Tentang Mahram Dan Kisah Pilu Poninten

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Sungguh kasihan nasib Poninten (bukan nama sebenarnya). Semua gara-gara ‘ulah’ ayah ibunya yang, entah sengaja atau tidak, telah membiarkannya dipersunting oleh paman kandungnya sendiri. Pamannya, yang adik kandung yang ayah ini, membawanya pergi ke luar pulau Jawa. Singkat cerita kedua pasangan terlarang itu pun kemudian menikah. Bukan pernikahan sirri atau nikah abal-abal lainnya. Akan tetapi, benar-benar nikah resmi yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo UU Nomor 22 Tahun 1946.

Yang pasti, KUA benar-benar sangat kecolongan dengan ulah si Bondet alias sang paman itu. Bagaimana bisa, KUA yang harus mengisi formulir dengan isian “njlimet” itu, kemudian bisa terkelabuhi oleh ‘kepintaran’ sang paman ngawur itu ketika harus mengisi identitas yang berkaitan dengan keluarga masing-masing calon mempelai. Apa pun alasannya, pernikahan terlarang itu kemudian memang sudah terlanjur terjadi. Dan, dengan bukti akta nikah itu, pasangan terlarang itu, secara sosial atau secara hukum, seolah sudah aman. Kalaupun dalam perjalanan, suatu ketika perlu menginap di hotel, mereka pasti tidak akan khawatir terkena razia satpol PP lagi. Untunglah, pasangan yang kemudian sudah punya, maaf, seorang anak cacat itu pun, kemudian cerai. Alasannya, sejak Poninten yang dari pernikahan terlarang itu memperoleh ‘anak cacat’, diterlantarkan bertahun-tahun. Oleh karena penulis melihat sendiri Kutipan Akta Nikah beserta foto yang tertempel, maka cerita tersebut jelas bukan kabar hoax atau sekedar kabar burung gagak.

Kisah tentang pernikahan semahram yang lebih gila adalah terjadi di Kampung Bukit Cicin, Sungai Raya, Meral, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Seorang Armand an Siti mengaku sebagai suami istri. Sebagaimana dilansir dai laman , Pasangan yang telah memiliki 2 orang anak itu ternyata berstatus kakak beradik kandung (id.theAsianparent.com). Sebagaimana, dijadikan pembuka artikelnya tentang bahaya pernikahan sedarah, dr. Fadhli Rizal Makarim juga mengungkapkan kasus serupa yang terjadi Bulukumba Sulawesi Selatan tentang sebuah pasangan inses (kakak adik) (Halodoc.com/04 Juli 2019). Berbeda dengan kasus Poninten, dua kasus selebihnya memang masih menyisakan pertanyaan, apakah perkawinan mereka tercatat atau sekedar kumpul kebo (cohabiting).

Dalam UU Perkawinan disebutkan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan. Bagi orang Islam, pernikahan sah apabila mengacu ketentuan syari’at Islam yang secara rinci dan praktis sudah tertuang dalam fikih munakahat. Setelah berlakunya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, syarat rukun nikah ini telah secara jelas dan tegas telah tertuang dalam Kom pilasi Hukum Islam (KHI). Sebagai penunjang undang-undang yang mengatur perkawinan, KHI yang dianggap sebagai fikih ala Indonesia ini, menjadi acuan baku bagi setiap pejabat yang mengurusi perkawinan, ketika akan, sedang, dan setelah melaksanakan perkawinan. “Akan”, dalam pengertian petugas yang berwenang memerintahkan calon mempelai agar memenuhi persyaratan dokumen yang harus dipenuhi. “Sedang”, dalam pengertian petugas yang berwenang meneliti kebenaran dokumen yang diperlukan. “Setelah”, dalam pengertian petugas yang yang berwenang harus melakukan tindakan hukum, jika kemudian diketahui bahwa perkawinan yang dilakukan dengan resmi itu, terdapat hal-hal yang mengharuskan memutus kembali perkakwinan yang dilaksanakan. Faktor ketiga ini sering disebabkan oleh ulah para calon mempelai yang mengelabui petugas dengan memalsukan dokumen. Selebihnya karena faktor ‘keteledoran’ aparat. Atau, ulah oknum penjual akta nikah abal-abal seperti yang terjadi di suatu daerah beberapa tahun lalu.

Salah satu persoalan perkawinana yang sering belum diketahui oleh masyarakat awam ialah persoalan “mahram”. Dalam KBBI mahram diberi arti orang (perempuan, laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah dengannya. Konsekuensi adanya hubungan mahram, dalam madzhab Syafi’i, selain menimbulkan larangan melakukan pernikahan juga tidak membatalkan wudhu jika laki-laki dan perempuan itu bersentuhan kulit.

Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam telah dengan tegas membuat larangan perkawinan karena hubungan mahram. Dengan bahasa hukum, larangan melakukan perkawinan karena hubungan mahram ini oleh KHI dibahasakan lain, yaitu dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: karena pertalian nasab (ayat 1), karena pertalian kerabat (ayat 2), dan karena pertalian susuan (ayat 3). Ketiga alasan yang menjadi sebab pelarangan perkawinan itu tidak lain adalah karena ada hubungan mahram.

Adapun wanita yang dilarang karena pertalian nasab ini ada 3 macam, yaitu:
a. Dengan wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya, atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan wanita saudara yang melahirkannya;
Wanita yang dilarang karena pertalian kerabat semenda ada 4 macam, yaitu:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;
c. Dengan seorang wanita keturunan istri tau bekas istrinya kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan beas istrinya itu qabla dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
Sedangkan, wanita yang dilarang karena pertalian sesusuan ada 5 macam, yaitu;
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Sekilas kalimat-kalimat di atas telah tegas dan jelas. Bagi orang awam dan/atau belum pernah ‘mengaji’ fikih munakahat, memahami rumusan kalimat di atas, belum tentu mudah. Padahal, rumusan mengenai mahram di atas sebenarnya jauh libih rinci dari rumusan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi tetap saja tidak serta merta dipahami dengan mudah oleh orang awam jika tidak diberikan contoh-contohnya. Hal ini disebabkan karena rumusan kalimat dalam pasal-pasal sebuah aturan hukum dibuat dengan memakai bahasa hukum. Bahasa hukum dalam sebuah aturan hukum, memang harus dibuat sedemikian rupa agar bisa tegas sekalugus mencakup. Sayangnya, karena harus dibuat tegas tetapi mencakup itu, sebuah aturan hukum, justru sering bersifat abstrak.
Menganai larangan kawin dengan wanita berdasarkan mahram ini coba bandingkan dengan Ayat 23 Surat An-Nisak atau dalam berbagai kitab fikih (sebagai contoh Kifayatul Ahyar) yang justru lebih aplikatif karena langsung menyebut personal ( ayah, ibu, paman, anak, anak tiri, dan seterusnya).

Dalam konteks mahram ini, para petugas “pengawas perkawinan” wajib hukumnya menguasai dengan baik. Pengawas perkawinan yang dimaksud di sini mencakup tiga komponen, yaitu KUA dan pejabat terkait, masyarakat, dan pengadilan. KUA dan pejabat terkait, melakukan tindakan preventif, yaitu agar tidak meloloskan siapapun melakukan perkawinan semahram, seperti dalam kasus di atas. Masyarakat, bisa melakukan dua hal. Pertama, memberi masukan kepada pejabat atau aparat dengan informasi yang sebenarnya, baik diminta maupun tidak, jika menegetahui ada anggota masyarakat yang akan melakukan perkawinan se mahram (preventif). Kedua, jika sudah terlanjur terjadi, harus memberitahukan kepada yang berwenang (misalnya, KUA Kecamatan setempat) agar diambil langkah-langkah yuridis guna mengakhiri perkawinan yang tidak benar tersebut (curative). Terkait dengan ‘kesalahan perkawinan’ karena mahram ini, pengadilan agama, meskipun tindakan yang diambil bersifat kuratif, tentu hanya bersifat pasif. Pengadilan baru bertindak, jika ada pihak yang mengajukan perkara. Perkara dimaksud adalah perkara sebagaimana diatur oleh Pasal 22 sampai 28 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Dengan tanpa bermaksud menggurui, tulisan ini dibuat dengan maksud untuk “mudzakarah” bersama agar tidak terjadi perkakwinan antar mahram. Islam dan negara kita tidak membenarkan perkawinan semahram, apalagi inses (hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang bersaudara kandung yang tidak saja dianggap melanggar adat, dan hukum, tetapi juga agama). Para pakar dunia kesehatan telah lama menumakan fakta, bahwa pasangan sedarah sering menurunkan keturunan dengan risiko kesehatan tinggi, baik yang menyangkut psikis (cacat mental, keterbelakangan ) maupun fisik (albinisme, fumarase deficiency, habsburg Jaw, hemophilia, dan philadelphoi). Kepiluan Poninten harus merawat anak semata wayang bertahun-tahun yang kondisinya tidak normal, patut diduga karena anak tersebut lahir dari pasangan sedarah. Semoga, ke depan tidak tidak muncul “Poninten-Poninten” berikutnya. Wallahu A’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait