SURABAYA – beritalima.com, Terdakwa kasus dugaan pemalsuan surat perjanjian hutang pemakaian dana kepontren sebesar Rp 684 juta atas nama Zainal Adym SH divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Menurut majelis hakim yang diketuai oleh Dewantoro terdakwa Zainal Adym tidak terbukti tidak melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan Jaksa yakni pasal 263 ayat (1) dan pasal 263 (2) KUHP.
“Membebaskan oleh karena itu terdakwa dari dakwaan. Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari Tanahan setelah putusan ini dibacakan. Memulihkan hak-hak terdakwa dari kedudukan serta martabatnya. Mengembalikan surat perjanjian hutang pemakaian dana kepontren tertanggal 17 Juli 1996 kepada terdakwa Zainal Adym SH,” kata hakim Dewantoro di ruang sidang Tirta 1 PN Surabaya. Senin (5/9/2022).
Majelis hakim dalam salah satu pertimbangannya, menyatakan bahwa surat perjanjian hutang pemakaian dana kepontren sebesar Rp 684 juta atas nama Zainal Adym SH tanggal 17 Juli 1996 yang diduga dipalsukan tersebut, ternyata dalam sidang pemeriksaan jaksa tidak dapat memperlihatkan pembanding tanda tangan Soebiantoro tersebut, juga tidak ada bukti laboratorium forensik dari pihak Kepolisian Republik Indonesia.
“Dan kalau diteliti lebih dalam lagi, mengapa saksi pelapor Bambang Suki Iwantoro dan saksi korban Feri Widargo yang pada saat itu menjadi pihak dalam perkara gugatan perlawanan tidak mengajukan bukti tentang tanda tangan Soebiantoro. Karena Surat penetapan kematian Soebiantoro itu terbit setelah perkara perdatanya kalah,” papar hakim Dewantoro.
Atas putusuan tersebut, jaksa Diah Ratri Hapsari melalui Kasi Pidum Kejari Tanjung Perak, Hamonangan P. Sidauruk mengatakan pihaknya akan mengajukan kasasi.
Sementara Penasihat hukum terdakwa Zainal Adym, Rudolf Ferdinand Purbo Siboro mengapresiasi vonis yang dijatuhkan hakim pada Kliennya. Rudolf melihat sejak awal kliennya tidak bersalah atas kasus yang dituduhkan.
“Ya yang pertama sudah ada putusan perdata yang menguatkan bahwa perkara ini adalah hutang piutang yang harus dibayar. Yang kedua Soebiantoro yang dimaksud oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara ini sangatlah berbeda dengan Soebiantoro yang membuat surat perjanjian utang dengan klien kami,” katanya selepas sidang vonis.
Karena tandas Rudolf, Soebiantoro yang meninggal di Jember tanggal 22 Januari 1989 tidak pernah meninggal disitu. Hal itu sambung Rudolf diperkuat dengan keterangan dua orang saksi dan lurah setempat di dalam persidangan.
“Di Dukuh Kupang, Surabaya pernah dikeluarkan surat kematian Soebiantoro meski tidak ada aslinya. Kalau surat kematian dikeluarkan di Dukuh Kupang, berarti dia (Soebiantoro) adalah warga Dukuh Kupang. Lantas siapa sebenarnya Soebiantoro ini,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, putusan bebas ini sebelumnya sempat bocor sebelum dibacakan. Hal itu diungkapkan Ketua Harian DPP Organisasi Masyarakat Komunitas Rakyat Anti Korupsi (Ormas KORAK) Efianto pada Jum’at (2/9/2022). KORAK pun akan melaporkan dugaan bocornya putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung, Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial maupun ke Komisi Pembntasan Korupsi (KPK).
Diketahui, dugaan pemalsuan surat ini bermula ketika terdakwa membuat surat pengakuan hutang atau pemakaian dana kopontren tanggal 17 Juli 1996 perihal perjanjian penggunaan dana kopontren Assyadziliyah dalam tempo satu tahun sampai tanggal 17 Juli 1997.
Dalam perjanjian itu, terdakwa menjaminkan SHBG No 221 dengan obyek tanah dan bangunan yang terletak di Jl Prapanca No 29 Surabaya yang ditandatangani oleh terdakwa sebagai yang menerima perjanjian, yang seolah-olah ditandatangani oleh Soebiantoro sebagai yang membuat perjanjian dan disetujui oleh K.H. Achmad Djaelani sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Assyadziliyah, padahal Soebiantoro telah meninggal sejak 22 Januari 1989.
Surat perjanjian itu selanjutnya digunakan oleh terdakwa untuk melakukan gugatan ke PN Surabaya dengan perkara No 211/Pdt.G/2016/PN.Sby tanggal 04 Maret 2016 dan berujung pada eksekusi. Objek tanah dan bangunan tersebut telah dijual oleh ahli waris Soebiantoro ke Ferry Widargo pada tahun 2005.
Mengetahui hal itu, Ferry Widargo memberikan kuasa ke Bambang Sumi Ikwanto untuk melaporkan masalah tersebut ke polisi. (Han)