SURABAYA – beritalima.com, Guntual bin Abdullah Laremba dan Tutik Rahayu duduk ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (20/9/2021). Namun saat Jaksa Guntur Arief Witjaksono akan membacakan dakwaan, kedua terdakwa malah melakukan Walk out dalam persidangan.
Kedua terdakwa yang merupakan pasutri dan berprofesi sebagai seorang advokat ini menegaskan tak mau mengikuti proses persidangan bila acuan sidang digelar hanyalah berdasarkan Pasal 85 KUHAP.
Sempat terjadi perdebatan panjang antara kedua terdakwa dengan majelis hakim.
Atas sikap walkout itu, ketua majelis hakim Darmanto Dachlan sempat meminta pada para terdakwa bertahan untuk memberi tanggapan atas dakwaan yang dibacakan jaksa.
Hakim akhirnya menunda persidangan ini sepekan mendatang dan memerintahkan agar jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan para terdakwa.
Usai persidangan, penasihat hukum kedua terdakwa, Rommel Sihole mengatakan apa yang dilakukan kedua klienya itu sudah benar, dikarenakan proses persidangan tidak berdasarkan hukum. Dan sudah mengesampingkan asas locus delicti yang seharusnya kewenangan PN Sidoarjo.
“Tetapi karena ada konflik kepentingan, dan pelapornya ketua Pengadilan Negeri Sidoarjo. Maka berdasarkan keputusan Makhamah Agung dipindah ke Surabaya,” katanya didepan awak media.
Menurut Rommel, pemindahan sidang itu tidak sah, berdasarkan Pasal 85 KUHP, penjelasanya menyebutkan pemindahan dilakukan keamanan tidak memungkinkan atau ada bencana alam.
“Saya rasa, Sidoarjo aman-aman saja dan tidak ada bencana alam. Saya pikir tidak memenuhi syarat pemindahan itu,” terangnya.
Sementara, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Gatot Hariono saat dikonfirmasi megatakan, bahwa pihak dari terdakwa merasa keberatan dikarenakan yang melaporkan adalah ketua PN Sidoarjo.
“Akhirnya kedua terdakwa mengajukan permohonan agar persidanganya tidak dilakukan di PN Sidoarjo,” kata Kasi Pidum.
Lebih lanjut Gatot menjelaskan, permohonan tersebut akhirnya di kirim ke Makhamah Agung (MA).
“Hasil dari keputusan MA kedua terdakwa di sidang ke PN Surabaya,” ungkapnya.
Dalam Sistim Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya kedua terdakwa didakwa Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang – undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 ayat (1) Ke – 1 KUHP.
Dalam SIIP dijelaskan, kronologi itu berawal saat terdakwa Guntual dan Tutik Rahayu hadir dalam sidang di Ruang Sidang Utama pada Pengadilan Negeri Sidoarjo sebagai korban dalam perkara tindak pidana pelanggaran UU Perbankan yang dilakukan oleh The Rima dan Djoni Harsono.
Setelah pembacaan putusan oleh Majelis Hakim yang terbuka untuk umum, karena merasa tidak puas dan keberatan dengan Putusan yang diucapkan oleh Majelis Hakim tersebut.
Kedua terdakwa lantas melakukan protes dengan cara menjelek – jelekan institusi Pengadilan dengan kalimat “HARUS MELAWAN, JANGAN PERCAYA PENGADILAN YANG KAYAK GINI MODELNYA”, “BUBAR PENGADILAN, HAKIM BISA DIBELI”, “HAKIM KENA SOGOK” dan “HAKIM KENA SUAP” hingga menimbulkan keributan.
Tak sampai disitu kedua terdakwa juga mengunggah status dimedia sosial Facebook miliknya dengan kalimat.
Pengadilan yang sedianya sebagai tempat mencari keadilan, justru menjadi sarang mafia hukum dan keadiadilan yang dilegalkan oleh konstitusi, sehingga masyarakat percari keadilan menjadi korbannya.
Undang – undang dengan pasal berlapis dibuat sebagai tolok ukur untuk menetukan bentuk kesalahan bagi satu pihak dan pelindung bagi pihak yang benar, justru bisa diputar balikan oleh mafia hukum kalau tidak menyuap Hakim yang dibayar mahal oleh negara dan dipercaya sebagai wakil TUHAN, untuk menguji dan mengadili guna mengungkap fakta sesungguhnya melindungi yang benar, menghukum yang salah, ternyata dengan kekuasaan palu bisa menyedupkan fakta, sehingga kalau tidak menyuap yang benar bisa disalahkan dan kalau mau menyuap hakim, yang salah menjadi dibenarkan
Hukum macam apa ini, untuk pengadilan negara, untuk apapula UU dibuat dan diperdebatkan, kalau ujung – ujung tergantung penilaian hakim yg sudah kena suap dan sogok.
Setiap perkara adalah proyek bagi aparat hukum yang sudah digaji oleh negara pakai uang rakyat, tapi tidak bekerja untuk keadilan masyarakat.
Kalau sudah seperti kenyataannya masyarakat seharusnya sudah sadar dan bangkit melawanatas kelakuan hakim yg selama ini telah banyak merampas hak dan martabat masyarakat (rakyat).
Mari kita ganti tahapan pengadilan negara mendahulukan pengadilan alternatif, setiap perkara, baik pidana maupun perdata dan perkara lainnya, penyelesaiannya harus diselesaikan terlebih dahulu proses Dialog, Musyawarah (secara adat sesuai daera) dengan hasil putusan berdasarkan kesepakatan.
Setelah upaya damai dengan Restorative Justice (pemulihan keadilan) tidak bisa dicapai, barulah dilanjutkan dengan proser hukum Negara.
Sementara terdakwa Tutik mengunggah status di Facebook miliknya, dengan tambahan tulisan “Ngeri… Korban tidak punya uang sulit cari keadilan di Pengadilan” dan yang kedua bertuliskan “Putusan bisa ‘diperjualbelikan’”.
Selain itu terdakwa juga menshare video dengan durasi 03:41 (tiga menit empat puluh satu detik) dengan judul Viral bobroknya pengadilan negeri Indonesia! Tidak ada keadilan bagi korban yang menyuap hakim yaitu keduanya mengungkapkan kegundahan atau keprihatinan. (Han)