Terganjal di MK Pemerhati Hukum Pastikan Abah Anton Tak Bisa Maju Pilkada 2024

  • Whatsapp
Pakar Hukum Dosen UB Dr Pridja Djatmiko SH

KOTA MALANG, beritalimacom | Pencalonan Moch Anton akrab disebut Abah Anton sebagai Bakal Calon Walikota Malang 2024, memicu banyak spekulasi publik, hal ini lantaran Anton pernah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi suap di tahun 2018.

Mengingat Mantan Walikota periode 2013 2018 ini, ditetapkan menjadi tersangka kasus suap untuk memuluskan pembahasan APBD-P Kota Malang tahun anggaran 2015, Kemudian Ia ditangkap KPK bersama 45 anggota DPRD Kota Malang yang terlibat, hal itu dinilai masih harus memenuhi sejumlah hal.

Bacaan Lainnya

Salah satunya terkait masa jeda selama 5 tahun yang harus dipenuhi oleh seorang mantan terpidana untuk bisa menggunakan hak politiknya dan maju dalam kontestasi Pilkada. Hal tersebut tertuang di dalam Putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019.

“Seharusnya dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang bisa mengambil peran. Yakni untuk menyampaikan ke publik bahwa pencalonan Abah Anton harus mengacu pada putusan 94/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Sby atau putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019,” ujar dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB), Dr. Prija Djatmika, SH MS kepada awak media Jumat.

Menurut Djatmika, bahwa kasus Korupsi Anton terdapat perbedaan antara kedua putusan, yakni berdasarkan putusan itu, Abah Anton dicabut hak politiknya 2 tahun. Selesainya (hukuman penjara) tahun 2020, berarti selesai 2022. Namun pada putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019, disebutkan bahwa mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Artinya, berdasarkan putusan MK, kalau terdakwa bebas tahun 2020, maka terdakwa bisa mencalonkan diri setidaknya pada tahun 2025. Kalau melihat ini, Abah Anton tidak bisa maju. Ini kan ada perbedaan antara putusan pengadilan dan putusan MK. Mana yang berlaku, tergantung bagaimana KPU melakukan penafsiran,” jelasnya.

Namun menurutnya, KPU seharusnya sudah tak perlu lagi memutar otak. Sebab jika dilihat dari asas hukum, Putusan MK memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang. Terlebih putusan tersebut berasas ‘erga imnes’, atau putusan yang mengikat semua pihak.

Oleh sebab itu, dirinya menilai, seharusnya yang berlaku adalah putusan MK, bukan putusan pengadilan negeri. Dan jika putusan MK yang berlaku, maka sudah jelas bagi terpidana yang belum memenuhi lima tahun setelah usai menjalani hukuman penjara, belum dapat berkontestasi di pilkada.

“Itu kalau merujuk pada putusan MK. Kalau putusan PN, ya bisa. Tp putusan MK mengatakan 5 tahun. Kalau pidana suap, di UU Tipikor itu di pasal 5 ayat 1, menyebutkan 1 sampai 5 tahun ancamannya. Berarti kan masuk,” terangnya.

Selain itu juga mengacu pada asas hukum, ‘lex superior derogate lex imperior’. Yang artinya yakni peraturan undang-undang yang lebih tinggi, mengalahkan peraturan di bawahnya. Yang kedua yakni asas ‘Lex posterior derogat legi priori’. Yakni undang-undang yang baru mengalahkan undang-undang yang lama.

“Dan sampai saat ini putusan MK (nomor 56/PUU-XVII/2019) ini belum dianulir oleh putusan lain, atau UU baru. Jadi kalau dari sudut sini, Abah Anton secara hukum belum bisa mencalonkan,” tutupnya.

Redaksi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait