JAKARTA, Beritalima.com– Penanganan kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya harus diselesaikan melalui Panitia Khusus (Pansus), bukan Panitia Kerja (Panja) seperti yang diinginkan koalisi besar pendukung Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimotori PDIP.
Terbukti, kata legislator Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak kepada Beritalima.com, Jumat (18/9) malam, penanganan dengan Panja gagal karena ujungnya muncul permintaan bailout Rp20 triliun dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN), sedangkan pengemplang uang yang membuat gagal bayarnya perusahaan pertanggungan itu tidak tersentuh sama sekali.
Sejak awal, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, kata anggota Komisi VI ini, lebih memilih pembentukan Pansus untuk penyelesaian kasus Jiwasraya karena Pansus adalah mekanisme terbaik untuk mengusut tuntas skandal berskala besar di perusahaan plat merah itu.
PKS tidak setuju jika DPR hanya Panja untuk menangani masalah yang sangat sistemik karena lingkup kerja Panja hanya di komisi, sedangkan Pansus bersifat lintas komisi. Panja yang dibentuk sekitar 8 bulan lalu, dan tidak menghasilkan kemajuan apa-apa dalam penuntasan kasus ini.
Padahal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan adanya potensi kerugian negara akibat korupsi Jiwasraya mencapai Rp 16,81 triliun, jauh lebih besar dari kerugian yang diderita akibat skandal Bank Century di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan fakta di persidangan skandal PT Jiwasraya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disebutkan, ada itikad jahat dilakukan secara bersama-sama terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), termasuk ada hadiah kepada para direksi dan oknum jajaran manajemen Jiwasraya untuk jalan-jalan ke Jepang.
“Sangat disayangkan, skandal akibat moral hazard para pengelola PT Jiwasraya yang merugikan nasabah itu, kini malah mau dibebankan kepada rakyat melalui skenario PMN. Ini melukai rasa keadilan rakyat,” tegas Amin.
Seperti diketahui, dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VI DPR RI dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Selasa (15/9), Menteri BUMN, Erick Thohir menyampaikan rencana pemerintah menyiapkan anggaran Rp 20 triliun 2021 untuk membantu penyelesaian klaim PT Asuransi Jiwasraya. Anggaran itu ditetapkan dalam bentuk PMN pada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), induk Holding BUMN Perasuransian dan Penjaminan.
Menurut Amin, PT Asuransi Jiwasraya telah menjadi skandal jauh sejak sebelum pandemi Covid-19 melanda. Sekarang, skandal itu malah menjadi beban berat anggaran negara di tengah program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang belum optimal.
Persoalan Jiwasraya adalah cerminan bobroknya pengelolaan sebagian BUMN di era Pemerintahan Jokowi akibat tidak diterapkannya prinsip-ptinsip Good Corporate Governance (GCG), termasuk didalamnya praktik moral hazard atau fraud.
“Pemerintah seharusnya berkonsentrasi membenahi tata kelola BUMN secara komprehensif dan tidak segan memburu para pelaku skandal, bukan malah dengan mudahnya menggunakan dana negara yang ada untuk menambal likuiditasnya,” tegas Amin.
Anggota DPR RI dari Dapil Kabupaten Jember dan Lumajang itu menolak rencana Pemerintah menyuntikkan uang rakyat dalam penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2021 yang dikemas dalam bentuk PMN melalui BPUI. Kenapa rakyat yang harus menanggung akibatnya dengan cara bailout menggunakan uang negara.
“Prioritas penggunaan uang negara saat ini adalah untuk pemulihan ekonomi rakyat, menyelamatkan bangsa ini dari jurang krisis multidimensi termasuk resesi ekonomi,” tegas Amin.
Untuk membayar dana nasabah, semestinya Pemerintahan Jokowi memburu aset-aset mereka yang terlibat dalam skandal manipulasi uang nasabah. “Dukung dan perkuat aparat dalam upaya menyita aset-aset pelaku skandal untuk menutupi uang nasabah.”
Menurut Amin, banyak kasus skandal korupsi terjadi di perusahaan milik negara . Pemerintah harus menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi secara komprehensif. Jangan sampai kita jatuh berkali-kali ke lubang yang sama.
“Benahi tata kelola BUMN dengan baik. Bukan menambal krisis dengan pemberian PMN sementara moral hazard terus dibiarkan berurat berakar di BUMN. Tidak adil menggunakan uang rakyat untuk menanggung kerugian akibat kejahatan terstruktur para pengelola BUMN yang sudah digaji tinggi dengan uang negara,” demikian Amin Ak. (akhir)