JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto menolak rencana Pemerintahan Preesiden Joko Widodo (Jokowi) membatasi kegiatan di tempat ibadah hanya untuk jamaah yang sudah divaksin.
Menurut politisi senior itu. kebijakan ini sangat tidak adil dan diskriminatif dalam melaksanakan ibadah. Sebab hingga saat ini Pemerintahan Jokowi tidak mampu melayani masyarakat mendapatkan vaksin dengan cepat dan mudah.
Ketimbang menjadikan sertifikat vaksin sebagai syarat berjamaah di masjid, lebih baik Pemerintahan Jokowi fokus mempercepat, mengisi dan mendistribusikan stok vaksin yang tipis, menambah titik atau sentra layanan vaksinasi, dan mendayagunakan potensi dalam masyarakat sebagai vaksinator, agar program vaksinasi semakin massif dan segera mencapai target herd immunity.
Ditambahkan, Pemerintah terlalu jauh ikut dalam hal teknis peribadatan umat beragama. “Vaksinasi bukan membuat orang menjadi kebal dan tidak terinfeksi virus atau tidak menularkan virus kepada orang lain. Vaksin membuat orang memiliki antibodi, sehingga orang yang sudah vaksinasi kalau terinfeksi dapat mengeluarkan antibodi, sehingga tak menimbulkan efek fatal,” jelas dia.
Anggota Komisi VII DPR RI itu mengingatkan, saat ini banyak orang belum divaksin bukan karena keengganan atau kesalahan dia, tetapi karena stok vaksin yang kosong. Selain Jakarta, hampir semua daerah di Indonesia, jumlah orang yang sudah vaksinasi masih minim.
Jadi sangat tidak tepat bila Pemerintah membatasi orang yang belum divaksin tersebut untuk beribadah. “Masak ketidakadilan menjadi dasar untuk ibadah. Ini kan tidak bijaksana,” tegas Mulyanto.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu menyarankan daripada membatasi akses orang yang belum vaksin ke tempat ibadah, sebaiknya Pemerintah menggencarkan kegiatan disinfektansi tempat ibadah dan penegakkan prokes (3 M) yang ketat. Pemerintah seharusnya merumuskan kebijakan yang akurat berdasarkan scientific based, bukan sekedar coba-coba.
Mulyanto menyesalkan belakangan Pemerintah terkesan asal bicara atau asal bunyi (asbun) dalam membuat kebijakan. Sebelumnya soal testing, lalu soal indikator kematian, sekarang soal syarat sertifikat vaksin untuk ibadah.
Dalam kondisi darurat seperti ini harusnya Pemerintah lebih berhati-hati menyampaikan pernyataan. Rumuskan dulu kebijakan itu secara matang, baru disampaikan ke publik dengan jelas dan lengkap. Sehingga publik dapat memahami dan menerima dengan baik. “Kalau sekarang terkesan asbun. Nanti setelah dikritisi banyak pihak baru dikoreksi,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)