JAKARTA, beritalima.com| Sejumlah anggota Komisi III DPR RI mempertanyakan konflik internal yang belakangan terjadi di penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertanyaan itu mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan Pimpinan KPK di Ruang Rapat Komisi III DPR RI Gedung Nusantara II Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (1/7).
“Gejolak seperti apa yang terjadi di internal penyedik KPK sehingga diberitakan sejumlah media massa. Seperti ada konflik yang begitu tajam antara penyidik dari kepolisian dengan penyidik internal,” kata anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil.
Kami berharap, jelas politisi senior Partai Keadilan Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, KPK memberi penjelasan yang terang benderang kepada Komisi III DPR RI. “Bagaimana upaya yang sudah dilakukan KPK dalam konsolidasi internal itu,” tanya wakil rakyat dari Dapil Provinsi Aceh itu.
Karena itu, Nasir meminta gejolak internal di institusi KPK itu perlu segera diselesaikan. Setidaknya, KPK perlu meluruskan isu sensitif tersebut kepada masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah konsolidasi internal jadi kebutuhan KPK jelang mengakhiri masa jabatannya.
Dia juga menyinggung soal beberapa kasus yang tersangkanya begitu lama tidak diproses oleh KPK. Ini menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM), sampai berapa lama status tersangka terus tergantung. Dia menyebut contoh mantan kepala daerah di Aceh sudah 3,5 tahun jadi tersangka. Tapi, hingga kini belum juga diajukan ke pengadilan.
Sementara itu Arteria Dahlan mempertanyakan rotasi pegawai di KPK, salah satunya soal penyelidik menjadi penyidik. Untuk mengalihkan penyelidik menjadi penyidik dibutuhkan proses seleksi ketat, karena sangat jelas penyidik di KPK berasal dari Polri. Untuk mengalihkan status penyelidik menjadi penyidik tidak tepat lewat istrumen rotasi pegawai.
Dijelaskan, menjadi penyidik butuh seleksi sendiri. Tidak bisa begitu saja penyelidik diangkat menjadi penyidik. “Pasal 1 ayat (4) PP KPK menyebut, rotasi itu dilakukan untuk perpindahan pegawai dengan penekanan pada fungsi yang sama. Jadi perpindahan penyelidik menjadi penyidik tidak tepat kalau dilakukan melalui instrument rotasi.”
Penyelidik, sambung Arteria, yang akan dijadikan penyidik berarti instrumennya adalah alih tugas, bukan rotasi. Menjadi penyidik di KPK ada tingkatan eselon dan besaran gaji yang harus dibayar.
Untuk itu, KPK wajib menggelar seleksi untuk merekrut penyidik walau dari internal pegawainya sendiri. Tidak bisa seseorang diangkat dari penyelidik menjadi penyidik tanpa seleksi. Untuk mutasi juga harus ada usulan dan seleksi.
“Bila tidak ada seleksi, itu melanggar Peraturan Pimpinan KPK. Hasilnya juga tidak sah. Apalagi defenisi penyidik dan penyelidik sudah beda. KPK mengangkat penyidik harus penyidik Polri, bukan yang lain,” papar Arteria.
Menanggapi anggota Komisi III, Ketua KPK Agus Raharjo tidak merinci jawabannya secara jelas, apakah benar ada gejolak internal di KPK. Dia hanya menjawab, para penyidik yang bekerja di KPK masih terikat dengan institusi asalnya.
Status penyidik tidak berhenti sementara dari institusi asalnya saat menjadi penyidik KPK. “Monoloyalitas sulit diwujudkan. Mereka tidak berhenti sementara. Dalam tugas sehari-seharinya, bisa terjadi disharmoni,” jawab Agus.
Terhadap kasus yang mangkrak, menurut Agus karena belum menemukan angka kerugian negara yang pasti. Hal yang sama terjadi pada mantan Dirut Pelindo II RJ Lino yang hingga kini masih berstatus tersangka. Agus menjelaskan, untuk hal ini KPK sudah berkonsultasi dengan BPK.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, dalam UU KPK jelas, lembaga iniboleh mengangkat penyelidik dan penyidik. Untuk mengangkat penyidik dari pegawai internal KPK, sudah dibuat tatacara pengangkatan yang diatur dalam peraturan KPK dan Peraturan Pimpinan KPK. [akhir]