TAHLILAN (Refleksi Tradisi dan Sunnah)

  • Whatsapp

Oleh : Moch Abdur Rochim CH,CHt

SURABAYA- beritalima.com| Tahlilan merupakan sebuah nama kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran, dan zikir-zikir serta sholawat dan doa dengan maksud menghadiahkan pahala bacaannya kepada orang yang telah meninggal.

“Tahlilan” berasal dari bahasa Arab (تهليل) yang berarti membaca kalimat “Laa ilaaha illa Allah” salah satu kalimat yang dibaca pada saat kegiatan tahlilan. Tradisi tahlilan biasa diselenggarakan setiap malam Jumat atau pada hari-hari kesekian setelah meninggalnya seseorang, meskipun tidak terbatas pada dua kesempatan tersebut.

Sudut pandang lain melihat bahwa kegiatan tahlilan merupakan “acara kumpul-kumpul di rumah duka sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah”, karena memang penyelenggara memberikan jamuan makanan dan untuk dibawa pulang.

ASAL USUL TAHLILAN

Sebagai sebuah tradisi nusantara, tahlilan merupakan ritual selametan yang begitu melekat dalam budaya masyarakat Indonesia sampai sekarang ini. Tradisi tahlilan dalam perkembangannya ternyata bukan sekedar untuk mendo’akan orang yang telah meninggal dunia atau upacara kematian saja akan tetapi juga untuk ngeslupi (menempati) rumah baru, peresmian jalan, dan syukuran, termasuk tasyukuran hari jadi sebuah desa atau daerah, dan kegiatan lain yang bersifat keagamaan atau non-keagamaan.

Oleh karena Tahlilan muncul menjadi sebuah tradisi mayoritas kaum muslimin di Indonesia, munculah sebuah pertanyaan besar di kalangan umat islam sendiri, sebetulnya dari manakah asal-usul tradisi tahlilan ini? Bahkan belakangan muncul sebagian kecil golongan umat Islam yang mempertentangkan tradisi tahlilan ini dengan syariat Islam, mereka berpendapat bahwa tradisi ini bukan berasal dari ajaran Islam dan tidak ada tuntunannya dari baginda Rosulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, sehingga amalan tersebut adalah Bid’ah yang menyesatkan.

Terkait darimana asal-usul tradisi tahlilan ini, memang terdapat polemik dan prokontra di kalangan umat Islam khususnya di Nusantara. Kalau dipetakan bisa digambarkan bahwa terdapat tiga pendapat tentang masalah ini.

PERTAMA :
Tahlilan sebagai Tradisi produk dialogisasi dan akulturasi Budaya antara nilai lokal Nusantara dengan Nilai-nilai dasar Islam.
Pendapat pertama ini menjadi pendapat umum yang selama ini sudah menjadi mainstream di masyarakat, pendapat ini mengatakan bahwa sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme.
Menurut paham ini, ruh dari orang-orang yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Disamping itu, bangsa-bangsa yang menganut paham animisme ini juga berkeyakinan bahwa ruh dari orang yang sedang mengalami kematian itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak anggota keluarganya yang lain. Untuk itu, agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak anggota keluarga yang lain, maka anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut :
Menyembelih binatang ternak seperti: kerbau, sapi, kambing,  atau ayam milik si mayit, agar nyawa dari binatang tersebut menemani ruh si mayit agar tidak mengajak anggota keluarganya yang masih hidup, dan memberikan atau menyediakan sesaji di tempat tertentu untuk ruh si mayit, agar ruh si mayit itu tidak marah kepada anggota keluarganya.
Oleh karena hal itu para wali penyebar Islam di Nusantara ini merubah sistem kepercayaan tersebut agar sesuai dengan syariat Islam.

KEDUA :
Tahlilan berasal dari tradisi Islam Syiah.
Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang diungkapkan oleh Kiyai Agus Sunyoto, sebagai sosok sejarawan Nusantara beliau menemukan Fakta baru bahwa terdapat kekeliruan sejarah terkait dengan asal usul tradisi Tahlilan dan Selamatan di Nusantara. Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlilan.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Kyai Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo ini berpendapat bahwa tradisi tahlilan sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musafir penyebar Islam di Indonesia.
Masih menurut beliau budaya kenduri kematian yang dilaksanakan umat Islam Nusantara khususnya di tanah Jawa itu bukan karena pengaruh Hindu atau Budha karena dalam kedua agama itu tidak ditemukan ajaran kenduri, juga tidak dikenal peringatan orang mati pada hari ke tiga, ke tujuh, ke-40, ke-100 atau ke-1000, yang ada peringatan 12 tahun sekali
Catatan sejarah menunjukan bahwa orang Campa memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1000. Orang-orang Campa juga menjalankan peringatan haul, peringatan hari Assyuro dan Maulid Nabi Muhammad, Shollallahu Alaihi Wasallam.
Mencermati fakta itu, maka Kyai Agus Sunyoto berkeyakinan bahwa tradisi kenduri atau dalam bahasa popular selametan dan tahlilan termasuk haul adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh faham Syi’ah. Demikian juga dengan perayaan 1 dan 10 Syuro, pembacaan qasidah-qasidah yang memuji-muji Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, itu menunjukan keterkaitan tersebut.
Istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi’ah karena diadopsi dari bahasa Persia yakni “kanduri” yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az-Zahro, putri Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam..
Kyai Agus Sunyoto menjelaskan juga bahwa para musafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi Tahlilan ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya. Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa tidak berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Sayyidina Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh”.

