JAKARTA, Beritalima.com-
SD Negeri Marunda 02 merupakan salah satu sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara pendidikan anak berkebutuhan khusus. Mereka mendidik anak-anak dengan ketunaan seperti tunarungu (tidak dapat mendengar), tunagrahita (kecerdasan di bawah rata-rata), tunadaksa (gangguan gerak) dan autis (gangguan perkembangan otak).
Istilah tunarungu disebut juga tuli. Adapun terminologi tunarungu, menurut beberapa kelompok penyandang disabilitas pendengaran, dianggap sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar sekaligus bicara.
Istilah tunagrahita adalah anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, mengalami hambatan tingkah laku, penyesuaian dan terjadi pada masa perkembangannya. Tunagrahitasering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut: Lemah pikiran (Feeble Minded), terbelakang mental (Mentally Retarded).
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh.
Sedangkan Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrumautisme atau autism spectrum disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita.
SD Negeri Marunda 02 peduli dan mensupport anak-anak berkebutuhan khusus dengan membuka kelas inklusi, terlepas itu merupakan tugas dari Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Jakarta Utara. Untuk tahun pelajaran 2018 / 2019 siswa di sekolah itu memiliki 6 kelas berkebutuhan khusus. Keberadaan sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Suku Dinas Pendidikan Jakarta Utara 2 mengacu kepada Permendeiknas (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) No. 70 Tahun 2009 tentang Inklusi.
Salah satu pengajar di SDN Marunda 02, Nurul Hidayati disaat sela-sela aktivitas mengajar anak-anak kepada beritalima.com belum lama ini mengungkapkan, Kecintaannya, terhadap anak-anak menuntun arah hidupnya untuk menjadi seorang guru. Terlebih lagi karena, Guru dengan gelar Sarjana Pendidikan Sekolah Luar Biasa jebolan Universitas Negeri Jakarta tamatan tahun 2013 ini begitu memahami bahwa anak-anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas mempnyai hak yang sama untuk hidup dan mendapat perlakuan yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Meski Nurul masih menjadi tenaga guru KKI (Kontrak Kerja Individu) tetapi semangat dan pengabdiannya tidak diragukan lagi dalam mencerdaskan anak bangsa termasuk anak-anak penyandang disabilitas / anak berkebutuhan khusus.
“Saya suka anak-anak. Mendidik anak-anak terlebih lagi di kelas anak berkebutuhan khusus/inklusi punya tantangan tersendiri bagi saua,”ungkap Nurul sembari tersenyum.
Lebih lanjut ia mengatakan, anak luar biasa mempunyai hak yang sama dalam mengenyam pendidikan dengan anak-anak normal lainnya.
Seperti diketahui, kuota untuk Sekolah Negeri yang ditunjuk menerima anak berkebutuhan khusus adalah satu kelas 2. Sejak tahun 2005 ketika masih menempati gedung yang lama SD Negeri 02 Marunda ditunjuk menjadi sekolah inklusif.
Nurul anak kedua dari empat bersaudara yang lahir di Jakarta pada tanggal 10 Oktober 1989 itu tersenyum penuh harapan, ketika digugah apakah berkeingin mengadakan acara khusus bagi anak-anak didiknya yang berkebutuhan di tingkat kecamatan atau Jakarta Utara bahkan DKI Jakarta, misalnya Festival Kreativitas Disabilitas. Ia hanya mengangguk dan tersenyum, itu menandakan keseriusannya ketika memilih jalan hidup mengajar di kelas anak-anak berkebutuhan khusus dan terus mengajar dan mendidik mereka.
Dalam kesempatan yang terpisah dengan senyum khasnya usai bermain tenis di lapangan Walikota Jakarta Utara, Kepala SD Negeri 02 Marunda Rusnadi menjelaskan tentang anak-anak yang ia terima untuk belajar di sekolah yang ia pimpin.
“Kami setiap tahun melaksanakan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) dan US (Ujian Sekolah). Tahun Pelajaran 2018/2019 ada 3 siswa yang mengikuti USBN dan 5 siswa yang mengikuti US anak berkebutuhan khusus yang akan mengikutinya,” jelas Rusnadi.
Rusnadi memaparkan, bahwa ada proses tes IQ (Intelligence Quotient) yang dilakukan lembaga khusus, biasanya lembaga psikologi yang menguji apakah seorang anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti UASBN atau US saja, setelah itu dilakukan pertemuan bersama orangtua untuk melaporkan hal tersebut.
Adapun soal yang diujikan bagi siswa inklusi adalah 20 soal pilihan ganda dan 5 soal isian yang tahun 2019 ini, Sudin Pendidikan Jakarta Utara 2 memberikan wewenang soal dapat dibuat guru dengan melihat sesuai kemampuan anak. Dan soal yang dibuat sesuai wilayah termasuk yang ada di kecamatan Cilincing.
Bagi siswa inklusi / berkebutuhan khusus dikategorikan dua, yang dinyatakan layak mengikuti UASBN akan mendapat ijasah dan SKHUN sedangkan yang hanya mengikuti US hanya mendapatkan ijasah.
Ketika ditanya mengenai angka putus sekolah anak-anak berkebutuhan khusus di SD Negeri Marunda 02 Nurul menerangkan, umumnya siswa melanjutkan pendidikan di kelas inklusi berikutnya di tingkat SMP.
“Kalaupun ada hanya 1 orang anak yang tidak mengikuti itupun karena ada permasalahan keluarga sehingga anaknya “disimpan” saja di rumah,”paparnya.
Ada harapan yang yang diungkapkan oleh Nurul demi kemajuan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus baik di SD Negeri Marunda 02 bahkan di sekolah-sekolah lain.
“Saya berharap dari segi sumber daya manusia untuk tenaga pengajar kelas inklusi perlu ditambah kuotanya, karena anak berkebutuhan banyak, sementara tenaga pengajar terbatas,”harapnya.
Memang tenaga pengajar kelas berkebutuhan khusus idealnya 1 guru menangani 10 siswa. Rasio yang ada sekarang ini di SD Negeri Marunda 02 sangat tidak memadai. Ada sebanyak 71 siswa berkebutuhan khusus di sekolah itu dan dibutuhkan 5 guru, kenyataannya hanya 2.
Kiranya ini menjadi perhatian khususnya pejabat pemangku kebijakan untuk menjadikan hal ini prioritas. Karena bagaimanapun juga tidak ada seorang anak bahkan keluarga yang mau putra-putrinya memliki keterbatasan. Tinggal saja kita mengupayakan daya dan dana mengelola pendidikan inklusi tersebut sehingga dapat menyelesaikan pergumulan hidup masyarakat. Terlebih lagi menyiapkan tenaga pengajar dengan kuota yang tepat. Semoga!
Penulis : Johan Sopaheluwakan
Editor : Edi Prayitno