Tentang Seorang Teman Yang Bernama Singky Soewadji

  • Whatsapp

Oleh : Baharmi

Untuk kali kesekian, kamis (26 /Sep/19) lalu, saya diundang kongkow-kongkow di Dasoe Café milik Singky di San Antonio Blok N 1 No. 110, Pakuwon City – Laguna Surabaya.

Datang jam 12.00 siang, pulang pukul 21.00 malam.

Ngobrol 9 jam diselingi ngopi, makan siang dan sekalian makan malam.

Abaikan soal nikmatnya kopi dan lezatnya menu Dasoe Café.

Saya juga tidak akan bercerita tentang suasana nyaman saat nongkrong sambil melirik wanita-wanita cantik yang lalu lalang di depan café.

Saya justru ingin berbagi kesan tentang seorang teman yang bernama Singky Soewadji.

Kesan yang ingin saya bagikan ini, berawal dari pertanyaan yang mencuat dari dalam pikiran saya sendiri.

Pertanyaan tersebut bunyinya begini :
“Orang ini kok gak capek berkoar soal satwa ?”

Sembilan jam ngobrol dengan Singky, lebih dari separuh waktu dia mengungkapkan pemikiran kritisnya soal satwa.

Misalnya, soal penjarahan 420 satwa di KBS (Kebun Binatang Surabaya).

Tentang over populasi Komodo di KBS yang menurut Singky bakal terjadi ‘penjarahan satwa jilid dua’.

Singky juga membahas soal penangkaran, soal penjualan satwa yang dilindungi ke luar negeri.

Harga pasaran satwa-satwa di pasar luar negeri. Tentang mafia satwa hingga pejabat yang kurang becus.

Spesial soal penjarahan dan over populasi komodo, hingga kasus penangkaran CV Bintang Terang milik Ny. Kristin dibahas sampai empat kali.
Ya, empat kali diulangi !

Ketika bicara, ekspresinya serius. Meledak-ledak. Kadang menggebrak meja. Singky emosi.

Saya berusaha jadi pendengar yang setia. Sebab, apa yang diungkapkan sudah sering diutarakan lewat WhatsApp group atau dikirim ke WA pribadi saya.

Selain itu, kritik pedasnya juga diunggah di akun facebook.

Akibat status yang diunggah di facebook itulah, Singky sempat merasakan pengapnya kamar penjara.

Dia dikerangkeng di Rutan Medaeng selama 18 hari. Kemudian menjalani serangkaian sidang di PN Surabaya dan Singky divonis bebas murni.
Tidak terbukti bersalah !

Singky lega.
Tapi pengalaman pahit itu bagaikan menelan pil kuat. Dia bukan makin kendor, tapi makin bersemangat.

Bahkan condong kian beringas.
Mantan atlit dan pelatih berkuda nasional dan promotor musik ini tidak jera.

Dia tetap mengkritisi kebijakan yang menyangkut satwa.

Dia tetap menuding beberapa oknum sebagai maling, sebagai mafia yang masih terus berusaha menjarah dengan segala cara.

Singky bukan type orang yang bisa dibungkam. Bahkan (mungkin) saat dia merenung, yang direnungkan itu soal satwa.

Ketika dia tidur dan bermimpi, kemungkinan mimpinya juga soal satwa.

Seperti yang sering diungkapkan :
“Saya tidak akan berhenti mengkritisi. Saya tidak bisa dibungkam. Apapun resikonya, saya akan lawan”.

Soal Singky, menarik untuk digali lebih dalam lagi.

Lebih 30 tahun saya berteman dengan Singky, saya sangat paham akan karakternya yang khas asli Arek Suroboyo.

Bicaranya ceplas ceplos tanpa tedeng aling-aling tanpa peduli dan memandang kepada siapa dia berbicara.

Didunia konservasi termasuk cukup senior, pernah menjabat di Perhimpunan Kebun Binatang Se Indonesia (PKBSI), juga di South East Asian Zoos and Aquaria Association (SEAZA).

Bicara soal keadilan dan harkat hidup satwa, kualitas seorang Singky sudah tidak perlu diragukan.

Apa yang jadi keyakinan adik mantan ratu renang Naniek Soewadji ini, bila dia rasa bahwa dirinya benar, tidak ada kata mundur atau menyerah baginya, dan jeruji besi tetap dia hadapi, itu sudah terbukti.

Saat ini Singky sedang berjuang untuk keadilan seorang janda tua bernama Kristin (60 tahun), karena ijin tangkarnya mati, Kristin harus dipidana dan dipenjara satu tahun, sementara lebih 500 ekor burung hasil tangkarannya disita untuk negara.

Kristin sudah keluar dari penjara, menjalani bebas bersyarat, tapi Singky belum puas, pengusaha kembang api ini ingin agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan kembali ijin untuk CV Bintang Terang milik Kristin, dan semua satwanya dikembalikan untuk ditangkarkan.

Singky berkeyakinan, Kristin tidak layak dipidana, tapi justru harus dibina, bukan dibinasakan.

Kasus ini jadi menarik dan layak kita simak. (Baharmi)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *