Suara Dari WNI di Belanda, Soeharto Bukan Pahlawan

  • Whatsapp
Suara dari WNI di Belanda, Soeharto bukan pahlawan (foto: istimewa)

Belanda, beritalima.com|– Suara kritis datang dari negeri Belanda, dimana sejumlah lembaga seperti Gerak Solidaritas Belanda, Aksi Kamisan Netherlands, Watch65, dan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Kota Den Haag membuat pernyataan sikap menolak keputusan Presiden Prabowo Subianto menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Pernyataan sikap ini disampaikan dalam Diskusi Publik “Ada apa dengan Soeharto?”(15/11), dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat Indonesia di Belanda yang tergabung dalam berbagai organisasi tersebut.

Dalam pernyataan persnya, dipaparkan diskusi publik ini sebagai upaya melawan lupa dan menolak upaya-upaya pembungkaman dan pemutihan sejarah kelam Orde Baru, dengan menciptakan ruang refleksi bersama untuk membedah secara kritis permainan kekuasaan yang melanggengkan Orde Baru, tetap berlangsung selama masa reformasi dan kemudian mencapai puncaknya dengan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.”

Para peserta diskusi membuka lintasan sejarah di masa lalu. Dikemukakan sejarah (kekerasan) negara-bangsa Indonesia dan menempatkan kekerasan Orde Baru pada konteks internasional proses dekolonisasi, perebutan kekuatan kapitalisme-komunisme dalam masa Perang Dingin, proses-proses sejarah yang menciptakan segregasi antar kelompok di Indonesia, sampai kepada genosida 1965 sert menempatkan Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.

Diskusi ini juga membahas dosa-dosa Orde Baru, diantaranya penggunaan kekuatan militer untuk konsolidasi kekuatan ekonomi Keluarga Cendana dan kroni-kroninya, proses integrasi Timor Timur – yang kemudian menjadi Timor Leste – ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berbagai peristiwa berdarah di mana Prabowo Subianto juga ikut bertanggung jawab, sampai kepada sensor media massa berpuncak pada pembredelan tiga media di masa Orde Baru, diantaranya Detik, Tempo dan Editor.

Diingatkan dalam diskusi, pada November sepuluh tahun silam, bertempat di kota Den Haag, International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), melaporkan temuan dalam kasus 1965, telah terjadi kejahatan kemanusiaan – salah satu bukti dosa Orde Baru yang sedang berusaha untuk diputihkan.

Diskusi “Ada apa dengan Soeharto” ini, selain melawan lupa, juga bertujuan untuk mengantisipasi strategi kekerasan Orde Baru – termasuk di antaranya upaya provokasi konflik horizontal – yang sangat mungkin terulang kembali di masa saat ini yang dinilai sebagai kelanjutan rezim Orde Baru – Orde Baru Jilid II.

Sebagai unsur masyarakat sipil, Gerak Solidaritas Belanda, Aksi Kamisan Netherlands, Watch65, dan PPI Kota Den Haag merasa perlu membongkar narasi yang menihilkan luka, mempertanyakan klaim kepahlawanan yang didapat melalui pembungkaman, dan menolak imajinasi stabilitas yang dibangun di atas ketakutan.

Ada pun pernyataan sikap dalam diskusi ini antara lain

1. Merespons penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025, kami menolak dengan tegas setiap upaya sistematis untuk menghapus jejak kejahatan kemanusiaan dan memoles ulang kekerasan yang dilakukan oleh Soeharto dan rezimnya.

Pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional mengabaikan fakta sejarah yang telah didokumentasikan dengan jelas: puluhan tahun represi politik, deretan pembunuhan di luar hukum, korupsi, serta marginalisasi dan eksploitasi terhadap manusia dan alam yang ada di Indonesia.

2. Menuntut rezim Prabowo untuk berhenti melanggengkan politik impunitas dan glorifikasi rezim Soeharto, serta menghentikan praktik-praktik politik yang penuh represi, kontrol, dan kekerasan. Pemerintahan Prabowo harus berhenti menjadi rezim otoriter kedua yang menafikan perjuangan reformasi 1998.

3. Mendesak supaya Fadli Zon diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Kebudayaan. Fadli Zon yang juga menjadi Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda

Kehormatan, telah bertindak sebagai operator untuk melanggengkan impunitas, dengan sengaja memutihkan dosa rezim otoriter Soeharto dalam kejahatan kemanusiaan, represi militer, dan penghisapan ekonomi terhadap warganya demi kepentingan keluarga dan kroninya.

4. Menuntut negara membuka seluruh arsip kekerasan dan kejahatan rezim Soeharto, menghentikan penutupan kebenaran, dan memberikan ruang bagi keluarga korban untuk mendapatkan keadilan.

5. Mengadili semua aktor yang bertanggung jawab atas kejahatan negara, tanpa pengecualian, tanpa alasan. Kami tidak akan diam ketika negara mencoba mencuri ingatan. Kami berdiri bersama korban,bersama keluarga korban, dan bersama semua yang menolak tunduk pada kekerasan negara.

Jurnalis: abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait