Suasana Sidang Logo Mirip Palu Arit Di Banyuwangi Mencekam

  • Whatsapp

BANYUWANGI, beritalima.com – Sidang kasus demo berlogo palu arit Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, dengan agenda pembacaan Pledoi, berlangsung panas, Selasa (9/1/2018). Diluar ruang sidang, massa Nasionalis dan Nahdlatul Ulama (NU) nyaris ricuh dengan massa pendukung terdakwa, Hari Budiawan alias Budi Pego.

Bermula dengan orasi saling olok, emosi pun mulai tersulut. Sekitar 10 orang kelompok pro Budi Pego tiba-tiba menerobos menghampiri massa Nasionalis yang diwakili oleh Pemuda Pancasila (PP), dan massa NU yang terdiri dari perwakilan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Forum Suara Blambangan (Forsuba) dan Forum Peduli Umat Indonesia (FPUI), yang berjarak sekitar 200 meter. Tak pelak, situasi pun langsung tegang.

Untung petugas Kepolisian Polres Banyuwangi, yang berjaga dilokasi sigap. Massa pendukung Budi Pego yang telah merangsek dipaksa kembali ke barisan.

“Kawan kami Budi Pego adalah korban kriminalisasi tolak tambang,” teriak lantang orator.

Diduga lantaran terlanjur terbakar amarah, aksi saling olok kedua kubu massa pun terus berlanjut hingga persidangan berakhir. Tak ingin kecolongan lagi, Polisi pun berjaga diantara kedua massa.

Dalam sidang, kesimpulan Pledoi dari pengacara terdakwa, Rifai SH, menyebut bahwa kliennya bukanlah koordinator aksi. Dan spanduk bergambar mirip lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) juga tidak ditemukan.

Selanjutnya, proses sidang demo berlogo palu arit yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Putu Endru Sonata SH, akan kembali digelar pada Kamis 11 Januari 2018 mendatang. Dengan agenda jawaban Pledoi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Forsuba, H Abdillah Rafsanjani, mengajak seluruh masyarakat untuk lebih berfikir terbuka. Membedakan antara kasus demo berlogo palu arit dan kriminalisasi tolak tambang. Dia juga menegaskan, yang menjadi semangat perjuangan dirinya bersama massa Nasionalis dan Nahdliyin, indikasi kemunculan PKI gaya baru di Indonesia dalam aksi demo di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, 4 April 2017 lalu.

Apalagi tentang bahaya Laten Komunis, Banyuwangi, memang punya sejarah kelam. 62 orang kader GP Ansor setempat telah menjadi korban kekejaman PKI pada 18 Oktober 1965 di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring.

“Kami hanya menuntut hukuman seberat-beratnya pada pelaku dan otak dibalik demo berlogo palu arit, tuntutan 7 tahun penjara oleh Jaksa, jangan sampai diperingan oleh hakim,” katanya.

Terkait aksi tolak tambang, lanjut sesepuh Gerakan Pemuda (GP) Ansor Banyuwangi, pihaknya tidak akan pernah menghalangi. Karena menyampaikan pendapat didepan umum adalah hak setiap warga negara.

“Jadi tuntutan kami bukanlah sebuah kriminalisasi, harus bisa membedakan dan jangan mau diprovokasi,” ungkap Abdillah Rafsanjani.

Pernyataan senada juga disampaikan Ketua PP Banyuwangi, Eko Suryono S Sos. Disini, dia mengajak seluruh masyarakat Bumi Blambangan, untuk berfikir jernih. Termasuk dengan mencoba mencari tahu siapa sebenarnya sosok Budi Pego.

Karena dari penelusuran PP Banyuwangi, didapati informasi bahwa dia bukanlah seorang aktivis lingkungan. Bahkan, rekam jejak terdakwa justru menunjukkan bahwa dia dulu merupakan mitra dari PT Indo Multi Niaga (IMN), perusahaan tambang emas besar yang pernah beroperasi di Banyuwangi.

“Disini kita hanya mengingatkan kepada masyarakat luas, jangan sampai salah memberikan dukungan,” ungkap Eko.

Untuk itu, dia berharap para aktivis, LSM dan pegiat lingkungan mau sedikit membuka mata serta mencoba mencari tahu fakta sebenarnya di Tumpang Pitu. Bukan justru membabi buta dalam melakukan pembelaan. Karena, jejak perjalanan hidup Budi Pego yang merupakan mantan mitra perusahaan pertambangan, dinilai menyimpan rahasia tentang apa motif tujuan aksinya. (Abi)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *