Terkait Pernyataan dr Lois Owein, Sekjen APBI: Narasinya Provokatif dan Menyesatkan

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com- Heboh pernyataan dr. Lois Owein yang viral di media sosial dan menimbulkan kontoversi terkait Covid-19, mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, khususnya dari kalangan tenaga medis.

Salah satunya dari Abdur Rahman, Sekjen BPP Apoteker Praktik Bersama Indonesia (APBI).
Melalui laman youtube Almatura Channel yang diunggah pada 11 Juli 2017 dan sudah ditonton oleh hampir 500 viewer dengan judul ‘Tanggapan Atas Pandangan dr. Lois Owein yang Kontroversial dan Menyesatkan’ , Rahman memberikan tanggapan secara serius, detail, dan sistematis.

Menurutnya, tanggapan ini dilakukan untuk menghindari dampak serius di masyarakat akibat narasi dan pernyataan-pernyatan yang terkesan provokatif, menyimpang dan menyimpang.

“Ya, jika narasi dr. Lois ini ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang tidak memahami ilmu kedokteran dan kesehatan, akan menimbulkan distrust/ketidakpercayaan publik pada negara dan institusi pelayanan kesehatan di negara kita ini. Ini sangat berbahaya di tengah pemerintah sedang berjibaku secara serius menanggulangi pandemi Covid-19 ini,” ucap pria yang juga Sekretaris Laskar Nusantara Jawa Timur.

Untuk diketahui, dr. Lois telah diamankan oleh Polda Metro Jaya kemarin (12/07/2021). Terkait hal tersebut, Rahman menyatakan sangat memahami sikap dan tindakan aparat penegak hukum.

“Saya sangat memahami, tentu aparat penegak hukum telah memiliki alasan dan pertimbangan yang cukup atas penangkapan yang bersangkutan,” ujar Pembina Sanggar D’Kaconk Art & Studio Bangkalan ini.

Menyimak tanggapan Rahman dalam youtube diatas, dia menyimpulkan bahwa sebagian besar narasi yang dibangun dalam wawancara podcas dr. Lois tidak memenuhi kaidah-kaidah keilmuan bidang kesehatan dan kedokteran.

Menurutnya lagi, sedikitnya terdapat lima pokok pikiran yang menyimpang dan kontroversi. Pertama tidak menguasai terminologi kedokteran.

“Menyimak dari narasi yang dia bangun maka saya secara pribadi meragukan kedalaman wawasannya. Terutama wawasan bidang ilmu kedokteran yang dimiliki. Dia kurang mampu menjelaskan terminologi dasar dalam ilmu kedokteran secara baik dan benar. Salah satunya tentang konsep antiaging dan rekayasa genetika yang penjelasannya rancu dan cendrung menyimpang. Ternyata juga bahwa Ilmu terkait penundaan penuaan itu dia dapatkan bukan dari belajar secara resmi dan formal melalui institusi pendidikan tinggi yang terakreditasi melainkan melalui semacam kursus dengan menghadirkan nara sumber dari luar,” paparnya.

“Kedua, virus tidak ditemukan di dalam darah.
Pernyataan dr. Lois bahwa virus tidak akan ditemukan di dalam darah adalah tidak benar dan menyimpang dari kaidah ilmu kedokteran. Kita tahu bahwa mikroorganisme termasuk virus akan dapat terdeteksi di dalam cairan tubuh, seperti mukosa hidung, droplet, saliva dan juga darah. Rapid test yang dipersoalkan oleh dr. Lois sebenarnya memiliki cara kerja yang dapat dipertanggung jawabkan secara saintifik. Dalam alat ini terdapat antigen untuk mendeteksi munculnya antibodi di tubuh pasien. Jika pernah terpapar virus, maka akan terjadi pertemuan antara antibodi dalam darah pasien dengan antigen yang sudah ada dalam alat tes ini. Jika memang ada atau pernah terpapar virus, maka hasilnya akan positif. Rapid test ini merupakan pemeriksaan pendahuluan untuk tujuan screening dengan tingkat akurasi 90-97 % dan harus dikuatkan dengan pemeriksaan lanjutan berupa swab antigen dan/ atau swab PCR,” tandasnya.

“Ketiga, diagnosa hanya tergantung pada anamnesia.
Pernyataan dr. Lois yang menafikkan hasil pemeriksaan laboratorium dan mengutamakan anamnesia dalam penegakaan diagnose adalah menyimpang dari kaidah dan prosedur tetap pemeriksaan pasien. Kita tahu bahwa informasi tentang penyakit yang diperoleh dari hasil komunikasi/Tanya jawab dengan pasien (anamnesia) adalah subyektif sehingga masih diperlukan informasi informasi yang lebih objektif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Oleh sebab itu hasil pemeriksaan laboratorium ini merupakan informasi penting dan utama setelah anamnesis dalam penegakan diagnosa, sekaligus dalam menentukan obat terpilih (Drug Of Choice) yang akan diberikan pada pasien itu. Jadi hasil pemeriksaan laboratorium itu adalah merupakan keniscayaan scientific yang perlu digali dalam rangka menjamin penegakan diagnosa penyakit yang benar dan valid,” ungkapnya.

