JAKARTA, Beritalima.com– Ombudsman mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) mengenai dugaan penundaan berlarut oleh Kementerian Perhubungan dalam menindaklanjuti ketidakpatuhan PT Lion Mentari Airlines dan PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia dalam proses pemberian ganti rugi kepada ahli waris korban kecelakaan Pesawat Lion Air di Laut Jawa, 29 Oktober 2018.
Seperti diketahui, hingga saat ini proses ganti rugi kecelakaan pesawat itu belum juga selesai. Baru 75 keluarga ahli waris dari total dari 189 korban tewas pesawat itu yang sudah menerima ganti rugi. Lebih dari 100 korban lagi belum menerima ganti rugi.
Terkait berlarutnya masalah ini, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI beberapa waktu lalu menerima beberapa perwakilan ahli waris untuk menyampaikan aspirasinya kepada Pemerintah melalui Anggota DPR RI Komisi V yang membidangi transportasi.
Pada saat itu, Fraksi PKS menemukan fakta, belum selesainya kompensasi yang wajib diberikan pihak Lion Air kepada keluarga korban minimal Rp 1,25 miliar sesuai Pasal 3 Permenhub No: 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara disebabkan adanya beberapa keluarga ahli waris yang menolak untuk menandatangani dokumen Release and Discharge (R&D).
Dokumen itu mewajibkan keluarga ahli waris melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kecelakaan. Padahal, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada ketentuan mengenai hal ini. Artinya, ahli waris tetap berhak mendapatkan ganti rugi tanpa harus menandatangani dokumen R&D tersebut.
Atas kejadian itu, Fraksi PKS telah mengeluarkan beberapa rekomendasi sebagaimana dimuat dalam web fraksi PKS
https://fraksi.pks.id/2019/11/05/santunan-korban-lion-air-jt-610-belum-tuntas-dpr-desak-pemerintah-revisi-permenhub-nomor-77-tahun-2011/
diantaranya yg pertama, mendesak Pemerintah dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara untuk memberikan peringatan kepada pihak Lion Air untuk segera menyelesaikan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa meminta syarat apapun kepada ahli waris. Dan kedua, mendesak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk merevisi Permenhub No. 77 Tahun 2011 agar memberikan batas waktu dan menetapkan sanksi keterlambatan kepada pihak pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara agar dapat menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu 3 bulan segera setelah penumpang yang berada dalam pesawat udara yang mengalami kecelakaan dinyatakan meninggal.
Hal ini pun kemudian dibahas dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Kementerian Perhubungan dan Dirut Lion Air pada tanggal 25 November 2019. Menhub pada saat itu mengaku pihaknya telah melakukan koordinasi intensif dengan keluarga korban, meskipun masalah ini adalah perdata antara keluarga korban, asuransi, dan pihak Lion Air serta Boeing.
Menurutnya, ahli waris korban Lion Air dapat mendapatkan tiga sumber ganti rugi. Satu adalah asuransi dari Lion, kedua adalah santunan, dan ketiga adalah klaim apabila dikabulkan. Namun Menhub mengakui memang terjadi suatu masalah, beberapa mereka yang akan dapat santunan dari Lion tidak mau menerima, karena dalam satu perjanjian itu harus menandatangani tidak boleh melakukan tuntutan atau perjanjian R&D di atas. Tetapi terkait hal ini sudah dijelaskan oleh Menhub kepada ahli waris korban bahwa klaim itu tetap bisa dilakukan dan Menhub berjanji akan melakukan pendampingan secara intensif kepada mereka untuk mendapatkan klaim.
Sayangnya hingga saat ini rekomendasi dari FPKS serta janji Menhub di hadapan Komisi V DPR RI tersebut belum juga ditindaklanjuti, dan hal ini terkonfirmasi dengan munculnya LAHP Ombudsman atas masalah ini. Berdasarkan LAHP yang disebutkan di atas, dari pemeriksaan Ombudsman terhadap Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pada tanggal 11 Agustus 2020, ditemukan bahwa ternyata jumlah keluarga yang menerima uang kompensasi masih sama, yaitu 75 keluarga, terdiri dari 71 ahli waris korban penumpang dan 4 ahli waris korban kru. Hal ini berarti belum ada kemajuan sama sekali terhadap penyelesaian masalah ganti rugi ini.
Dalam LAHP tersebut juga disimpulkan bahwa telah terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia dalam menindaklanjuti ketidakpatuhan PT. Lion Mentari Airlines dan PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia dalam proses pemberian ganti rugi kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air dalam penerbangan JT610. Dimana bentuk maladministrasi yang terjadi adalah penundaan berlarut oleh Menteri Perhubungan RI dalam menyelesaikan proses pemberian ganti rugi dan penyimpangan prosedur oleh PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia dalam proses pemberian ganti rugi kepada ahli waris korban kecelakaan. Laporan ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat bertanggal 9 November 2020, kepada Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan Dirut PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia.
Dalam LAHP tersebut, Ombudsman juga memberikan arahan tindakan korektif kepada Kementerian Perhubungan yang harus dilaksanakan dalam waktu 30 hari. Pertama, berupa revisi Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang sejalan dengan rekomendasi FPKS sebelumnya yaitu dengan menambahkan ketentuan pada Pasal 26 terkait sanksi administratif kepada pengangkut yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Permenhub No. 77 Tahun 2011 tersebut.
Kemudian menambahkan ketentuan pada Pasal 27 Permenhub No. 77 Tahun 2011 yang menjelaskan bahwa ketidaktaatan perusahaan asuransi tidak menghapus tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang. Kedua, Ombudsman juga meminta agar Kementerian Perhubungan segera memerintahkan kepada Lion Air dan PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia agar segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanpa syarat apapun kepada ahli waris. Dan ketiga, Ombudsman meminta agar Kementerian Perhubungan segera mengusulkan PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia kepada OJK untuk dimasukkan dalam daftar hitam apabila tidak melaksanakan perintah tersebut.
Selain itu Ombudsman RI juga meminta kepada PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia untuk melakukan tindakan korektif sebagai berikut, yaitu bersama dengan Lion Air menyelesaikan pembayaran senilai paling sedikit Rp1.250.000.000,00 kepada semua ahli waris korban korban kecelakaan pesawat Lion Air penerbangan JT 610 tanggal 29 Oktober 2018 tanpa tambahan persyaratan apapun, termasuk penandatanganan dokumen R&D, kecuali yang telah diatur dalam Pasal 21 Permenhub No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Selain itu PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia harus membuat pernyataan tertulis bahwa R&D yang telah ditandatangani oleh sebagian ahli waris korban kecelakaan Lion Air tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-perundangan yang berlaku di Indonesia.
Karena itu, berdasarkan temuan Ombudsman di atas, Fraksi PKS mendesak agar Kementerian Perhubungan menepati janjinya di hadapan Komisi V DPR RI untuk melakukan pendampingan intensif kepada para ahli waris korban untuk mendapatkan uang kompensasi. Masih samanya jumlah keluarga korban yang mendapatkan kompensasi sejak tahun lalu sampai sekarang menunjukkan kuatnya dugaan Ombudsman tentang penundaan berlarut oleh Kementerian Perhubungan dalam menindaklanjuti ketidakpatuhan Lion Air dan PT. Asuransi Tugu Pratama Indonesia dalam proses pemberian kompensasi.(akhir)