Stigmatisasi (Negatif) Terhadap PNS Kita

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Entah karena faktor apa, beberapa waktu lalu, sebagai daerah otonomi baru (DOB), 3 provinsi baru di Papua (Papaua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan) pendaftaran calon ASN sepi peminat. Sebagaimana dikutip inilah.com. sejak dimumkan tanggal 17 November 2022 sampai berita itu ditulis (21 Desember 2022) baru terdaftar sekitar 65 orang. Padahal, ketiga provinsi tersebut membutuhkan setidaknya sebanyak 3.200 orang ASN. Fenomena ini tentu berbeda dengan daerah-daerah lain yang biasanya setiap kesempatan dibuka, selalu melebihi target berlipat-lipat dari yang diperlukan. Di banyak daerah pendaftaran pemenrimaan calon PNS selalu menjadi rebutan para pencari kerja. Mengapa masyarakat masih menjadikan PNS sebagai idola karena banyak hal. Yang pasti, di saat sektor swasta tidak memberikan kepastian jaminan masa depan, PNS-lah yang dapat diharapkan. Meskipun dengan gaji ‘pas-pasan’ tetapi ada kejelasan jamianan hidup keseharian. Menjadi PNS, sakit dan tidur pun tetap digaji, begitu masyarakat beranggapan.
Secara empiris sering terlihat di masyarakat seorang PNS penampilan bisa berbeda-beda. Perbedaan itu tidak hanya menyangkut selera dasar seperti tampilan pakaian dinas, tetapi juga menyangkut selera sekundernya, seperti pemenuhan kepentingan sebagai gaya hidup pribadi. Yang terakhir ini malah sering menimbulkan gunjingan dan berikut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kecil yang sulit dijawab. Orang itu sama-sama menjadi PNS dengan pangkat yang sama dan dengan jabatan yang sama, tetapi mengapa gaya hidup dan panampilan hariannya bisa berbeda. Yang satu biasa-biasa saja tetapi yang satu lainnya bisa mewah. Yang satu terlihat seperti tidak ada perbedaan dengan yang bukan PNS di sekitarnya. Sedangkan yang satu lainnya, setelah menjadi PNS dengan segenap gaya hidup dan penampilannya yang berubah drastis.

Jawaban atas pertanyaan mengenai gambaran hidup 2 PNS di atas memang tidak bisa dijawab secara hitam putih. Ketika saya mengajak diskusi mengenai hal ini dengan teman, dia tiba-tiba menukas, bahwa seorang PNS bisa kaya raya karena sebelumnya dia memang sudah keturunan orang tua yang kaya. Sedangkan PNS yang satu itu tetap biasa-biasa saja karena sebelumnya memang dari keluarga pas-pasan. Gajinya yang pas-pasan pula tentu tidak cukup untuk merevolusi penampilan dan gaya hidup berikutnya. Jawaban bijak teman yang demikian tentu didasarkan atas cara berfikir positif. Dalam bahasa agama berfikir positif ini sering disebut dengan istilah “khusnudhon” (berprasangka baik). Sikap ini tentu, perlu dikembangkan agar seseorang tidak mudah terjebak kepada prasangka-prasangka negatif yang pada gilrannya akan menjurus ke sifat kedengkian (hasud). Dalam ilmu tasawuf hasud merupakan salah satu bentuk penyakit hati yang harus dihindari. Nabi SAW memberikan ultimatum: “Kedengkian dapat menyantap kebaikan seperti halnya api melalap kayu bakar.”

Perbadaan gaya hidup PNS yang satu dengan lainnya memamng bisa disebabkan oleh banyak faktor. Faktor ‘keturunan’ seperti yang disebutkan teman tadi memang bisa benar. Akan gtetapi dalam praktik biasanya orang yang sudah kaya sering tidak tertarik dengan status PNS. Bagi orang yang sudah kaya menjadi PNS dengana gaji terbatas tidak dapat diharapkan mempunyai kekayaan lebih. Penghasilan PNS memang konstan tetapi dengan jumlah yang sedikit tentu tidak dapat untuk memacu mencapai target-target duniawi dengan cepat. Faktor lain mengapa PNS bisa eksis secara duniawi semisal karena di samping PNS yang bersangkutan sudah punya basic harta yang lumayan juga karena faktor kepribadian, seperti gaya hidup yang tidak boros, rajin menabung, bisa mengelola penghasilan secara cermat, keluarga (istri dan anak) yang mudah ‘dikendalaikan’. Mengenai hal ini dapat diambil juga diambil contoh dengan ilustrasi 2 PNS berikut.

Dua PNS ini dengan basic yang sama ( dari segi modal kekayaan, pangkat dan golongan) tetapi yang satu bisa memperoleh status sosial tertentu dengan beberapa indikator, seperti kemampuan membeli rumah, membeli mobil dan bisa naik haji. Sedangkan yang satunya jangankan membeli mobil, sudah hampir beberapa tahun lagi memasuki usia pensiun masih harus tinggal di rumah kontrakan. Yang pertama karena tinggal di desa yang relatif sedikit godaan duniawinya dan bisa memanaj gaji dengan rajin menabung paksa ( menggunakan jasa Bank) untuk mewujudkan ‘ambisi-ambisi’ hidupnya. Setiap ada peluang mendapatkan sesuatu (rumah, mobil dan sebagainya) dia selalu berfikir taktis dan kemungkinan mendapatkannya dengan menghitung gajinya secara cermat. Kebiasaan yang demikian juga mendapat dukungan pola pikir seluaruh keluarga (istri dan anak-anaknya). Sedangkan PNS satunya, di samping kurang berhasil membuat pola pengeluaran secara disiplin tampaknya kondisi keluarga juga tidak memberikan ‘dukungan’ dengan baik. Di samping itu pola kehidupan lingkungan juga kurang memungkinkan untuk memberikan dukungan program hidup hemat.

Akan tetapi, terlepas dari ilustrasi di atas, ada lagi sorotan masyarakat yang perlu menjadi bahan refleksi para PNS. Sampai saat ini, masih ada sebagian masyarakat yang menyorot penghasilan PNS. Perbedaan pola hidup PNS bukan hanya disebabkan oleh gambaran di atas, tetapi lebih disebabkan kepada ‘nasib’ PNS yang bersangkutan. PNS tertentu bisa memperoleh capaian duniawi lebih karena faktor-faktor lingkungan kerja dan kepribadian PNS yang bersangkutan. Yang pertama PNS yang bersangkutan memang bekerja di lingkungan yang memungkinkan mendapat gaji lebih dari yang lain. Mengenai hal ini sering dikenal dengan istilah “tempat basah” dan “tempat kering”. Msyarakat menilai seorang PNS yang bisa beli ini dan itu, karena dia berada di tempat basah. Tetapi anggapan demikian tidak sepenuhnya benar. Sebab, gaji semua PNS dengan kualifikasi jabatan tertentu sudah ada standarnya. Seberapa penghasilan PNS dengan jabatan apa pun secara tersurat sudah ada tabelnya. Semua orang bisa mengetahui hal ini sebab aturan yang menjadi dasar penggajiannya sudah menjadi domain dunia kepegawaian yang informasinya juga bisa diakses masyarakat umum. Ketika masyakarat mengetahui hal ini lantas membandingkan tampilan kehidupan hariannya, masyarakat pun bertanya-tanya, dari mana PNS tersebut mendapatkan tambahan penghasilan sementara yang bersangkutan tidak mempunyai tambahan sumber penghasilan lain, seperti mempunyai bisnis tertentu. Ketika masyarakat membandingkannya dengan PNS lain yang sepadan dengannya tapi kehidupanya pas-pasan, masyarakat pun lantas mempunyai stigma negatif dan menemukan alasannya. PNS yang demikian karena ditempatkan di tempat yang basah dan sambil tengok kanan kiri, berhasil ‘mencuri’ tanaman yang tumbuh maskipun bukan hasil tanamannya. Atau, dengan kalimat lain, PNS tersebut telah mendapatkan sumber penghasilan lain di luar sumber semestinya. Akibatnya, masyarakat juga sering mengaitkan dengan latar belakang sebelumnya, yaitu seputar cara memperoleh jabatan PNS yang bersangkutan. Sedangkan, yang satunya meskipun di tempatkan di lahan basah hanya bisa merasakan kelembaban udara dengan risiko hidup pas-pasan, meskipun sukses menghadapai godaan duniawi. Dari 2 ilustrasi PNS di atas masyarakat banyak masyarakat sampai pada satu kesimpulan, kalau tidak ‘mencuri’ PNS memang tidak mungkin bisa kaya.

Terlepas benar tidaknya stigamatisasi negatif masyarakat yang jelas stigma masyarakat tersebut tentu tidak bisa 100 persen disalahkan sekaligus tentu tidak bisa dibenarkan 100 persen. Stigmatisasi masyarakat tersebut harus menjadi kritik ke dalam (selfcritic). Bagi setiap pimpinan stigmatisasi masyarat tersebut tentu juga berguna untuk melakukan pembinaan secara internal sambil terus melakukan pengawasan melekat secara intensif, di samping pengawasan malaikat yang senantiasa tidak pernah luput walau sedetik pun. Apologi terhadap stigmatisasi tersebut sama halnya alergi terhadap kritik eksternal yang akan semakin memperoleh stigma negatif berkutnya: “tidak akuntabel” dan “tidak responsif”. Bukankah akuntabilitas dan responsibilitas tersebut, kini banyak didengungkan di setiap setuan kerja, di saat negara mendengungkan jargon kerja, kerja, dan kerja atau gaspol.
Semoga menjadi bahan refleksi para PNS.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait