SURABAYA, beritalima.com | Kondisi transportasi laut atau angkutan penyeberangan di masa pandemi Covit-19 kian terpuruk. Hal ini diungkapkan managemen perusahaan pelayaran PT Dharma Lautan Utama (DLU)
Owner PT DLU, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan, sebagai insfratruktur atau jembatan yang menghubungkan antar pulau, moda transportasi laut dipastikan akan terus beroperasi, meskipun terus merugi.
“Angkutan laut atau kapal penyeberangan ini sama halnya infrastruktur. Karena itu, tidak boleh berhenti, harus tetap jalan. Kalaupun ada gangguan, ya penggangunya yang dihilangkan, bukan jalannya,” ucap Bambang, Rabu (20/5/2020) sore.
Bambang yang juga sebagai Ketua Transportasi Jatim ini melanjutkan, agar moda transportasi laut ini tidak stagnan atau berhenti total, pemerintah perlu memberikan perhatian.
“Sebagai infrastruktur vital, moda transpotasi laut ini sangat membutuhkan perhatian atau suport pemerintah, baik berupa Subsidi BBM maupun relaksasi,” tandas Bambang.
Direktur Utama PT DLU, Erwin H Poedjono, memgakui kondisi penyeberangan saat ini makin parah. Efek adanya pandemi ini pihak mengalami penurunan hingga 40 persen.
“Seharusnya ada relaksasi yang diberikan pemerintah melalui beberapa kebijakan yang bisa meringankan beban operasional angkutan penyeberangan,” kata Erwin.
Sebelum pandemi, kata Erwin, beban operasional angkutan penyeberangan sudah cukup berat. Di antaranya karena bahan bakar masih mematok harga selangit.
Padahal, lanjut dia, dengan anjloknya harga minyak dunia seharusnya diikuti suplai bahan bakar dengan harga yang disesuaikan.
“Harusnya harga BBM juga turun. Tapi ternyata tidak. Karena, kebutuhan kami adalah bahan bakar industri, bukan bahan bakar konsumsi, khususnya solar,” tandas Erwin.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), Khoiri Sutomo, beban berat angkutan penyeberangan bukan hanya soal bahan bakarnya saja, tapi juga penyesuaian tarif yang dinilai masih sangat rendah.
Sudah tiga tahun ini tarif kapal laut belum juga naik. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah mengerti pada industri pelayaran yang merupakan aset negara ini. “Setidaknya ada transfusi untuk membuat kami sedikit bernapas,” ujar Khoiri serius.
Khoiri menandaskan, relaksasi di sektor industri seharusnya juga menyasar perusahaan pelayaran, utamanya moda transportasi laut angkutan penyeberangan. Namun realisasinya, peruntukan relaksasi tersebut masih terfokus pada industri manufaktur dan pariwisata.
“Padahal, akibat wabah Covid-19 ini industri transportasi paling terdampak, terlebih transportasi laut, sehingga terjadi pengurangan antara 30-40 persen,” ungkap Khoiri.
Khoiri juga mengungkapkan beberapa ganjalan lain pada perusahaan pelayaran dalam pengembangan operasional kapal. Di antarnya dia sebutkan, tingginya biaya pelabuhan yang seharusnya diturunkan.
Selain itu, perlunya penghapusan biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP), termasuk di antaranya tax holiday yang semestinya dibebaskan dari pajak.
Diungkapkan, pajak yang dikenakan pada perusahaan pelayaran adalah pajak final. Pajak ini dihitung dari pendapatan, bukan dari keuntungan. Sehingga, ketika perusahaan merugi tetap dikenakan pajak tersebut. (Ganefo)
Ki-ka: Owner PT DLU, Bambang Haryo Soekartono, Dirut PT DLU, Erwin H Poedjono, dan Ketum Gapasdap, Khoiri Sutomo, mengungkap beban berat transpotasi laut dan tidak adanya kepedulian pemerintah.