Tari Lengger Salah Satu Jati Diri Bangsa dari Pegunungan Dieng

  • Whatsapp

WONOSOBO, beritalima.com – Jangan mengaku orang Wonosobo bila tidak mengenal kesenian lengger. Kesenian yang sudah mendarah daging bagi sebagian masyarakat di pegunungan Dieng ini seringkali dimainkan oleh para penari putri dan penari putra dengan iringan gamelan yang membuat para penikmatnya kadang menjadi trance (kesurupan. Red.) Tanpa sadar diri menari mengikuti alunan gamelan yang sedang ditabuh para nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para sindennya. Beberapa tembang yang dimainkan dapat menghipnotis para penari maupun penonton membuat pertunjukkan lebih menarik sehingga mereka enggan beranjak dari lokasi pertunjukkan. Tembang yang seringkali menghipnotis para penikmat kesenian ini diantaranya gondang keli, gondosuli, kebo giro dan banyak lagi.

Menilik sejarahnya, kesenian ini merupakan tarian ritual untuk sarana tolak bala dalam acara ruwatan bersih desa.
Kesenian peninggalan budaya leluhur ini perlu dilestarikan keberadaannya agar generasi berikutnya mengenal kesenian yang adi luhung ini. Salah satu yang berusaha memperhankan budaya ini adalah grup kesenian Langen Sekar Ayu Kuning dari Dusun Buaran Desa Gunturmadu Kecamatan Mojotengah.

Seperti diungkapkan oleh ketua grup seni lengger yang sudah berdiri sejak tahun 1970 an, Hadi Suwarno bahwa kesenian Tari Lengger sudah ada sejak dulu dan pernah digunakan oleh Sunan Kalijogo untuk menarik para pemuda agar rajin ke masjid. Tari Lengger merupakan salah satu tarian tradisional asli Jawa Tengah ini dimainkan oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan. Sebenarnya tarian ini merupakan pengembangan dari tarian sebelumnya yaitu Tari Tayub.
Dari asal katanya, nama Tari Lengger diambil dari kata “le” yang berarti anak laki – laki dan kata “ger“ yang berarti geger atau ramai. Karena banyaknya penonton laki – laki yang hadir dalam setiap pertunjukannya.

Tarian ini dulunya dianggap negatif karena gerakan dan adegan dalam tarian ini dianggap mengundang birahi. Selain itu, juga tidak jarang para penonton yang ikut menari sambil mabuk. Namun tarian ini telah berhasil diubah oleh Sunan Kalijaga dan menjadikannya sebagai sarana dakwah dengan disisipkannya ajaran untuk selalu mengingat Tuhan. Sehingga banyak juga yang mengatakan nama lengger diambil dari kata “eleng/eling” yang berarti ingat dan “ngger” yang berarti nak (sebutan untuk seorang anak. Red.). Sehingga dapat diartikan menjadi “ingatlah nak” yaitu seruan untuk menggingat pada kebaikan dan mengingat kebesaran Tuhan.

Lanjutnya, dalam tarian ini terdapat beberapa babak, setiap babak seringkali dimainkan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Ciri khas dan keunikan dalam tarian ini juga terletak pada kostum penarinya, pada penari wanita biasanya menggunakan baju tradisional dengan selendang yang digunakan untuk menari dan penari laki – laki tampil dengan menggunakan topeng. Dalam pertunjukannya, Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan ini diantaranya gambang, calung, saron, kendang, gong dan lain – lain. Sedangkan busana yang digunakan dalam tarian ini, untuk penari wanita menggunakan kemben, kain jarit, mahkota, dan selendang, dipadukan dengan tata rias yang nembuat penari terlihat lebih cantik dan menawan. Sementara itu, penari pria hanya menggunakan baju panjang atau rompi, celana setinggi lutut, kain jarit sepanjang paha, ikat kepala, dan topeng. Topeng yang digunakan menggambarkan tokoh yang mereka mainkan.

Hingga sekarang tarian ini masih dilestarikan di Jawa Tengah khususnya di wilayah Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara dan sekitarnya yang ditampilkan pada acara hajatan, hari besar, penyambutan tamu terhormat dan festival budaya. “Untuk itulah marilah kita jaga dan lestarikan kesenian tradisional yang berkembang di Indonesia, karena itulah yang menjadi jati diri bangsa kita. Dan dari kesenian itulah bangsa dan negara kita dikenal oleh dunia.” Tutup pria yang murah senyum ini. (Gus Edi)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *