JAKARTA, Beritalima.com– Pemberlakuaan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona (Covid-19) di Indonesia telah membatasi pergerakan masyarakat di tanah air. Hal tersebut mengakibatkan terbukanya kelemahan teknologi pencatatan meteran yang dimiliki PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Persero plat merah yang sudah memasuki usia 75 tahun masih primitif dengan mengandalkan petugas pencatat KWH meter keliling dari rumah ke rumah.
Hal tersebut membuat gaduh seperti saat ini karena masyarakat merasa dirugikan karena lonjakan tagihan listrik yang sampai naik 100 persen dari biasanya dibayarkan pelanggan. Akurasi pencatatan meteran listrik yang dilakukan PT PLN dipertanyakan masyarakat karena banyak yang merasa selama Pandemi Covid-19, tidak ada petugas pencatat meteran PLN datang ke rumah pelanggan.
Namun, banyak tagihan listrik konsumen bengkak dalam jumlah yang sangat tidak masuk akal. Kalo tukang catat listrik tidak datang lalu dari mana PLN mematok tagihan listrik? Begitu sepenggal obrolan berseliweran di media sosial yang mempertanyakan melonjaknya tagihan listrik PLN.
Padahal, PLN adalah BUMN besar dan bensentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara. Boleh dikatakan, tidak satu orang pun di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan listrik setiap harinya. Karena itu, sangat memalukan dan primitif jika PLN masih mencatat pemakaian listrik dengan manual.
“Kita malu sebagai bangsa, ketika dunia sudah nyaman dengan teknologi Internet of Thing (IoT) dengan berbagai sensor yang sangat memudahkan kehidupan, eh kita masih mengurus meteran listrik yang tidak akurat,” kata anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Senin (15/6) pagi.
Sebagai solusi atas tindakan primitif PLN tersebut, jelas wakil rakyat dari Dapil Sumatera Utara II tersebut, sudah seharusnya pencatatan meteran listrik ini dibantu dengan sentuhan teknologi yaitu dengan ‘Program Digitalisasi’ untuk mencatat pemakaian listrik setiap pelanggan.
Selama pelanggan PLN tidak 100 persen menggunakan token, digitalisasi pencatatan meteran ini sangat dibutuhkan. “Data yang valid dan akurat, kemudahan mengakses data penggunaan listrik akan berdampak pada efisiensi PLN,” kata laki-laki kelahiran Lintongnihuta, 8 Pebruari 1973 itu.
Kebocoran pemakaian listrik yang sering terjadi selama ini, lanjut laki-laki berbintang Aquarius tersebut, akan teratasi dengan program digitalisasi ini. “Ini tentu saja akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada PLN dan sebagai perusahaan BUMN otomatis meningkatkan rasa percaya masyarakat kepada Negara.”
Digitalisasi ini, kata dia, sekaligus menjadi nilai tambah bagi pelanggan, misalnya jika terjadi lonjakan penggunaan listrik, pelanggan dapat info dari aplikasi seperti yang sudah umum diberikan perusahaan telekomunikasi. PT Pertamina juga akan memulai program digitalisasi ini, seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina akan menggunakan digitalisasi, sehingga akurasi dan tingkat kebocorannya bisa teratasi. “Saya pernah tanyakan ini waktu Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan PT Pertamina. Pertamina menyanggupi Juni tahun ini sebahagian SPBU sudah menggunakan digitalisasi,” kata Lamhot.
Sebagai jawaban atas lonjakan tagihan listrik ini, mengapa bukan PT PLN melakukan digitalisasi meteran ini yang dibuat sebagai wujud BUMN hadir untuk negeri dan sekaligus memperbaiki ekosistem BUMN sesuai jargon Menteri BUMN yang selalu didengung-dengungkan yakni (Amanah Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif (AKHLAK). (akhir)