Oleh:
Rudi S Kamri
Beberapa hari ini kembali saya terhenyak dengan langkah kuda Presiden Jokowi. Kali ini langkah kudanya tak jelas arah. Ceritanya beliau berniat akan segera merealisasikan pembangunan terowongan antara masjid Istiqlal dengan gereja Katedral. Ide orisinal terowongan tersebut sejatinya bukan dari Presiden Jokowi, melainkan merupakan ide Bung Karno beberapa puluh tahun yang lalu.
Ada pernyataan yang mengganjal di benak saya. Apa manfaat keberadaan terowongan itu ? Mengingat jarak antara masjid Istiqlal dengan gereja Katedral saling bersebelahan hanya dipisahkan jalan selebar 8 – 10 meter. Presiden Jokowi mengatakan terowongan bawah tanah ini adalah simbol toleransi. Benarkah ?
Jujur saya sangat menyangsikan. Bagi saya toleransi tidak cukup hanya dikiaskan dengan sebentuk terowongan. Sejatinya toleransi tidak membutuhkan simbol apapun, tapi memerlukan tindakan nyata yang tegas dari Pemimpin Negara untuk menutup ruang intoleransi berkembang biak di negeri ini.
Buat apa dibuat terowongan toleransi yang menghabiskan uang negara ratusan miliar, tapi gereja di Tanjung Balai Kabupaten Karimun Kepulauan Riau tetap tidak boleh berdiri dan melakukan pelayanan rohani kepada umat kristiani ? Buat apa di buat terowongan toleransi yang megah penuh ornamen bisu, tapi sampai detik ini gereja di Yasmin Bogor tidak kunjung bisa berdiri ? Buat apa ada terowongan toleransi berwarna-warni, kalau pelaku perusakan Pura di Banyuwangi tidak diproses hukum sebagaimana mestinya ?
Presiden seharusnya berhenti melakukan pencitraan dengan cara membangun sesuatu bangunan yang berpotensi minim manfaat tapi menghabiskan anggaran negara. Seharusnya Presiden Jokowi mulai tegas bersikap terhadap banyaknya kasus intoleransi yang beterbaran di seluruh pelosok negeri. Intoleransi dan radikalisme tidak bisa diselesaikan hanya dengan bangunan- bangunan simbolik bisu. Tapi diperlukan ketegasan dan aksi nyata Pemimpin Negara untuk memberangus tumpas sampai ke titik nol.
Yang saat ini sangat urgent dibangun oleh Presiden adalah terowongan nurani manusia Indonesia agar mau bersambut dan bersambung menerima perbedaan. Hal itu bisa dilakukan dengan pembumian nilai-nilai Pancasila melalui program nyata yang sesuai perkembangan zaman. Namun nyatanya sampai saat ini program itu tak kunjung ada. Revisi dan revitalisasi program revolusi mental juga tak kunjung jelas arahnya. Alih-alih melakukan percepatan program pembangunan manusia Indonesia yang Pancasilais, yang ada justru malah akan membangun terowongan. Buat apa Pak Presiden ?
Saat suasana kebatinan masyarakat waras Indonesia masih terluka dan kecewa dengan wacana pemulangan ex WNI anggota ISIS dan keberadaan Menteri Agama yang tanpa guna, sekarang rakyat dipaksa menerima pembangunan terowongan yang tidak jelas manfaatnya. Duuuh…..
Lelah batin ini menemukan konsep penanganan intoleransi ternyata hanya masih sebatas ilusi, Pak Presiden !!!
Salam SATU Indonesia
09022020