JAKARTA, Beritalima.com– Undang-Undang (UU) No: 2/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), menghadapi ancaman membahayakan perekonomian Nasional serta Stabilitas Sistem Keuangan dapat dianggap tidak berpihak kepada desa atau dapat juga disebut UU Anti Desa.
Soalnya, ada dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk desa (dana desa-red), penggunaannya tidak menaati asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan dan pengambilan keputusan berskala lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.
Anggaran APBN untuk desa itu oleh Pemerintah Pusat, kata politisi senior Akhmad Muqowam kepada Beritalima.com di Jakarta akhir pekan ini, dialokasikan untuk Penanganan Penanggulangan Cuvid-19, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Padat Karya walau progra, itu ditempatkan di Desa.
Padahal, jelas mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) ini, anggaran itu digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan desa, sebagaimana amanat Pasal 72 UU Desa.
Terjadinya pelanggaran asas subsidiaritas, lanjut Ketua Komisi V DPR RI 2004-2009 tersebut, mengakibatkan Pemerintah Desa tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus kewenangan berskala desa dalam hal Dana Desa.
“Ini jelas sendi yang membahayakan bagi peran masyarakat, demokrasi, kemerdekaan atau kemandirian desa dalam mensejahterakan masyarakat dan ini tentu saja membahayakan masa depan desa dan masyarakatnya,” ungkap Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Desa DPD RI tersebut.
Dikatakan, pasal 28 angka 8 UU No: 2/2020 berbunyi: Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ini mulai berlaku, pasal 72 ayat (2) beserta penjelasan UU No: 6/20l4 tentang Desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini.
Dari nukilan itu, Muqowam menarik satu kesimpulan, sejak berlakunya UU No: 2/2020, pasal 72 ayat (2) UU Desa sudah dinyatakan tidak berlaku, atau sudah tidak ada lagi pasal dan ayat tersebut.
“Saya sangat setuju terhadap penanganan penyebaran Covid-19 dan kalimat seterusnya dalam akhir Pasal 28 UU No: 2/2020, tetapi tidak dengan menyatakan tidak berlaku pasal 72 ayat (2), sebab dari aspek legislatif, hubungan antara ‘dinyatakan tidak berlaku’ dengan kata ‘sepanjang dst…’ tersebut tidak dalam substansi hukum yang seimbang.
Artinya, lanjut Muqowam, subtansi dalam kata “sepanjang dst”, sebenarnya dapat diatur melalui peraturan perundangan dibawah UU, dengan tanpa merubah Ayat (2) dari Pasal 72 UU Desa, beserta penjelasannya UU Desa.
Mantan Wakil Ketua DPD RI itu juga beranggapan, kemarahan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet beberapa waktu lalu, bisa jadi karena menteri terkait yang menangani Dana Desa sengaja tidak menjelaskan kepada Presiden, sehingga Perpu 1 Tahun 2020 yang kemudian disetujui DPR RI dan selanjutnya diundangkan Pemerintah melalui UU No: 2/2020, proses dan substansinya tidak disampaikan kepada Presiden.
“Hal tersebut mungkin disengaja untuk menjadikannya sebagai jebakan batman…, yang menghadapkan Presiden dengan rakyatnya yang sebagian besar bermukim di desa.., wallahu a’lam…,” demikian Akhmad Muqowam. (akhir)