KETIGA :
Tahlilan Berasal dari tradisi yang berasal dari perkawinan tradisi mekah dan madinah serta hadramaut.
Pendapat ini membantah pendapat kedua yang mengatakan asal-usul tradisi tahlilan berasal dari tradisi Islam Syiah di Campa. Menurut pendapat ketiga ini dijelaskan bahwa :
“Dalam beberapa hal Kyai Agus sunyoto tidak mengkaji sumber asal muasal sedekah orang meninggal pada hari ke 3, ke 7, ke 40, ke100, dan ke 1000 tersebut dari kitab para ulama yang ada, sehingga beliau menyimpulkan bahwa tradisi tersebut merupakan ajaran yang bersumber dari faham syiah. Padahal imam suyuti telah menjelaskan di dalam kitabnya Al hawi lil fatawi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
Artinya :
Telah sampai kepadaku bahwasanya kesunahan bersedekah selama 7 hari itu telah berlangsung di mekah dan madinah hingga sekarang. Maka secara dzohir di simpulkan bahwa sedekah tersebut tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai sekarang. Para generasi terkemudian (kholaf) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama [imam As-suyuti. Al hawi lil fatawi. 3/288]
Hal senada juga dituturkan oleh Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis dalam kitab “Kasyful Astaar” yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah). Dengan menukil perkataan Imam As-Suyuthi berikut :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. (Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqis).
Istilah 7 hari ialah berdasarkan pada riwayat shahih dari Thawus, sebagian ulama berpendapat bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, dan sebagian juga mengatakan hal itu hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Dan pembacaan tahlil yang di khususkan untuk orang-orang yang telah meninggal juga menjadi tradisi turun-temurun di hadramaut yaman tempat berdiamnya para ahlul bayt dzurriyah nabi muhammad SAW. Sejarah tersebut dapat di temukan dalam kitab Al ilmun nibros tulisan sayyid al habib Abdulloh bin alwi bin hasan Al attos. Di kitab tersebut di jelaskan:
ويجمع بعضهم جماعة يسبحون ألف تسبيحة ويهللون ألف تهليلة ويهدي ثوابها لبعض الأموات
Sebagian dari mereka (ahlul bayt di hadramaut) mengumpulkan para jamaah yang membaca tasbih dan tahlil sebanyak 1000 kali, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang orang yang telah meninggal dunia. [Al ilmun nibros. Hal: 5]

