Tanpa Jenggot, Khofifah “Kebakaran Jenggot”

  • Whatsapp

Akibat Godaan Bencana Kawasan Mataraman

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH

KHOFIFAH Indar Parawansa, memang perempuan. Dia adalah perempuan pertama yang menjadi gubernur Jawa Timur. Bersama Emil Elestianto Dardak pasangan ini dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur Jatim, 13 Februari 2019 lalu. Di awal masa jabatannya, mereka terusik oleh godaan bencana alam. Kendati, saat ini musim hujan, bukan berarti pertanda anugerah yang ditumpahkan dari langit. Justru, pasangan Khofifah-Emil merasa gusar, karena sebagian besar kawasan Jatim dilanda banjir.

Mau tidak mau, Khofifah dan Emil tidak bisa berleha-leha menikmati kepemimpinan baru yang “dirampasnya” dengan mengalahkan pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno pada Pilkada serentak, 2018 lalu. Tugas yang diembannya sebagai pemangku jabatan tertinggi di kawasan berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini, memang memerlukan pemimpin yang cerdas dan trengginas.

Sampai sekarang, banjir masih saja melanda dan menggenangi kawasan Mataraman. Terutama di daerah aliran Sungai Bengawan Solo. Salah satu di antaranya, gara-gara hujan lebat, Rabu (6/3/2019) malam, mengakibatkan banjir di jalan tol Madiun, Jatim. Sampai Jumat Kamis (8/3/2019), air masih menutup jalan tol sepanjang sekitar 600 meter. Ketinggian air yang meluap mencapai ketinggian sekitar 75 sentimeter. Ini diakui Manager Area PT Jasa Marga Tolroad Operator (JMTO) Tol Madiun, Sabilah. Semua kendaraan terpaksa keluar ke exit tol Caruban.

Tidak hanya di Madiun, hujan juga mengguyur Pacitan. Selain karena tingginya curah hujan, genangan juga disebabkan tanggul di Dusun Ngasem jebol. Tak ingin musibah terulang, puluhan KK di wilayah tersebut mengungsi. Sejumlah warga masih bertahan di bangunan sepanjang Jalan Lintas Selatan (JLS). Lokasi tersebut dianggap aman karena lebih tinggi daripada pemukiman.

Akibat luapan Sungai Grindulu,arus arus lalu lintas jalur Pacitan-Ponorogo terputus. Terjadi di beberapa tempat. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Warga Dusun Prayungan, Kelurahan Paju, Kecamatan Ponorogo mengeluhkan soal ketersediaan air bersih. Sebab sejak wilayah tersebut dilanda banjir, sumber air milik warga menjadi keruh dan air PDAM belum mengalir.

Selain Madiun, Pacitan dan Ponorogo, banjir juga melanda wilayah Ngawi. Nyaris pula seluruh wilayah di jalur Bengawan Solo, ke arah Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik juga merasakan akibatnya.

Kendati tidak berjenggot, Khofifah bak “kebakaran jenggot”. Hari-hari pertama kepemimpinannya ia berkunjung ke kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Jatim, di Waru, Sidoarjo. Gubernur perempuan pertama di Jatim ini, menghimpun data kawasan rawan bencana.

Sampai-sampai Khofifah mengungkapkan upaya mengantisipasi meluapnya Sungai Bengawan Solo, terutama saat tingginya intensitas hujan. Ia menyatakan akan menambah tiga sudetan baru. Dari hasil konsultasi dengan pakar air, Sungai Bengawan Solo membutuhkan lima sudetan, dan saat ini baru terdapat dua sudetan.

Selain menambah jumlah sudetan, Khofifah juga terus melakukan langkah-langkah koordinatif dengan instansi terkait dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Bersama BBWS melakukan langkah preventif dengan menyiapkan sand bag atau karung pasir untuk mengantisipasi meluasnya luapan tanggul di Balerejo.

Khofifah berencana akan bekerjasama dengan penyedia layanan telekomunikasi atau provider dalam menyediakan peringatan dini melalui pesan singkat atau SMS (Short Message Service) terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai atau titik rawan bencana. Dengan begitu, masyarakat bisa segera melakukan langkah antisipasi dan tanggap bencana.

Tidak hanya itu angan-angan mantan menteri Sosial ini, ia juga akan menyiapkan sebuah sistem peringatan dini atau atau early warning system akan terjadinya bencana berbasis digital. Hal ini penting dilakukan mengingat topografi wilayah Indonesia termasuk Jawa Timur yang memungkinkan sering terjadi bencana. Lagi-lagi ia mengatakan sedang mengkomunikasikan dengan provider-provider.

Ada lagi, harapan yang diucapkan Khofifah. Ia meminta masyarakat Jatim untuk bisa living harmony with disaster (maaf, artinya: hidup berdampingan dengan bencana). Mengingat topografi wilayah Jatim. Masyarakat Jatim harus mengetahui bahwa lima bencana tertinggi yang mungkin terjadi di Jatim yaitu banjir, kebakaran, angin termasuk di dalamnya puting beliung, dan tanah longsor.

Kecuali, musim hujan, di Jatim ada sekitar 416 desa yang berpotensi kekeringan saat musim kemarau. Sehingga banjir saat musim hujan, perlu ditampung di embung (waduk) guna menyimpan dan memanfaatkan air. Biopori juga menjadi penting dalam hal antisipasi saat musim hujan maupun kemarau.

Nah, musibah yang melanda Jatim sepanjang tahun, dengan musim yang berganti antara hujan dan kemarau itu, tidak bisa hanya dipecahkan dengan rencana dan teori belaka. Perlu perwujudan nyata. Sehingga bencana ini jangan dijadikan “kambing hitam”, sebagai “banjir rutin”, maupun “kemarau panjang” akibat perubahan musim yang tidak menentu.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *