Oleh :
Rudi S Kamri
Pasca Pemilu dimana posisi kita sebagai rakyat ? Sebagai rakyat biasa kita punya hak untuk memberikan suara kita. Tapi selanjutnya kita juga tetap berhak bersuara atas semua perilaku dan kebijakan yang diambil pemimpin atau pejabat publik saat menjalankan amanah yang kita berikan. Pun pula kita juga sangat berhak menyuarakan opini kita pada seorang pemimpin meskipun bukan pilihan kita tapi karena sebuah keniscayaan proses demokrasi harus kita terima sebagai pejabat publik.
Menyuarakan opini kita entah mengkritik atau memberikan saran konstruktif adalah salah satu cara kita mengingatkan dan mengirimkan pesan kepada para politikus, pejabat publik dan pemimpin negara bahwa sejatinya kedaulatan tertinggi di negeri ini tetap di tangan kita – RAKYAT INDONESIA. Ini esensi demokrasi Pancasila yang wajib kita pertahankan sekuat tenaga, agar negeri ini tidak mengarah pada sistem demokrasi oligarki.
Pesan ini perlu terus menerus dan selalu kita ingatkan khususnya kepada para politikus agar mereka tidak jumawa dalam menjalankan amanah yang kita berikan dengan sekehendak hati mereka atau hanya untuk kepentingan pragmatis kelompok mereka.
Di negara kita memang menganut sistem kewenangan dan kekuasaan Trias Politica. Terjadinya pemisahan kekuasaan Eksekutif, Legislatif da Yudikatif. Tapi dalam prakteknya tidak jarang ketiga kewenangan itu bercampur baur dengan dominasi kepentingan politik. Harus diakui bahwa pelaksanaan sistem Trias Politica di negeri ini masih belum sempurna seperti yang kita harapkan. Sehingga harapan pelaksanaan “check and balances” masih jauh dari yang kita harapkan. Dengan realita tersebut, menurut saya sangat riskan kalau kita hanya berserah atau menyerahkan secara “bongkokan” negara ini hanya kepada kewenangan teoritis Trias Politica semata.
Komunitas Rakyat Indonesia yang independen harus tetap menjadi penyeimbang secara obyektif dari tiga kekuasaan tersebut. Suara masyarakat madani Indonesia harus menjadi kekuatan utama yang kokoh untuk melakukan pengawasan dan kekuatan penyeimbang bagi ketidaksempurnaan pelaksanaan kekuasaan Trias Politica.
Dahulu kala kita pernah berharap media massa akan bertindak sebagai poros ke-empat kekuatan demokrasi Indonesia. Tapi seperti kita lihat sekarang hampir semua media massa tidak lagi obyektif seperti dulu. Banyak media massa hanya menjadi corong kepentingan partai atau kelompok tertentu. Media TV contohnya, TV mana di Indonesia yang tidak dikuasai pemimpin partai atau pemimpin kelompok bisnis tertentu ? Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI yang kita harapkan berfungsi sebagaimana mestinya, nyatanya tidak kunjung bangkit dari tidur panjangnya alias tetep “nggapleki”.
So artinya sebagai rakyat yang tidak partisan dan independen kita harus tetap menyuarakan opini dan aspirasi sebagai suara kebenaran murni yang lahir dari bumi Pertiwi Nusantara. Jangan pernah mau kebebasan berpendapat dan hak bersuara kita dikebiri dan dibungkam dengan cara apapun. Asal tetap dalam koridor hukum dan berdasarkan obyektivitas serta bermuara pada opini konstruktif untuk meluruskan yang bengkok-bengkok, kita harus tetap bersuara keras.
Indonesia 100 tahun lagi akan menjadi apa, tergantung dengan apa yang kita lakukan saat ini. Untuk itu mari bersama kita menggoreskan sejarah agar anak cucu kita kelak bangga bahwa leluhurnya pernah menjadi pejuang rakyat Indonesia yang gigih mempertahankan negeri yang indah ini tetap menjadi negeri Pancasila, negeri penuh harmoni dalam keberagaman yang indah. Dan negeri yang bebas dan bersih dari ideologi khilafah.
Untuk Indonesia yang lebih baik siapa lagi yang berjuang kalau bukan kita ? Kalau tidak berjuang sekarang, kapan lagi ?
Saat mulut kita masih bisa bersuara,
Saat tangan kita masih bisa berbuat sesuatu,
Saat kaki kita masih bisa melangkah,
Saat pikiran kita masih bisa berpikir jernih,
Saat Tuhan masih memberi waktu untuk kita.
Salam SATU Indonesia
26072019