Oleh :
Rudi S Kamri
Dalam dua hari ini jagat media sosial di Indonesia sedang mengalami meriang dan demam tinggi. Hal itu dipicu dengan rencana Pemerintah cq Menteri Agama yang akan memberikan rekomendasi terhadap perpanjangan surat izin ormas Front Pembela Islam (FPI). Rata-rata para netizen menolak wacana itu dan serta-merta mengecam Presiden Jokowi dan Menteri Agama. Pemerintah dituding melemah terhadap ormas yang sering berbuat anarkis dan kecaman lainnya.
Secara kebatinan saya sangat mengerti dan memahami penolakan keras yang disuarakan para netizen terhadap eksistensi FPI di tanah air ini. Jejak keras FPI dalam beberapa tahun terakhir ini harus diakui telah melukai kedamaian dan keberagaman Indonesia. Terlalu banyak luka yang digoreskan ormas ini selama beberapa tahun terakhir. Dan itu menuai resistensi yang tinggi terhadap keberadaannya di negeri tercinta ini.
Namun saya punya perspektif lain tentang hal tersebut. Dan perlu saya tegaskan perspektif ini adalah pandangan personal saya dalam melihat silang sengkarut dan kompleksitas masalah yang terjadi. Artinya saya tidak sedang mencari muka dengan mendukung Pemerintah atau memberikan pembenaran terhadap kebijakan yang akan diambil Pemerintah.
Sebagai sebuah bangsa yang sedang bertahan dalam menghadapi gelombang perlambatan ekonomi dunia, kita tidak boleh membiarkan kegaduhan di dalam negeri terus menerus meningkat eksalasinya. Karena kegaduhan yang terus kita pelihara akan membuat daya saing investasi kita menjadi tidak sexy lagi. Para investor akan gamang dan bahkan ketakutan untuk menempatkan dananya ke Indonesia. Padahal untuk memperkuat fondasi ekonomi domestik kita sangat membutuhkan suntikan dana dari luar yang berupa investasi bukan dalam bentuk hutang negara.
Investasi asing sangat kita perlukan saat ini untuk menggerakkan roda ekonomi domestik dan kita harapkan berimbas pada peningkatan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi kita bisa kita tingkatkan dan fondasi ekonomi kita semakin kokoh dalam menghadapi pengaruh resesi ekonomi global yang berpotensi terjadi.
Untuk memenuhi harapan itu kita memerlukan stabilitas keamanan dan politik yang kondusif. Dan menurut saya upaya menarik FPI ke dalam gerbong atau kandang NKRI (dengan beberapa persyaratan) adalah salah satu upaya agar stabilitas keamanan dalam negeri dapat terwujud. Membiarkan kubu FPI tetap liar di luar kandang dan berpotensi masuk dalam barisan ex HTI dan kubu pro khilafah, bukan pilihan yang strategis. Justru kalau bisa sebaiknya pemerintah menggunakan tangan dan kekuatan FPI untuk melawan kaum pro khilafah. Dan saya meyakini kekuatan kubu pro khilafah akan semakin menyusut drastis apabila salah satu pilar gerakan mereka bisa kita tarik dan jinakkan serta kita masukkan ke dalam barisan NKRI.
Kalau kita mencermati awal kelahiran ormas ini dari embrio Pamswakarsa yang dibidani oleh TNI, kita tahu genetika FPI sejatinya adalah NKRI, bukan kelompok pro khilafah. Perubahan mendasar warna gerakan ormas ini menjadi radikal dan bersikap oposisi terhadap pemerintah akhir-akhir ini karena dimanfaatkan oleh sekelompok politikus tamak dan rakus yang haus akan kekuasaan. Menarik kembali FPI dari kubu pro khilafah adalah upaya kita agar FPI bersedia kembali ke khittahnya sebagai gerakan dakwah kebaikan. Dan membiarkan mereka tetap di luar pagar, bagi saya akan membuat mereka semakin liar dan tidak terkendali.
Ada beberapa prasyarat yang saya usulkan kepada pemerintah terkait dengan wacana perpanjangan izin FPI.
PERTAMA :
Nawaitu mereka untuk menjujung tinggi ideologi Pancasila dalam bingkai NKRI tidak cukup hanya dilakukan dalam secarik kertas Surat Pernyataan. Tapi harus dimasukkan secara eksplisit ke dalam Anggaran Dasar organisasi mereka.
KEDUA :
Perpanjangan izin ormas FPI tidak dikaitkan dengan rencana kepulangan imam besar mereka ke Indonesia. Pemerintah harus steril dan tidak boleh terlibat dalam proses ini. Biarkan hal itu menjadi urusan mereka dan konsekuensi hukum yang masih melekat dari yang bersangkutan harus tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
KETIGA :
Upaya mereka dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat harus tetap tunduk sesuai dengan aturan dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Kalau ketiga syarat itu mau dipenuhi oleh mereka, kita bisa berharap tujuan “knock down system” dapat terwujud sesuai dengan harapan. Kalau mereka tidak mau, jangan pernah membiarkan mereka hidup lagi di bumi Indonesia.
Ketegasan aparat negara dan marwah pemerintah harus tetap kita jaga. Jangan sampai terkesan negara tunduk dengan kaum anarkis. FPI akan menjadi kucing liar atau sebaliknya tergantung dengan cara Pemerintah memperlakukan mereka. Menarik kucing liar menjadi bagian dari penjaga Pancasila adalah seni dan membutuhkan kecerdasan tersendiri.
Saat ini kredibilitas dan kecerdasan Menpolhukam, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menkumham sedang diuji dan dipertaruhkan. Apakah mereka mampu menjadi pawang kucing liar dan memanfaatkan kucing itu untuk menjaga kebhinekaan Indonesia ? Kita tunggu saja kiprahnya.
Jadi jangan biarkan kucing liar tetap ada di luar kandang. Karena mereka akan semakin brutal dan kehilangan akal. Masukkan saja mereka ke dalam kandang dan jinakkan. Kalau mereka tidak tidak bisa kita bina ya binasakan saja seketika. Apa susahnya…..
Salam SATU Indonesia,
28112019