Berita Lima.com( Banda Aceh – Kegiatan tambang yang dilakukan oleh Perusahaan dan Warga di Provinsi Aceh sangat menghawatirkan dikarenakan tambang itu bisa merusak Lingkungan dan Hutan yang ada.
Hal ini dikatakan oleh Direktur WALHI Aceh, Ahmad Salihin kepada wartawan mengatakan. Kita melihat selama ini di Tujuh kabupaten Kota sangat marak Tambang baik legal maupun Ilegal
Dalam hal tersebut kita sebagai pekerja dan pemerhati lingkungan sangat mengkhawatirkan kegiatan tersebut bisa menjadi bumerang bagi kita semua bukan bagi sipelakunya, dengan sebab itulah kita harus mencermati terhadap hal tersebut.
Dari tahun Ketahun jumlah kerusakan hutan di Provinsi Aceh semakin meningkat, kita lihat saja hingga periode Januari-Agustus 2023, diperkirakan bertambah 4 kali lipat.
Sebelum pelantikan Pj Gubernur Aceh, Ahmad Marzuki, Menteri Energi dan Sumber Daya ineral (ESDM) mengeluarkan keputusan Nomor: 86.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Wilayah rtambangan Aceh. Regulasi tersebut selain bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UPA) Nomor 11 Tahun 2006, konsiderannya juga tidak mencantumkan aturan pertambangan di pesisir.
Berdasarkan lampiran peta dari Kepmen tersebut, tim Geographic Information System (GIS) WALHI Aceh h meng-overlay data spasial untuk mengetahui data statistiknya. Hasilnya cukup mencengangkan, halnya 84 persen dari total luas daratan Aceh masuk wilayah pertambangan. Yang tidak termasuk Kota Banda Aceh dan Sabang serta beberapa fungsi hutan lainnya. Seperti Tahura Meurah n, TNGL (ada sebagian kecil masuk) dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil (sebagian kecil masuk as 57 hektar).
Kepmen tersebut hanya mengatur tentang pertambangan daratan. Namun jannya berdasarkan lampiran peta telah mencaplok hingga ke pesisir. Luas Wilayah Pertambangan ) Aceh terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) seluas 4.555.338 hektar dan Wilayah adangan Nasional (WPN) 245.907 hektar atau sekitar 5 persen dari totalnya.
Adapun total luas WP Aceh adalah 4.801.245 hektar, hanya 16 persen luas Aceh tidak termasuk wilayah pertambangan. Administrasi daratan Aceh seluas 5.687.396 hektar. Celakanya lagi, dari total WP daratan merambah hingga 53 persen dalam kawasan hutan, yaitu seluas 2.539.411 hektar.
Dari total luas WP yang masuk dalam kawasan hutan, sekitar 67 persen merupakan Hutan Lindung atau 1,7 juta hektar lebih. Merambah juga ke Hutan Produksi 21 persen, Hutan Produksi Terbatas 6 persen, Hutan Konservasi 5,20 persen dan Hutan Produksi Konversi 1 persen.
Penetapan WP Aceh ternyata juga mengancam koridor satwa di Aceh. Dari total luas koridor berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522/1246/2023 seluas 943.194 hektar, sekitar 84 persen luasannya berada dalam WP, atau sekitar 790.507 hektar.
Sementara WP Aceh sebagaimana dijelaskan sebelumnya mencaplok hingga ke pesisir berdasarkan peta lampiran Kepmen ESDM seluas 950.623 hektar. Jadi bila ditotalkan WP daratan dan pesisir, maka total luas WP-nya 5.751.868 hektar.
Selain Kata Dirut Walhi Aceh, Bencana banjir masih menyisakan catatan buruk bagi Pemerintah Aceh, karena belum mampu menanganinya secara komprehensif dan terintegrasi dan ini sudah berlangsung puluhan tahun.. Sehingga tidak berlebihan bisa disebut Aceh sudah darurat ekologis. Mitigasi seharusnya dilakukan menyeluruh, tetapi yang dilakukan seperti pemadam kebakaran.
Pemicu utama banjir di Aceh karena kerusakan daerah resapan air di hulu dan sedimentasi sungai yang rusak. Pada saat yang sama, curah hujan juga tinggi. Selain itu banyak kawasan resapan air di hulu dalam keadaan rusak karena tutupan hutan berkurang.
Lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini beralih fungsi menjadi perkebunan besar, seperti sawit, penebangan liar dan investasi yang rakus ruang. Termasuk pembangunan jalan tembus yang melintas kawasan hutan telah memicu semakin marak illegal logging.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menilai, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.
Berdasarkan data dirilis Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) jumlah bencana di Aceh menurun sepanjang 2023 sebanyak 418 kali dibandingkan 2022 lalu 469 kejadian. Namun kerugiannya justru meningkat 28 persen.
Selama tiga tahun ini (2021-2023), trennya kerugiannya terus meningkat. Pada 2021 lalu kerugiannya Rp 235 miliar naik 30 persen pada 2022 menjadi Rp 335 miliar dan terus meningkat pada 2023 lalu menjadi Rp 430 miliar. Bencana juga menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 10 orang luka-luka dan berdampak terhadap 289.235 jiwa serta 25.020 mengungsi.
Kebakaran pemukiman bencana paling tinggi terjadi di Aceh sebanyak 149 kali dengan taksir kerugian mencapai Rp 87 miliar. Sedangkan bencana banjir dengan jumlah total kejadian 105 kejadian, maka kerugian yang dialami hanya selisih 33 persen, yaitu total kerugiannya sebesar Rp 58 miliar, ucapnya,”(A79)