Jika di mekah dan madinah telah di kenal tradisi sedekah selama 7 hari, dan di hadramaut telah dikenal pembacaan tahlilan, maka ulama wali songo yang notabene merupakan keturunan ahlul bayt dari hadramaut tersebut, mengingat para ulama ahlul bayt merupakan orang-orang yang sangat menjaga kemurnian ajaran yang di dapat secara turun-temurun yang bermuara kepada imam jakfar sodiq sampai kepada Rosululloh Shollallahu Alaihi Wasallam, dapat dipastikan wali songo telah membawa tradisi itu dari sana, bukan dari iran tempat yang menjadi pusat syiah.
Bukti bahwasannya walisongo merupakan keturunan para sadah hadramaut ialah, bahwasannya sayyid Ahmad Rahmatulloh yang di kenal dengan sebutan Sunan Ampel merupakan putra dari Sayyid Ibrahim Zainal Akbar (asmoro) bin Sayyid Husain Zainal Akbar bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan beliau yang hijrah ke india bin Sayyid Alwi Ammil Faqih (Hadramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath bin Sayyid Alwi kholi Qosam bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al Muhajir ilallloh sampai kepada Rosululloh Shollallahu Alaihi Wasallam dengan begitu, tradisi yang terkenal dengan tahlilan merupakan perkawinan tradisi mekah dan madinah serta hadramaut. Yang kebetulan masyarakat jawa kala itu sudah terbiasa dengan sesajen ala hindu. Sehingga tradisi tahlilan ini sangat mudah di terima oleh mereka setelah di sampaikan oleh para wali penyebar islam.”
Pendapat ketiga ini diperkuat oleh pendapat KH. Mohammad Danial Royyan yang menjelaskan tentang “Sejarah Tahlil” sebagai berikut :
Tradisi bacaan Tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak Zaman ulama muta’akhirin sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari al-qur’an dan hadits Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Hal ini pernah dibahas dalam forum bahtsul masail oleh para kiyai ahli thariqoh. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far al-Barzanji, dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad.
Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut diatas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlil pertama kali adalah Imam Sayid Abdullah bin Alwi al-Haddad, karena Imam Al-Haddad yang wafatnya tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.
Pendapat ini diperkuat juga oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad, bahwa kebiasaan Imam Abdullah al-Haddad sesuah membaca Ratib adalah bacaan tahlil.
Dalam tradisi ratib dan tahlil ada dua do’a yang dibaca, masih menurut KH. Mohammad Danial Royyan menjelaskan lebih lanjut :
“jika kita bandingkan dua Shigot do’a tersebut, dapat kita lihat kesamaan antara keduanya. Diantara titik kesamaannya adalah penyebutan nama al-Faqih al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’lawi, wali quthub tokoh Thariqoh keluarga Ba’lawi atau disebut juga dengan sebutan Thariqoh Madyaniyah (berasal dari Syekh Abu Madyan), thariqoh yang diikuti oleh ulama Yaman termasuk Imam Abdullah Al-Haddad. Nama lengkap al-Faqih Al-Muqoddam ialah Muhammad Bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Al-Muhajjir Ilallah bin Isa Bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidli bin Ja’far As-Shadiq bin Muhamad al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain bin Ali suami Fathimah binti Rasulillah, Shollallahu Alaihi Wasallam.
Tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimn di Indonesia sama atau mendekati dengan tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Yaman. Hal itu dikarenakan tahlil yang berlaku di Indonesia ini dahulu disiarkan oleh wali songo.
Lima orang dari Wali songo itu para haabaib (keturunan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam) dengan marga ba’alawy yang berasal dari hadramaut Yaman, terutama dari kota Tarim. Terdapat dua tokoh penting dari kota itu yang sang sangat berpengaruh terhadap Muslimin di Indonesia yaitu Sayyid Umar bin Abdirrahman Al-Atthas dan Muridnya Sayyid Abdullah bin Alawy al-Haddad dengan dua ratib yang amat terkenal, Ratib Al-Atthas dan Ratib al_haddad.
Namun ada sedikit perbedaan, yaitu jika di Yaman terdapat pengiriman do’a kepada Wali Quthub yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Ba’alawi yang terkenal dengan al-Faqih al-Muqaddam. Sedangkan di Jawa lebih banyak menyebutkan Sayyidi al-Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hal itu karena kebanyakan ulama di Jawa mengikuti Thariqoh Qadariyyah, yang wali quthubnya adalah Syekh Abdul Qadir Jailani. Sedagkan kebanyakan di Yaman mengikuti Thariqoh Ba’alwi, yang wali qhutubnya adalah al-Faqih al-Muqaddam.
Dari ketiga pendapat tentang asal-usul Tradisi Tahlilan diatas, bisa dijelaskan bahwa munculnya perbedaan terkait sumber tradisi tahlilan ini, tidak lepas dari adanya perbedaan teori tentang Islamisasi Nusantara.
Terdapat tiga hal yang yang diperdebatkan oleh ulama mengenai datangnya Islam ke Indonesia : waktu datang, penyebar, dan daerah asal penyebaran.
Perbedaan pendekatan kajian sejarah terhadap tiga hal ini memunculkan banyak teori tentang kapan, siapa dan darimana Islam itu datang masuk ke Indonesia. Sekaligus juga berpengaruh terhadap perbedaan pendapat tentang asal-usul tradisi tahlilan ini.
Sjarawan yang memakai pendekatan teori Ghujarat akan memunculkan sebuah pendapat bahwa asal-usul tradisi tahlilan dari tradisi hindu budha, dimana Ghujarat India merupakan tempat asal agama hindu budha itu sendiri. Penyebar Islamnya adalah pedagang-pedagang India.
Sedangkan sejarawan yang memakai pendekatan teori Persia akan memunculkan pendapat Syiah Campa dan tradisi Persialah yang dominan sebagai sumber tradisi Tahlilan di Nusantara, penyebarnya adalah musafir-musafir Campa.
Begitu juga dengan Sejarawan yang memakai pendekatan Teori Makkah, akan berpendapat setiap tradisi keislaman sudah pasti muncul dari pusat keislaman itu sendiri yaitu Jazirah Arab (Makah, Madinah dan Yaman). Penyebarnya adalah para Syarif, Sayyid dan Syekh negri Arab.
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas, hendaknya kita melihat betapa Tradisi Tahlilan ini merupakan tradisi yang baik yang tetap harus dijaga dan diamalkan sebagai warisan Ulama-ulama Salafussholih yang nasab keilmuannya sudah barang tentu sampai ke Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam.
Meskipun demikian, tradisi tahlilan yang baik ini tidak dicemari oleh perbuatan-perbuatan yang melanggar sistem syariat baik oleh ahli mayit maupun jamaah yang hadir. Bagaimana perasaan kita ketika melihat acara tahlilan itu diselenggarakan oleh orang yang faqir miskin ?
Inilah PR buat kita, sebagai generasi penerus pelestari tradisi Ulama Ahlus Sunnah Waljamaah agar tradisi yang baik ini sejalan dengan Syariat Allah dan Rosululloh Shollallahu Alaihi Wasallam.

Wallahu a’lam.

beritalima.com

Pos terkait