JAKARTA, Beritalima.com– Indonesia merupakan negara besar. Tidak hanya lautan dan daratan terbentang dari Sabang sampai ke Merauke, Miangas-Pulau Rote dengan luasnya 1,905 juta km² dan memiliki 17.000 pulau besar dan kecil.
Indonesia yang terletak di daerah tropis diapit Benua Asia-Australia dan Samudera Hindia-Samudera Pacifik dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia.
Indonesia yang memiliki lebih dari 700 etnis, bahasa dan adat istiadat dengan penduduk muslim terbesar di dunia juga disebut zamrudnya katulistiwa yang menjadi incaran negara lain.
Untuk menjaga itu semua, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang kuat. “Itu berdasarkan penelitian Bank Dunia, sebuah negara yang memiliki multi etnis, memerlukan presiden yang kuat,” kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha.
Itu dikatakan wakil rakyat Dapil Kalimantan Selatan ini dalam diskusi emat Pilar MPR dengan tema ‘Isu SARA dalam Pilpres Hancurkan Kebhinnekaan’ di Media Center Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, akhir pekan ini.
Namun, lanjut Syaifullah, anggota Komisi I DPR RI ini, presiden yang kuat itu juga dengan tafsirnya berbeda-beda pula. Yang kuat itu apakah Prabowo sebagai seorang militer atau sipil seperti Jokowi?
“Yang saya baca di media, Luhut Binsar Panjaitan yang acap kali ‘pasang badan’ ketika Jokowi mendapat ‘serangan’ orang-orang yang tidak suka dengan kebijakan presiden mengatakan bahwa Pak Jokowi lebih hebat daripada komandan Kopassus. Jadi, yang kuat seperti apa, apakah karena dia militer?”
Terkait dengan isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dalam pemilihan presiden (pilpres), laki-laki kelahiran Lampihong, Balangan, Kalimantan Selatan, 18 Mei 1969 ini mengatakan, masalah SARA itu sulit dihindari.
Hampir semua pemilihan presiden di dunia, termasuk di Amerika Serikat yang terkenal sebagai “guru atau mbanya demokrasi” masih muncul isu SARA.
Ketua Fraksi PPP di MPR RI mencontohkan, dalam Pilpres AS terakhir antara Hillary Clinton dengan Donald Trump. Kemenangan Trump karena didukung para pendeta-pendeta yang tidak menghendaki Hillary Clinton menjadi presiden akibat dia mendukung perkawinan sejenis.
Pada hal, kata Syaifullah, para diplomat sudah hampir bisa memastikan bahwa yang akan terpilih itu adalah Hillary Clinton. “Yang terjadi, kenyataannya kan tidak begitu. Donald Trump yang menjadi pemenang pilres AS terakhir,” kata dia.
Sedangkan di Indonesia, kata Syaifullah, bukan perbedaan agama, tapi perbedaan aliran agama. Seolah-olah pasangan Jokowi-Amin adalah orang yang NU dan pasangan Prabowo- Sandi terkesan Muhammadiyah.
Memnurut dia, Ketua Umum PBNU secara tidak langsung terlibat dalam pertarungan pilpres dan bahkan memberikan sesuatu yang bersyarat kalau tidak Ma’ruf Amin, yaitu NU tidak akan mendukung Jokowi.
Sementara Muhammadiyah didukung Amien Rais. Padahal Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir tidak terang-terangan mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.
“Ini kan aliran, bukan agamanya. Jadi, politik aliran dan aliran agama yang paling berpengaruh dalam pilpres tahun 2019 di Indonesia,” ungkap Syaifullah.
Memang, kata Syaifullah, Indonesia yang multi etnis, dan multi agama dan aliran sangat rawan terjadi perpecahan. Perpecahan yang bisa berakibat adu fisik. Misalnya antara kader Muhammadiyah dan kader NU yang merasa paling baik.
Namun, Syaifullah melihat kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini lebih demokratis. Haedar dalam posisi netral walau Amien Rais ke Prabowo.
Kemudian NU dan keturunan pendiri NU juga banyak yang mendukung Prabowo. “Saking demokratisnya, anak Kyai Makmun Zubair berbeda-beda pilihannya. Ada ke Prabowo, ada keJokowi. Saya ingat ucapan KH Hasyim Muzadi bahwa NU tidak perlu dipecah, dia akan pecah sendiri.”
Apa yang terjadi di tubuh NU, menurut dia, perang struktural, bukan kultural. Presiden biasanya menyambangi ulama-ulama kultural yang disebut dengan ahlussunnah waljamaah tidak mengaku NU.
“Ini menjadi pertaruhan besar bagi aliran sunni dengan tampilnya Ma’ruf Amin. Kita sudah berpengalaman Megawati bersama KH Hasyim Muzadi ketika Ketua Umum PBNU. Sekarang tidak tanggung-tanggung, yang dicalonkan Rois Am NU, orang yang paling berkuasa di NU.”
Syaifullah yang mengaku sebagai orang NU 24 karat, tidak setuju isu-isu agama atau aliran agama dibawa dalam pilpres. Karena dia meyakini bisa merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama aliran agama yang dulu sudah tidak ada lagi.
“Tetapi akibat dari pilpres ini semua mengekploitasi diri. Saya mencatat, tidak kurang dari 10 kali Jokowi berpidato dihadapan tokoh struktural NU. Terakhir dalam Munas alim ulama di Banjar.
“Jadi, saya lihat bahwa kandidat habis-habisan untuk mengekploitasi. Sementara orang NU sudah mulai pandai memilih. Walau saya orang NU tulen, tetapi saya tidak menggunakan struktur NU dalam pemilihan calon legislatif di dapilnm,” demikian Syaifullah Tamliha. (akhir)