“Keempat, plandemi vs pandemi. Untuk persoalan ini saya sungguh tidak bisa berkomentar, tapi saya berpikir positif dan berkeyakinan bahwa tidak ada plandemi atau pandemi yang direkayasa dalam konteks pandemic Covid-19 yang ada di Indonesia. Secara pribadi, saya sangat percaya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi beserta para menterinya, Gubernur, Bupati/walikota, para anggota DPR pusat hingga daerah. Mereka telah bekerja dengan sungguh-sungguh dalam penanganan dan penanggulangan pandemi ini bahwa masih ada beberapa kepentingan-kepentingan dari pihak tertentu seperti kepentingan bisnis obat dan vaksin, tentu pemerintah harus hadir untuk segera mengatasinya,” lanjutnya.

“Kelima, kematian di RS karena interaksi obat.
Pernyataan ini yang sangat fatal. Lois mengatakan bahwa kematian di rumah sakit bukan kematian akibat virus melainkan kematian akibat interaksi obat dengan menggambarkan bahwa setiap dokter spesialis memberikan obat sendiri sendiri sesuai spesialisasinya. Pernyataan ini membuktikan bahwa yang bersangkutan yang tidak update atas perkembangan ilmu pengobtan modern. Saya sangat menentang pernyataan ini. Jika ada pasien dengan penyakit komplikasi, maka para dokter spesialis terkait kumpul bersama lalu diteliti akar persoalan dan sumber utama penyakit pasien tersebut untuk menetukan obat yang tepat dengan efek samping dan kemungkinan interaksi obat yang telah dipertimbangkan sehingga tujuan terapi dapat tercapai. Saya yakin bahwa pemberian obat di rumah sakit itu sudah on the track.” paparnya.

“Keenam, vaksin tidak perlu. Pernyataan dr. Lois bahwa vaksin tidak perlu adalah pernyataan ngawur. Kita tahu bahwa pemberian vaksin bertujuan untuk mencapai herd immunity atau imunitas komunal. Keadaan ini dicapai apabila 70% penduduk sudah kebal terhadap virus tertentu dalam hal ini virus Corona. Perlu dipahami bersama bahwa imunitas ini tidak hanya dicapai oleh pemberian vaksin tetapi juga diperoleh setelah seseorang menjadi penyintas Covid-19. Artinya pernah terpapar dan sembuh. Jadi dalam hal ini saya sepakat dengan Ibu Siti Fadilah Supari, bahwa perlu ada dapur khusus di Kementrian Kesehatan yang bertugas menggali dan mengolah data secara komprehensif dalam rangka percepatan pencapaian imunitas komunal ini. Perlu digali dengan benar berapa jumlah warga yang telah divaksin, jumlah warga yang memperoleh kekebalan alami karena menjadi penyintas covid-19 dan berapa banyak yang belum di-vaksin dan belum jelas statusnya. Untuk kelompok warga yang belum jelas statusnya ini perlu dilakukan skrining melalui tracing yang masif di tingkat pemerintahan yang paling bawah, yakni Desa/kelurahan bahkan RT/RW. Hasilnya, bagi mereka yang positif, maka pilihannya adalah Isolasi Mandiri dan/atau karantina tergantung penilaian dokter atau nakes yang memeriksanya. Bagi mereka yang hasil tracingnya negative, maka langsung disuntik vaksin jika keadaannya memungkinkan tanpa adanya penyakit co-morbid. Jadi Herd Imunity tercapai manakala jumlah penduduk yang sudah divaksin ditambah dengan jumlah penduduk yang kebal secara alamiah karena menjadi penyintas sudah mencapai 70 % dari seluruh penduduk.” jelasnya.

Lebih lanjut, pemilik Apotek Jaringan di beberapa daerah di Jawa Timur ini memaparkan, bahwa data dan informasi yang dibutuhkan dalam pencapaian Imunitas komunal ini benar-benar harus disiapkan dan dihitung dengan benar sebagai landasan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang benar pula.

“Dengan informasi data yang shahih, diharapkan kebijakan dan keputusan yang diterbitkan dalam penanganan pandemi ini benar-benar komprehensif, terarah, sistemik dan berdampak secara nasional,” pungkasnya. (Man/editor: Dibyo).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait