spiritualitas baru ini netral agama, bahkan ia melintasi berbagai paham atau keyakinan tentang Tuhan: apakah Tuhan yg diyakini bersifat personal, impersonal, agnostik, deistik, atau panteistik, dan sebagainya.
Karena, bagi penulis, bukanlah paham atau keyakinan teologi tentang Tuhan itu yang penting, melainkan bagaimana Tuhan dipahami dan diyakini sebagai memiliki sifat welas asih, bukan otoritarian.
Terkait dengan ini, tetap dengan mendasarkan pada penelitian neurosains, penulis menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih sering berdoa memiliki peluang lebih besar untuk berbahagia karena kontaknya dengan Tuhan Yang Welas Asih itu terus terpelihara.
Karena sifat spiritualitas baru ini yang melintasi agama dan paham-paham ketuhanan, ia justru penting untuk menyatukan ribuan agama yang dianut di zaman kita sekarang.
Keragaman begitu besar yang tercipta dalam kurun waktu lama berkat adanya perbedaan tafsir, menurut penulis, bisa disatukan dengan spiritualitas baru ini.
Masuk ke prinsip spiritualitas baru ini, salah satu temuan ilmu pengetahuan mutakhir ini, adalah adanya kecenderungan manusia kepada rasa oneness. Yakni kebersatuan dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan manusia-manusia, dengan alam semesta dan misterinya.
Prinsip ini, pada gilirannya, melahirkan kebutuhan akan keintiman (intimacy) dengan manusia atau unsur alam lainnya. Sejalan dengan itu, selama manusia memelihara hubungan dengan The Benevolent God, muncul pula tuntutan akan sifat welas asih (compassion) dalam berhubungan dengan unsur-unsur lain alam semesta.
Maka merupakan syarat di dalam spiritualitas baru ini kepemilikan kedua sifat itu, yang hanya dengan itu orang bisa meraih kebahagiaan.
Sampailah kita ke ujung perjalanan eksplorasi penulis terhadap spiritualitas dan kebahagiaan, dengan masuk kepada semacam “resep” atau formula meraih kebahagiaan ini.
Setelah mulai dengan spiritualitas sebagai jangkar, lalu masuk kepada keharusan terpenuhinya syarat terpuasinya kebutuhan akan kebersatuan (oneness), atau intimacy, dan welas asih (compassion), masuklah penulis ke dalam formula praktis meraih kebahagiaan yang meringkaskan semua akar dan prinsip yang telah dibahas sebelumnya.
Yakni 3P+2S, yang masing-masingnya adalah personal relationship, positivity, passion, serta small winnings (pencapaian-pencapaian yang diraih, meski kecil-kecil, yang memberikan kepuasan) dan spiritual blue diamonds.
Yang terakhir ini adalah tiga berlian biru yang diajarkan semua agama dan filsafat besar: melakukan kebajikan, menghidupkan power of giving (kekuatan pemberian), dan menumbuhkan the oneness: rasa bersatu dengan manusia lain, lingkungan sekitar dan misteri alam semesta.
Formula 3P+2S ini kiranya merupakan wujud konkret dari spiritualitas baru yang dicita-citakan penulis, suatu spiritualitas berlandaskan keilmuan yang dapat mewedar ajaran-ajaran agama sesuai temuan-temuan ilmu pengetahuan demi membawa manusia kepada realisasi upaya pencarian kebahagiaan mereka dan, pada waktu yang sama, dapat menyatukan agama-agama dalam berbagai keragamannya.
Buku ini, menurut saya, penting dan menarik dilihat dari beberapa segi. Pertama, ditulis dengan gaya populer yang tidak susah dipahami, ringkas, praktis, dan tidak bertele-tele, tapi pada saat yang sama isinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Taburan khazanah spiritualitas klasik dan, khususnya, syair-syair Rumi di sepanjang buku, menambah daya tarik buku ini. Jika ada ruang bagi perbaikan–dan sesungguhnya tak pernah tak ada ruang bagi perbaikan dalam karya manusia yang mana pun–maka itu adalah dalam hal keruntutan progresi argumentasi yang dirangkai penulis.
Memang hampir-hampir bisa dibilang bahwa tak ada pembaca yang bisa gagal dalam menangkap arah pembahasan buku ini, tapi penghalusan di sana sini dalam runtutan pembahasannya kiranya akan menjadikan buku akan makin lebih enak dibaca.
Kita patut menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada penulis atas penulisan dan terbitnya buku ini.
Saya menganjurkan siapa saja untuk membaca buku yang amat bermanfaat ini, mengingat concern buku ini adalah concern perenial semua manusia.***
Sumber tulisan:https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3131276703635124/?d=n
-000-