Tantangan Tugas Wartawan di Tengah Pandemi

  • Whatsapp

Penulis : Sukainah Hijarani Almansuroh

Wartawan atau jurnalis merupakan profesi yang menuntut kompetensi yang khas dan spesifik, bukan sekadar bisa mencari, menulis, lalu menyiarkan berita. Profesi ini menuntut tanggung jawab sosial, yakni keterampilan yang bermuatan awareness, knowledge, dan skills, yang harus terus diasah sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman.

Badai pandemi Covid-19 yang melanda dunia dua tahun terakhir, termasuk Indonesia memberikan tekanan dan tantangan berat bagi profesi wartawan. Di tengah ancaman jiwa, keterbatasan gerak dan informasi, wartawan dituntut mampu melahirkan berita yang layak dan memenuhi standar. Sementara berita palsu atau hoaks dan melanggar etika menyerbu masyarakat.

Oleh karena itu, wartawan dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki standar kompetensi, yang memadai dan telah disepakati masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi tolak ukur profesionalitas wartawan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat, serta menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Untuk itu, Dewan Pers membuat rumusan kompetensi wartawan agar profesional dengan menggunakan model dan kategori kompetensi, yakni Kesadaran (Awareness) mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi.
Pengetahuan (Knowledge) mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum dan pengetahuan khusus, dan Keterampilan (Skill) mencakup kegiataan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, serta melakukan riset atau investigasi, analisis atau prediksi serta menggunakan alat dan teknologi informasi.
Di tengah pandemi yang sangat berat dan menantang, wartawan tetap menjalankan tugasnya dengan profesional menyampaikan informasi sebagai jembatan utama menyebarkan berita terupdate misalnya, Vaksinasi Covid-19.

Profesi wartawan termasuk dalam kriteria orang yang berisiko terpapar Covid-19. Hal ini disebabkan karena seorang pewarta diharuskan terjun ke lapangan untuk mendapatkan data yang aktual dan akurat untuk menghindari pemberitaan hoaks, jurnalis relatif masih bebas bergerak di lapangan untuk mengumpulkan data.
Namun, dengan adanya pemberlakuan pembatasan sosial di tengah pandemi kebebesan pers itu direnggut. Wawancara telepon, konferensi pers melalui media poll, hingga diskusi atau seminar yang harus diselenggarakan lewat aplikasi. Faktor itulah yang membuat para wartawan harus bekerja ekstra dalam memverifikasi data yang didapatkannya.

Adapun laporan yang diterbitkan, pada Jumat 1 Januari 2022 oleh Press Emblem Campaign (PEC) yang berbasis di Jenewa. Pandemi Covid-19 telah merenggut nyawa diperkirakan sedikitnya 2.000 jurnalis di 94 negara sejak Maret 2020, dan 1.400 pekerja media meninggal setelah terpapar virus pada 2021, rata-rata 116 orang setiap bulan.
Dilansir dari Republika.co.id, Press Emblem Campaign menjelaskan jumlah korban sebenarnya tentu lebih tinggi karena penyebab kematian jurnalis terkadang tidak ditentukan, atau kematian mereka tidak diumumkan dibeberapa negara, dan tidak ada informasi yang dapat dipercaya. Angka 2.000 adalah perkiraan keseluruhan yang rendah. PEC mencatat bahwa jumlah kematian melambat tahun lalu setelah vaksin tersedia.

Selain itu, kondisi pandemi seperti ini menyebabkan merosotnya multidimensi atau persepsi masyarakat terhadap suatu peristiwa termasuk penyebaran pemberitaan hoaks yang semakin meluas, serta menimbulkan masalah bagi semua negara.
Seperti contoh pemberitaan hoaks mengenai vaksin booster wajib bayar bagi masyarakat yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan. Unggahan itu beredar di sejumlah media sosial, disebut sumber informasi berasal dari sebuah portal media bernama nasional.live membuat artikel berjudul “Siap-siap Suntik Vaksin Dosis Ketiga, Tak Punya Kartu BPJS Kesehatan Wajib Bayar” yang dimuat pada 9 Januari 2022.

Artikel tersebut dinyatakan hoaks karena berdasarkan hasil penelusuran, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi, membantah informasi yang menyebutkan jika masyarakat yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan, wajib membayar untuk mendapatkan vaksin booster. “Vaksin booster dipastikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya dilansir dari laman resmi satgas covid-19, Rabu (26/1/2022).
Sementara informasi yang beredar di Facebook pada 20 Februari 2022, mengklaim bahwa mengonsumsi es yang jatuh dari terjadinya hujan es dapat meningkatkan imunitas. Dilansir dari kompas.com, bahwa informasi tersebut dinyatakan hoaks sebab menurut dr. Dien Kalbu Ady sekaligus Direktur RSU PKU Muhammadiyah Prambanan menjelaskan, hujan es memang memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan hujan biasa, tetapi berbeda wujud.

Dien Kalbu juga mengatakan meski, hujan es membawa polutan dari atmosfer. Bukan sekadar membawa partikel debu yang berukuran kecil. “Hujan es juga mengandung gas-gas emisi seperti nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida,” katanya, Rabu (23/2/2022).
Informasi yang diterima melalui media sosial atau broadcast pesan. Bisa dicek kembali melalui situs Kementrian Kominfo di https://komin.fo/inihoaks atau https://turnbackhoax.id dan https://cekfakta.com serta cek dan buktikan hoaks terkait Covid-19, kunjungi https://s.id/infovaksin.
Dengan demikian, masyarakat atau lembaga-lembaga pemerintah harus memahami dan mendukung tugas-tugas wartawan karena di tengah pandemi ini justru masyarakat, pemerintah, semua pihak membutuhkan informasi yang benar.
(Sukainah Hijarani Almansuroh/Politeknik Negeri Jakarta)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait