JAKARTA, Beritalima.com– RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja yang dibahas DPR RI bersama Pemerintah banyak menyangkut kepentingan daerah. Pasal 22D UUD NRI 1945 ayat (2) menyatakan, DPD RI sebagai presentasi Daerah ikut membahas RUU berkaitan otonomi, hubungan pusat -daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Ekonomi (SDE) lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Karena itu, ungkap Ketua Komite I DPD RI, Agustin Teras Narang dalam keterangan pers Biro Humas dan Pemberitaan DPD RI yang diterima Beritalima.com, Minggu (19/4), pembahasan RUU tentang Cipta Kerja ini harus dilakukan secara tripartit yakni DPR RI, Pemerintah dan DPD RI.
Politisi senior ini mengatakan, Komite I DPD RI keberatan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja dilakukan saat ini dimana pandemi Covid-19 yang oleh Pemerintah dinyatakan ‘Bencana Nasional’. “DPD RI mengusulkan agar Pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda sampai pandemi ini dinyatakan telah berakhir oleh Pemerintah,” kata Teras.
Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyarakan, saat pandemi Covid-19 berlangsung diberi kesempatan masyarakat dan pemangku kepentingan memberikan masukan terhadap isi dan muatan RUU tentang Cipta Kerja melalui sarana daring dan sebagainya (dengan memperhatikan social dan physical distancing).
Komite I DPD RI juga menilai banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU tentang Cipta Kerja yakni 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden dan 4 Peraturan Daerah, itu menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk UU atas kondisi regulasi di Indonesia yang hyper regulasi.
Komite I DPD RI berpandangan, substansi pengaturan RUU tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar UU No: 12/2011. Ada dua pasal dalam RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan Putusan MK, seperti Pasal 170 yang menyatakan Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah UU.
“Itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No: 12/2011 yang menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan/mengubah UU,” jelas laki-laki kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Oktober 1955 tersebut.
Selain itu, dalam Pasal 166 disebutkan, Peraturan Presiden (Perpres) bisa membatalkan Perda. Itu bertentangan dengan Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal UU No: 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pengujian/pembatalan Perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Komite I DPD RI juga mencermati RUU tentang Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perizinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak kepada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945.
“RUU tentang Cipta Kerja juga menghilangkan makna Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur Pasal 91 pada ayat (1) UU No: 23/2014 tentang Pemerintah Daerahm” demikian Agustin Teras Narang. (akhir)