JAKARTA, beritalima.com- Terkait ijin penangkaran yang tidak diperpanjang oleh BKSDA, Kristin alias Lauw Djin Ai pemilik CV Bintang Terang, Jember, Jawa Timur, mengadu ke anggota DPR RI.
Rombongan pengadu yang terdiri dari Kristin (pemilik), dengan didampingi Komjen (Purn) Oegroseno, Singky Soewadji, Saleh Mukadar, Sudarmaji dan Jimmy, diterima Komjen Pol (Purn) M Nurdin yang juga Ketua Poksi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Irjen Pol (Purn) Syafarudin, Ichsan Soelistio, I Wayan Sudirta dan Bambang DH.
Untuk diketahui, CV Bintang Terang yang berada di Desa Curah Kalong, Kecamatan Tanggul – Jember,
berdiri dengan Ijin penangkaran yang tidak dlindungi Undang Undang 7 Pebruari 2005 (bisa dan boleh diedarkan atau diperdagangkan).
Diantaranya indukan F2 dibeli resmi dari penangkaran anak burung tropicana, Bali.
Usaha ini, juga memiliki Ijin penangkaran yang dilindungi Undang Undang, 9 maret 2005.
Juga sudah memperpanjang Ijin penangkaran dilindungi undang undang generasi kedua (F2) 23 Desember 2010.
Namun ijin mati tahun 2015 tidak bisa diperpanjang karena pendataan dan administrasi hanya sampai tahun 2012.
Selama tiga tahun (2013 – 2015), tidak ada pendataan secara administrasi.
Ijin tangkar CV Bintang Terang, memang mati selama 3 tahun.
“Namun apapun alasannya, mutlak kesalahan ada di BBKSDA Jawa Timur yang lalai dan melakukan pembiaran” kata pemerhati satwa liar Singky Soewadji.
Alasan ada atau banyak burung yang tidak memiliki tanda (ring/tagging) tidak akan terjadi bila BBKSDA Jawa Timur melakukan pembinaan dengan benar.
“Karena setiap triwulan dan tahunan wajib di BAP, dan tidak bisa dilimpahkan kesalahan ini kepada penangkar.
Kesalahan tidak bisa dibebankan kepada penangkar selaku masyarakat mitra pemerintah,” jelas Singky yang didapuk menjadi koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).
Menurutnya lagi, kesalahan mutlak ada pada Kasi KSDA Wilayah 5 Banyuwangi, Kabid KSDA Wilayah 3 Jember, Kabid Teknik BBKSDA Jawa Timur dan Kepala BBKSDA Jawa Timur.
“Waktu terjadi penggrebekan 25 Mei 2018, tidak ditemukan pelaku maupun bukti perdagangam satwa ilegal, kecuali ijin tangkar yang kadaluwasa. Namun ijin edar masih betlaku hingga 27 September 2018.
Penangkar boleh tidak memperpanjang ijin dengan alasan ingin pensiun, cuci gudang karena ijin edar masih berlaku.
Masalah administrasi, tapi justru diarahkan ke pidana,” tandasnya.
Kemudian, lanjutnya, 14 September 2018, dalam jumpa pers bersama Kapolda Jatim, kepala BBKSDA Jatim menyatakan bahwa semua ijin CV Bintang Terang sudah kadaluwarsa. Padahal ijin edar saat itu masih berlaku hingga 27 September 2018.
Pada hari yang sama, ada 35 ekor burung dipindah ke Jatim Park dengan SATS-DN yang ditandatangani oleh pejabat P2 BBKSDA Jatim, 10 ekor ke BBKSDA Jatim dan beberapa ekor dibawa aparat/petugas.
“Bidang P2 dan Kepala BBKSDA Jatim bisa dipidanakan, dan termasuk penggelapan,” tuturnya.
Kemudian sejak Januari 2019, CV Bintang Terang kembali berusaha mengurus ijin penangkaran.
Namun hingga Oktober 2019, ijin belum keluar dan terkesan dihambat sejak awal. Karena dalam persidangan, sengaja diarahkan bahwa ijin mati adalah pidana.
“Kepala BBKSDA Jatim sejak awal sudah punya keinginan merampas semua burung hasil penangkaran CV Bintang Terang selama 15 tahun, yang jumlahnya sekitar 450 ekor saat itu.
Adanya kesaksian sesat dari saksi ahli yang dikirim oleh KKH dan intervensi jalannya sidang melalui surat yang ditanda tangani oleh Direktur KKH,” urainya.
Menurutnya lagi, Kepala BBKSDA Jatim dan Direktur KKH tidak melakukan pembenahan dan pembinaan.
Tapi justru memaksakan kehendak merampas sebuah burung yang belakangan diketahui ada LSM asing dibelakang kasus ini.
Lalu, adanya upaya sejak awal agar semua burung dirampas untuk dilepas liarkan, pada hal hingga putusan pengadilan tidak ada bukti bahwa burung di CV Bintang Terang adalah ilegal.
“Justru terbukti burung awal sebagai indukan dibeli resmi dari penangkaran resmi menggunakan SATS-DN dengan status F2.
Untuk itu, pihak terkait termasuk LSM yang dilibatkan dalam proyek pelepas liaran harus dimintai pertanggungjawaban, dan bila perlu dipidanakan,” tegasnya.
Dalam kasus ini, tambahnya, tiga opsi yang disampaikan oleh BBKSDA Jatim harus didalami motifnya.
Karena opsi yang digunakan, yakni dievaluasi untuk dilepasliarkan, akan sulit terealisasi karena burung berasal dari penangkaran, dibagikan ke Lembaga Konservasi, dmusnahkan (Euthanasia).
Opsi ketiga juga tidak mungkin dilaksanakan karena akan menimbulkan protes dan polemik.
“Hanya opsi kedua yang paling memungkinkan dan opsi pertama sebagai kedok dan proyek.
Ini modus perdagangam satwa yang didalangi oleh oknum aparat negara dengan dibalut peraturan dan undang-undang serta merampas hak dan milik masyarakat yang seharusnya diayomi dan dibina.
Tapi justru dibinasakan dan dipenjarakan,” pungkasnya. (Red).