Tentang Hak Asuh Anak dan Putusan Idealnya

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)

Ibu mana yang tidak pilu ketika gagal mendapatkan hak asuh atas anaknya di pengadilan. Tidak hanya itu, ia mungkin sangat murka kepada hakim ketika gugatan untuk mendapatkan anak yang ia kandung sembilan bulan dan ia susui dengan segenap kasih sayang ditolak. Pada saat demikian sejumlah umpatan pun mungkin akan ia luapkan, mulai hakim kejam, hakim tak punya perasaan, sampai hakim tidak berperikemanusiaan. Perasaan demikian, secara manusiawi tentu sah-sah saja. Akan tetapi, salahkah hakim? Sebuah pertanyaan yang perlu dijawab sekaligus sebagai pencerahan kepada masyarakat agar mengetahui bekerjanya sebuah peradilan. Khususnya, ketika sebuah sengketa tentang perebutan hak asuh harus diputuskan.

Apa yang digambarkan tentang seorang ibu tersebut–dengan alasan lain tetapi tetap dengan logika yang sama–pasti juga akan dialami sang ayah, apabila gagal memperebutkan hak asuhnya. Dengan demikian peluang sikap egois tampaknya memang sama-sama bisa terjadi pada mantan istri atau mantan suami. Keduanya sama-sama mempunyai alasan yang dirasa sama-sama masuk akal menurut versinya masing-masing. Sikap egois ini tanpa disadari oleh keduanya, menyebabkan mereka harus mengajukan pertanyaan mendasar. Pertanyaan itu adalah, ketika berebut hak asuh tersebut, sejatinya untuk kebahagiaan siapa? Untuk dirinya (suami atau istri) atau untuk buah hatinya? Kalaupun, pertanyaan ini sudah mereka jawab bahwa upaya mereka itu semata-mata demi kebahagian dan masa depan sang anak. Pertanyaan lanjutannya, apakah kebahagiaan yang mereka harapkan itu sesuai dengan perasaan dan cita yang anak? Pertanyaan terakhir ini yang sering dilupakan oleh para calon pengasuh anak hingga ia mau bernafsu memenangkannya di pengadilan dan dengan kesediaan menyewa berbagai pengacara handal.

Tentang sengketa hak asuh ini, pengadilan memang sering menjadi sasaran kemarahan pihak yang berperkara, khsusnya oleh mereka yang merasa dikalahkan. Padahal, sejatinya pengadilan hanya memutus dengan suatu komitmen mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi si anak. Kepentingan terbaik ini menjadi komitmen pengadilan karena hal tersebut telah menjadi doktrin universal. Realitas menunjukkan bahwa yang sedang menjadi sengketa suami istri, bukanlah benda melainkan seorang manusia yang mempunyai harkat martabat kemunusiaan. Hanya saja, anak-anak tersebut belum mengerti arti harkat dan martabat itu. Anadaikan mampu, melihat kedua orang tuanya menyengketakannya, anak-anak itu mungkin akan berkata panjang lebar dan membuat argumentasi, harus memilih ayah atau ibunya. Sayang si anak belum mempunyai logika berfikir menentukan pilihannya selain hanya diam, tertawa, atau bahkan menangis. Pengadilanlah yang mengartikulasikan semua kepentingan anak itu.

Oleh karena itu, selain mempertimbangkan kondisi suami atau istri, yeng lebih penting ialah kepentingan riil yang ada sekarang dan yang mungkin terjadi pada masa akan datang. Berbeda dengan kedua orang tua yang bisanya hanya berfikir menurut sisi kepentingannya yang belum tentu sesuai dengan kepentingan si anak. Banyaknya eksekusi anak yang gagal sejatinya membenarkan teori, bahwa sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa mengenai benda (mati). Pada sengketa kebendaan hakim lebih melihat sisi yuridis, yaitu dengan sudut pandang ekstrim: hitam dan putih. Tidak demikian halnya sengketa hak asuh di samping dengan pertimbangan yuridis masih ada aspek lain yang wajib dilihat oleh pengadilan (hakim), antara lain: sosiologis, antropologis, dan psikologis. Ketika putusan pengadilan di luar ekspektasi para pihak, sejatinya hanya disebabkan perbedaan latar belakang cara pandang pengadilan dengan para pihak.

Sebagai ilustrasi dapat diambil pelajaran dari kisah yang terjadi zaman Rasulullah SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, bahwa ketika Rafi’ masuk Islam, istrinya menolak masuk Islam. Keduanya berebut atas anak perempuan semata wayangnya. Lalu sang isteri mendatangi Nabi SAW, seraya berkata, “Ini adalah anak perempuanku. Ia telah disapih atau serupa dengan itu.” Melihat sikap demikian Rafi’ pun berkata, “Ini adalah anak perempuanku.” Lalu Nabi SAW bersabda kepada Rafi’: “Duduklah di sebelah sana.” Beliau juga bersabda kepada istri Rafi’, “Duduklah di sebelah sana.” Kemudian beliau meletakkan si anak di tengah-tengah di antara keduanya, lalu bersabda (kepada keduanya), “Panggillah dia.” Si anak ternyata condong kepada ibunya, kemudian Nabi SAW pun berdoa, “Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.” Si anak pun kemudian condong kepada bapaknya. Kemudian diambillah ia oleh bapaknya (Rafi’).

Oleh sebagian pemikir hukum, hadits tersebut menunjukkan pentingnya pertimbangan akidah ketika terjadi sengketa anak dan harus ditetapkan siapa pengasuhnya. Pemahaman demikian tidak sepenuhnya tepat. Justru Rasulullah dalam kasus ini menjunjung tinggi kepentingan anak dengan memberikan kebebasan agar memilih sendiri orang tua mana (ayah atau ibu) yang harus diikuti. Dengan kata lain kepentingan anak memang menjadi prioritas utama. Banyaknya kasus dalam hadits yang memberikan hak asuh kepada perempuan, khususnya ibu, tetap harus dipandang dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak waktu itu. Sebab, bagaimana mungkin para suami yang waktu itu berkewajiban jihad yang nota bene sering ke medan perang berbulan-bulan dapat diserahi tugas mengasuh anak. Yang demikian sekaligus menjawab pertanyaan, mengapa corak fikih mengenai hak asuh anak (hadlanah) selama ini sangat feminin? Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait