JAKARTA – Dunia kecantikan dan fashion seyogianya harus sejalan dengan etika dan adab, baik etika kepada manusia, lingkungan, atau bahkan Allah SWT.
Skincare atau perawatan kulit wajah boleh dilakukan asal tidak menabrak batasan syariat, lantas bagaimana jika air mani laki-laki (sperma) dijadikan skincare?
Dunia medis memang mengenal bahwa kandungan sperma terdapat sebuah senyawa yang dinamakan crystalline polymine yang disebut spermine.
Senyawa yang dikenal sebagai antioksidan ini dipercaya dapat menghilangkan kerutan dan menghaluskan kulit wajah.
Tak heran jika para produsen skincare atau kosmetik kecantikan global berlomba-lomba memproduksi produk sikncare-nya dengan mensitentiskan sperma.
Namun demikian, umat Islam perlu berhati-hati dalam memaknai manfaat dan juga kesuciannya. Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd dijelaskan, para ulama fikih saling berselisih pendapat soal sperma tentang kadar najisnya atau tidak.
Menurut sebagian ulama, termasuk Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, hukum sperma adalah najis. Sedangkan menurut sebagian yang lain, termasuk Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, hukum sperma adalah suci. Setidaknya terdapat dua hal yang menimbulkan perbedaan tersebut.
Pertama, kerancuan riwayat hadits Aisyah. Disebutkan Aisyah:
كُنْتُ أَغْسِلُ الجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ ، وَإِنَّ بُقَعَ المَاءِ فِي ثَوْبِهِ
“Kuntu aghsilul jibanata min tsaubin Nabiyyi SAW fayakhruju ila as-sholati wa inna buqaál mai fi tsubihi.”
“Aku mencuci pakaian Rasulullah SAW sebab mandi besar, lalu beliau memakainya untuk sholat, padahal masih ada sisa air.”
Sedangkan dalam riwayat lainnya disebutkan:
لقد كنت أفركه من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فركاً فيُصلي فيه
“Aku menggosok pakaian Rasulullah SAW….” dan dalam riwayat lainnya: “Kemudian beliau sholat dengan memakai pakaian itu.”
Hadits tentang perintah membasuh ini disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim. Adapun hadits tentang perintah menggosok diriwayatkan jamaah, kecuali Imam Bukhari.
Adapun alasan kedua, adalah ketidakjelasan status sperma. Yakni apakah sperma disamakan dengan benda-benda lain yang keluar dari tubuh manusia, atau disamakan dengan cairan-cairan suci yang keluar daripadanya (seperti keringat, susu, dan lainnya). Para ulama yang berupaya mengkrompomikan semua hadits tersebut menyatakan bahwa tujuan mencuci ialah kebersihan.
Mereka berdalih bahwa yang digosok adalah benda yang suci. Karena upaya menggosok tidak mungkin dapat menyucikan sesuatu yang najis. Mereka menganalogikan sperma dengan cairan-cairan suci yang keluar dari tubuh. Berdasarkan hal itu, maka menurut mereka sperma tidaklah najis.
Sementara para ulama yang lebih mengunggulkan hadits pertama daripada hadits kedua yang berarti bahwa dicuci di manapun, yang digosok tetaplah najis kadarnya. Maka para ulama di bagian ini mengatakan bahwa hukum sperma adalah najis.
Kesimpulan yang sama juga dikemukakan para ulama yang yajin jika gosokan dapat menghilangkan najis. Artinya, bahwa yang dilakukan Aisyah adalah mencuci dan menggosok sesuatu yang najis, yakni sperma. Berdasarkan hal ini, maka hujjah yang mengacu pada hadits kalau melaksanakan shalat dengan menggunakan pakaian seperti itu maka shalatnya tidak diterima.
Maka jika sperma dijadikan salah satu bahan dasar alat kosmetik ataupun skincare, maka hal itu haram. Sebab dalam prinsip halal sendiri, umat Islam mengenal istilah hanya mengambil hal-hal yang tidak haram, tidak menyakiti lingkungan, dan tidak menjijikkan.
Kadar sperma masih diperdebatkan statusnya. Bahkan mayoritas ulama sudah mengatakan bahwa sperma bukanlah hal yang suci, artinya memasukkan sperma menjadi salah satu bahan baku skincare sangatlah hina.
Apalagi, salah satu tujuan laki-laki mengeluarkan sperma dalam Islam adalah untuk menuntaskan birahi dengan cara yang halal, bukan untuk diproduksi dan dikolektifkan demi kebutuhan industrial.