(Sebuah Nasihat Untuk Anak Kita)
Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Di tengah kasyikan menulis artikel, tiba-tiba Saya ingat tentang suatu hal. Saya harus menyampaikan satu hal itu sebagai nasihat buat anak-anak yang kebetulan sedang “nyantri”. Satu hal itu ialah tentang cerita “Santri Yang Sangat Dekat Dengan Kiai”.
Ketika Saya mondok mengenal seorang santri senior, sebut saja namanya Markum. Ketika Saya baru ‘nyantri’ di pondok, dia di samping senior dan pintar, juga sangat dekat dengan kiai. Kedekatannya dengan kiai sampai seolah dia seperti kakak adik atau teman akrab sekolah. Dia pun tampak sering bebas keluar masuk rumah kiai kapan pun. Dia juga sering mewakili kiai melaksanakan tugas-tugas rutn kiai yang kebetulan tidak bisa di hadiri. Suaranya yang bagus dan lantang, mengantarkan dia dipercaya menjadi bilal/khatib di beberapa masjid, bahkan masjid terbesar di kabupaten setempat. Ketika memberikan pembinaan kepada santri yunior para santri pun sering dibuat kagum dengan caranya menyampaikan pidato. Isi pidato yang disampikan terdengar jelas dan gamblang. Retorikanya seperti kiai yang memang seorang muballig kondang pada zamannya.
Ketika kami para santri yang lain takut-takut dengan Ibu Nyai, dia juga seperti sangat akrab dengan bu Nyai. Gaya bicaranya dengan bu Nyai seperti gaya bicaranya dengan teman-teman sekolahnya saja, meskipun masih tetap memakai bahasa strata tinggi. Karena dia memang santri senior dan sangat akrab dengan kiai, santri lain pun tidak ada satu pun menganggapnya kurang sopan dengan Bu Nyai.
Waktu pun kemudian berlalu. Lebih dari 10 tahun kemudian, Saya beresempatan ziarah ke kiai. Di pesantren itu kiai menyanyakan keberadaan Saya sekarang. Saya matur, bahwa setelah tamat dari peruruan tinggi di Yogyakarta, saya diterima sebagai PNS dan bertugas jauh di luar Jawa. Kiai pun tampaknya merasa bangga ketika mendengar salah satu santrinya, yang dulu sebagai tukang sapu dan tukang cuci baju beliau, mejadi orang berguna.
Usai menghadap kiai, Saya pun kemudian beresempatan menemui beberapa orang lama yang ada di sekitar pondok. Ingatan Saya tiba-tiba tertuju kepada santri-santri masa lalu, termasuk santri yang dulu pernah dekat dengan keluarga kiai. Di luar dugaan saya, banyak santri yang dulu di pondok terlihat biasa saja tetapi menjadi orang sukses. Tetapi, yang membuat sedih ialah bahwa justru para abdi dalem yang dulu pernah dekat Kiai malah ada yang tidak jelas rimbanya. Bahkan, yang mengecewakan Markum yang pernah menjadi kaki tangan kiai di atas, sekarang hidup sebagai orang biasa. Bahkan ketika para santri meluangkan waktu sowan ke kiai terutama acara haflah tahunan, Markum tidak pernah nongol ke pondok. Para santri lama yang kebetulan sama-sama hadir sering menggunjingkan perihal Markum yang tidak pernah hadir ikut sowan ke kiai. Saya pun ikut bertanya dalam hati, Mengapa nasib Markum bisa demikian? Apa yang salah dengan Markum?
Pertanyaan ini muncul karena adanya kenyataan, bahwa konon Markum kini hidup agak mengenaskan. Kehidupan yang kontras dari harapannya menyebabkan dia mungkin malu untuk menampakkan diri kepada Kiai apalagi di hari-hari besar yang melibatkan kehadiran banyak santri.
Saya pun menduga-duga bawa santri senior itu jangan-jangan kena “tolah”. Yaitu semacam adzab khas santri yang didapat akibat kuwalat dengan Kiai. Tetapi mengapa dia kuwalat. Bukankah dia sangat dengat dengan kiai? Dekat mungkin ya, tetapi kedekatan yang sampai menghikangkan sifat ta’dhim tentu sangat di larang. Sebab, bagi santri ta’dhim kepada guru merupakan sesatu yang tidak bisa ditawar. Az Zarnuzi dalam Taklimul Mutaallim mengatakan : “La yanfa’ul ilmu illa bita’dhimil ustadz wal kitab.”
Risikonya pelangaran etika di pesantren tersebut sering tidak ringan. Banyak contoh mengenai hal ini, misalnya ada santri yang dulu di pondok biasa-biasa, tidak menonjol tetapi ketika pulang ke masyarakat malah manjadi kiai atau orang terpandang lainnya. Tetapi ada juga santri cerdas pintar ngaji bahkan menjadi ustadz tetapi ketika ulang ke masyarakat hanya menjadi orang biasa. Mengapa bisa demikian? Tentu rahasia Allah. Memang urusan masa depan santri tidak serta merta dikaitkan dengan hal ini. Sebab, banyak faktor mengapa orang, termasuk santri, bisa tidak sukses. Tetapi bagi santri yang telah dibimbing taklimul muta’allim, patut menduga bahwa sering ada sesuatu yang salah ketika di pondok dulu. Jangan-jangan ada sejumlah etika yang di langar. Santri-santri lain bahkan kiai mungkin tidak tahu, tetapi Allah pasti mengetahui yang dirahasiakan santri tersebut dalam hati. Semisal, meremehkan kiai atau hanya ta’dhim ketika di hadapan Kiai. Tetapi ketika tidak diketahui kiai, dia berbuat seenaknya. Sikap demikian perlu diwaspadai sendiri oleh santri yang sedang belajar di pesantren.
Status kiai di sebuah pendok pesantren adalah seperti orang tua. Keduanya berfungsi sama, yaitu sama-sama merawat kita. Bapak ibu yang merawat jasad kita, sedangkan kiai merawat ruh kita. Dalam status demikian maka wajar jika doanya kepada kita sama-sama mustajab. Ketika keduanya ridha, maka Allah pun akan ridha kepada kita. Oleh karena itu mencari ridha orang tua dan kiai (guru) kita sejatinya menjadi salah satu kunci utama kesuksesan kita.
Akhirnya, menjadilah, anak yang di samping berbakti kepada kedua orang tua juga selalu ta’dhim kepada semua guru kita. Semoga ilmumu bermanfaat dan hidupmu penuh keberkahan. Tetapi kemanfaatan ilmu tidak harus ditandai dengan menjadi seorang kiai besar. Akan tetapi, paling tidak dengan ilmu yang kalian pelajari dapat menjadi penuntun hidupmu ke jalan yang benar. Demikian pula, keberkahan ilmu tidak harus ditandahi dengan banyak harta. Akan tetapi, paling tidak ilmu yang kamu punyai semasa di pesantren, dapat dijadikan bekal mengabdi, semampumu di masyarakat. Semoga.