Tajuk PAPUALinknews.Com kali ini hendak menyoroti penawaran, “Merdekalah Bagi Siapa yang Mau Merdeka!” Faktanya, banyak manusia Indonesia yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, masih ada yang merasa belum merdeka.
Koq bisa..?
Tendensi ungkapan Merdeka tentu saja berbeda, menurut perspektif setiap orang. Dari kacamata sebagian orang asli Papua (OAP) bersifat politik dan sebagian lainnya malu-malu kucing, serta bagian lainnya justru bersifat leksosbud hankamnas tanpa politik. Sedang sebagian lainnya dalam ranah abu-abu. Demikian juga perspektif warga non Papua lainnya, dan jelas menunjukkan keragaman perspektif itu tak mungkin bisa dilarang, diarahkan maupun dipaksa arahkan.
Disikapi kekuasaan dengan kekerasan simbolik sekalipun, perspektif itu berada dalam dimensi internal setiap individu. Lagi pula, apalah untungnya melakukan penggunaan kekuasaan, karena sejauh ini juga aman damai saja. “Koq Repot,” kata Almarhum Gus Dur.
Bagi PAPUALinknews.Com sendiri misalnya, interpretasi Kemerdekaan sudah jelas bagi dirinya sebagai generasi Papua adalah, jika PAPUALIinknews.Com mampu menggapai tujuannya sebagai media komunikasi massa yang nasional bahkan mendunia konteks cakupannya. Pekerja Pers dan para wartawan beserta penopangnya seperti Layouter, Marketing, Advertizing mampu memperoleh jerih lelah dari kinerja profesionalnya yang normatif bahkan luarbiasa.
Pembaca pun menjadikannya sebagai satu-satunya bacaan alternatif, itulah Kemerdekaannya. Jika ada yang mau melarang, silahkan saja karena, apa iya bisa melakukannya. Ditekan kekuasaan simbolik hingga yang riil pun, Kemerdekaan yang hendak dicapai itu tetap dimiliki dan akan pasti dicapai terus hingga hilang waktu nya.
Bukan kah hakekat orang yang mau merdeka itu juga tak boleh mengganggu, apalagi membunuh kemerdekaan milik orang lain?
Jadi, jika ada sebagian generasi Papua yang hendak beraksentuasi politik pada perspektif Kemerdekaan-nya. Ya silahkan saja, apa ada yang bisa melarang dan menghilangkannya. Sama seperti Kemerdekaan yang dimaksudkan sebelumnya, setiap perspektif yang dikontekstualkan dalam tutur kata, sikap dan perbuatan tentu memiliki resikonya masing-masing.
Orang mau sejahtera, ya harus bekerja keras. Orang mau sehat, resikonya harua olahraga salah satunya dan banyak salah lainnya. Begitu juga jika orang mau mendirikan negera, resikonya bertempur dan di NKRI berarti berhadapan dengan kekuatan Hankamrata. Jika ada orang memilih sejahtera, mau dipaksa bagaimanapun untuk tidak sejahtera maka dia tetap akan mengejar kesejahteraannya dengan bekerja keras atau bertempur melawan setiap hambatannya. Faktanya, tidak OAP atau Non OAP, mayoritas orang juga masih bergantung pada pemerintahan, bahkan bergantung pada banyak stakeholders di NKRI ini.
Maka, menghadapi ideologi sekelas yang masih dialami banyak generasi saat ini adalah mubasir dengan penggunaan kekuasaan. Jadi, Merdeka saja Bagi yang Mau Merdeka. Semua orang juga sedang dan masih terus mengejar Kemerdekaan diri dan kelompoknya. Jika tidak begitu, presiden kelima RI, Abdul Rahman Wahid alias Gus Dur tentu tak mengijinkan bendera Bintang Kejora Berkibar di wilayah NKRI ini. Jadi, ya kembali ke laptop lah, Gitu Aja Koq Repot! (Yohanis Samuel Nussy)