SURABAYA – Terdakwa Sri Endah Mudjiati tak kuasa menahan tangis saat menjalani sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (13/3/2025). Ia diadili atas dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap ketertiban umum sesuai Pasal 167 Ayat (1) KUHP atau 385 Ayat (1) KUHP.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Erly Soelistyarini dengan hakim anggota Jahoras Siringo-ringo dan Darwanto, Endah menceritakan bagaimana ia dan suaminya mengajukan pinjaman Rp500 juta pada 14 Juni 2013 dengan jaminan sertifikat tanah dan bangunan di Surabaya. Namun, pinjaman yang disetujui hanya Rp400 juta, dengan dana yang diterima sebesar Rp368,5 juta setelah dipotong biaya bunga dan notaris.
Endah mengaku tidak membaca akta yang ia tanda tangani di hadapan notaris (almarhum). “Karena percaya, saya langsung tanda tangan,” ujarnya. Ia juga menyebut telah membayar cicilan pada 2018, namun setelahnya kesulitan melunasi utang.
Pada 2016, ia dipanggil The Tomy, yang kemudian mengambil alih utangnya dari Sulasmitri. Endah mengklaim dirinya ditekan untuk menandatangani kwitansi kosong yang mengubah nilai utang dari Rp400 juta menjadi Rp500 juta. Ia juga baru mengetahui sertifikat tanahnya telah beralih nama pada 2021 setelah ditunjukkan oleh penyidik Polrestabes Surabaya.
Hakim anggota I menyoroti kejujuran Endah dan mempertanyakan mengapa ia tidak membaca akta sebelum menandatanganinya. “Judulnya pun tidak saudara baca? Itu tidak masuk akal,” tegas hakim.
Hakim juga menghitung total kewajiban Endah yang terus membengkak akibat bunga 6 persen per bulan selama 12 tahun, mencapai sekitar Rp3,6 miliar. “Apakah saudara sanggup membayar?” tanya hakim.
“Saya tidak sanggup, Yang Mulia,” jawab Endah lirih.
Sidang akan berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi meringankan sebelum majelis hakim mengambil keputusan atas kasus ini. (Han)




