JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Komite I DPD RI, Dr Agustin Teras Narang mengatakan, Komite I DPD RI memahami pandemi wabah virus Corona (Covid-19) merupakan bencana dunia yang sudah merengut puluhan ribu jiwa termasuk ratusan di Indonesia.
Karena itu, jelas politisi senior kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 12 Oktober 1955 tersebut dalam keterangan pers yang diterima awak media dari Biro Humas dan Pemberitaan DPD RI, Kamis (23/4), perlu penanganan serius dan masif untuk mengatasinya sehingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No: 1/2020 untuk menanganinya.
Dilihat dari substansinya, materi yang diatur dalam Perppu No: 1/2020 itu, mengandung tiga hal sekaligus, yaitu penanganan pandemi Covid-19, kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan negara. Namun, pada sisi lain yang perlu dilihat adalah hakikat keuangan negara adalah kedaulatan rakyat.
“Rakyat merupakan pemilik dari setiap rupiah dari anggaran negara. Karena itu, rakyat perlu mengetahui serta menyetujui terhadap sumber pendapatan dan pengalokasian anggaran. Dalam sistem negara demokrasi, persetujuan ini dilakukan melalui wakil rakyat yang ada di DPR/DPD sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 23 UUD ndang-Undang1945,” kata Teras.
Hal ini menjadi concern DPD RI, karena khawatir Perppu ini bertentangan dengan sendi-sendi konstitusionalitas dari apa yang telah diatur UUD, terutama apa yang telah diatur dalam Bab I (Ruang Lingkup) dan Bab II (Kebijakan Keuangan Negara) dalam Perppu No: 1/2020.
Secara spesifik, Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu No: 1/2020 mengatur tentang pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sampai 2022.
Hal ini bertentangan dengan makna periodisasi pembahasan dan penetapan UU APBN sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, dengan dasar pemikiran: Pertama, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 Perppu No: 1/2020 tidak menentukan batas maksimal prosentase Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga membuka peluang bagi Pemerintah menentukan prosentase PDB terhadap defisit anggaran tanpa batasan. Dan, ini dapat berimplikasi kepada membesarnya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah rasio utang (baik dalam/luar negeri);
Kedua, PDB tanpa batas maksimal ini berlaku sampai Tahun Anggaran 2022. Itu artinya, ketentuan ini mengikat tiga UU APBN sekaligus (UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022). Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan APBN ditetapkan setiap tahun.
Sebagaimana diketahui, UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun menjadi kehilangan makna, manakala selisih antara pendapatan dan belanja dibuat terbuka tanpa batas maksimal dan menjangkau 2 (dua) masa penetapan APBN sekaligus.
Komite I DPD RI berpendapat, dalam upaya pananganan Pandemi Covid-19, tidak perlu merubah rezim kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan melalui APBN. Dalam rezim keuangan negara telah disediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan cara tetap memperhatikan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, dalam hal menetukan kebijakan anggaran/keuangan negara, yaitu:
Pertama, melalui skema APBN, dimana jika terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d UU Keuangan Negara, Pemerintah dapat melakukan Perubahan UU APBN dalam tahun berjalan dengan meminta persetujuan DPR.
Kedua, dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan belanja (pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN dalam periode yang sedang berjalan.
Belanja dalam keadaan darurat ini dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara (dalam hal ini misalnya darurat kesehatan akibat Covid 19). Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran. (akhir)