TA Jilid Dua Segera Digulirkan, Anis: Bagaimana Kabar TA Jilid Satu?

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto segera menggulirkan agenda pengampunan pajak atau Tax Amnesty (TA) jilid dua.

Airlangga mengatakan, Pemerintah segera membahas aturan tax amnesty terbaru. Aturan mengenai pengampunan pajak itu termasuk dalam materi di Revisi UU No: 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Tax Amnesty itu diharapkan segera disetujui legistlatif sebab revisi UU KUP telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2021.

Terkait hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr Hj Anis Byarwati, mempertanyakan tentang kebijakan TA yang pernah dikeluarkan 2016. “Tax amnesty jilid 1 bagaimana kabarnya?” tanya Anis di Jakarta, Rabu (19/5).

Anis menjelaskan, ketika kebijakan TA ini dirancang, Pemerintah memiliki tiga sasaran utama. Pertama, kebijakan ini dapat menambah pendapatan perpajakan di Indonesia sehingga dapat sedikit menutup defisit anggaran.
Kedua, kebijakan ini dapat menarik dana dari luar negeri. Ketiga, kebijakan ini diharapkan dapat memperluas basis perpajakan di Indonesia yang pada akhirnya dapat meningkatkan tax ratio Indonesia.

Terkait dengan sasaran pertama, Ketua DPP PKS bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengatakan, Pemerintah menargetkan tambahan pendapatan pajak Rp 165 triliun. Bahkan, pada awalnya Rp 165 triliun merupakan tambahan pendapatan perpajakan untuk 2016.

Namun, itu dijadikan target selama program pengampunan pajak berjalan. Angka terakhir menunjukkan jumlah uang tebusan yang masuk hanya Rp 135 triliun atau 81 persen dari target dicanangkan.

“Melesetnya target itu tentu berimplikasi ke APBN yang sedang berjalan. Nila angka itu sudah dimasukkan sebagai target pendapatan, ketika tidak tercapai, kekurangan Rp 30 triliun harus ditambal, melalui penambahan defisit (utang) maupun mengurangi pos belanja,” kata Anis.

Mengenai sasaran kedua, Anis yang juga Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini mengingatkan, Pemerintah selalu menyatakan, kebijakan pengampunan pajak penting untuk menarik dana orang Indonesia yang disimpan di luar negeri.

Pada awalnya Pemerintah menyatakan, terdapat Rp 11.000 triliun dana yang tersimpan di luar negeri. Angka ini diturunkan, sehingga mendekati perkiraan illicit fund Indonesia yang dihitung World Bank, yaitu Rp 4.000 triliun.

Data terakhir menunjukkan, dana repatriasi hanya mencapai Rp 147 triliun, atau sekitar 4 persen dari potensi yang ada. Rendahnya dana repatriasi disebabkan sejumlah hal. Pertama, waktu yang diperlukan mencairkan aset yang berbentuk fisik.

Kedua, tarif repatriasi dan deklarasi luar negeri hanya selisih 1-2 persen. “Itu menjadi insentif seseorang untuk sekedar mendeklarasikan asetnya di luar negeri, tanpa perlu membawa dana tersebut kembali ke Indonesia,” papar Anis.

Tentang sasaran ketiga yaitu basis pajak, Anis menyatakan, parameter ini pada dasarnya belum dapat dibuktikan, karena kita harus melihat tax ratio Indonesia pada 2017 untuk melihat seberapa besar dampaknya. “Perlu diingat, sejumlah penelitian empiris menunjukkan, kebijakan TA tidak akan berpengaruh besar terhadap tax ratio,” kata dia.

Politisi senior PKS yang juga ekonom ini mengingatkan agar Pemerintah mempertimbangkan respon Wajib Pajak. Salah satu respon WP yang akan muncul adalah pembayar pajak yang patuh (honest tax payer) kecewa karena mereka tidak diuntungkan dari kebijakan ini, sehingga pada akhirnya menurunkan tingkat kepatuhan pajak di masa yang akan datang.

Selain kecewa, pembayar pajak jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang. “Ini bisa mendorong pembayar pajak jujur untuk ikut melakukan pengemplangan. Dari sini kita dapat melihat, sekarang justru bukan saat yang tepat untuk melakukan tax amnesty,” tegas Anis.

Anis mengingatkan Pemerintah, jangan sampai TA jilid 2 ini membuat rakyat kembali tercederai rasa keadilannya. Sebagaimana pernah terjadi pada mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak, yang seolah diabaikan dengan kebijakan TA 2016,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)

 

beritalima.com

Pos terkait