Tidak Punya Pengalaman Birokrat, Max Tanggapi Sinis Duet AHY-Airlangga

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kubu Partai Demokrat Jalan Proklamasi mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dipasangkan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto maju sebagai calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) 2024, layaknya duet Susilo Bambang Yudhoyonos-Jusuf Kalla pada Pilpres 2004.

Komisi II DPR RI dalam Rapat Kerja dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa hari lalu sudah sepakat, Pilpres mendatang digelar Pebruari 2024. Namun, keputusan akhir mengenai pelaksanaan Pilpres itu diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Para pendukung Ketua Umum Partai Demokrat hasil kongres di Jakarta Convention Centre (JCC) atau Balai Sidang Jakarta, 2020 didorong ambisi karena mereka beranggapan AHY bakal mendapat dukungan dari sang ayah, SBY.

Politisi senior sekaligus salah satu deklarator Partai Demokrat yang ikut mengantar SBY presiden pertama pilihan rakyat untuk dua periode, Max Sopacua menanggapi sinis menduetkan AHY dengan Airlangga.

“Sayang tidak ada orang yang mampu melihat dan berpikir dengan jernih serta membandingkan duet SBY-JK 2004 dengan AHY-Airlangga untuk Pilpres mendatang. Beda kwalitas,” ungkap Max dalam keterangan pers yang disampaikan kepada Beritalima.com, Rabu (9/6) pagi.

Kala itu, baik SBY maupun JK adalah anggota Kabinet Gotong Royong pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. SBY dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam), sedangkan JK
diberi kepercayaan sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Airlangga selain Ketua Umum Partai Golkar, kata Max, juga seorang birokrat. Sebelumnya, Airlangga merupakan Ketua Komisi VI DPR RI yang membidangi Perdagangan dan Perindustrian. Sebelum diberi kepercayaan masuk dalam kabinet pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Airlangga sudah beberapa kali menjadi wakil rakyat dari Dapil V Provinsi Jawa Barat.

Pada periode pertama Pemerintahan Jokowi, Airlangga dipercaya sebagai Menteri Perindustrian. Dan, pada periode kedua Pemerintahan Jokowi, jabatan Airlangga naik menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. “Jadi, complang kalau AHY disandingkan dengan Airlangga maupun kandidat lain seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno maupun Puan Maharani,” kata Max.

Anies yang saat ini menjadi Gubernur DKI Jakarta, sebelumnya juga menjadi anggota Kabinet Kerja pimpinan Jokowi. Dia dipercaya mengurus pendidikan nasional, pemuda dan olahraga. Sandiaga Uno selain menjadi pasangan Prabowo pada Pilpres 2019, saat ini juga mendapat kepercayaan dari Jokowi sebagai Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif.

Demikian pula halnya dengan Puan Maharani, calon presiden dari PDIP. Sebelum menjadi Ketua DPR RI, Puan juga anggota Kabinet Kerja pimpinan Jokowi. Bahkan sebelum masuk kabinet Jokowi, Puan sudah malang melintang di Parlemen.

Sementara itu, AHY cuma berpengalaman sebagai anggota TNI AD. Dan, itu pun dia minta pensiun dini dalam posisi sebagai perwira menengah karena ingin maju pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. AHY yang berpasangan dengan Prof Dr Sylviana Murnia (sekarang Pimpinan Komite DPD RI) sudah kalah bersaing pada putaran pertama melawan duet Anis-Sandi dan Ahok-Syaiful Hidayat.

“Selain pernah menjadi perwira menengah, AHY tidak punya pengalaman di birokrat. Memimpin partai juga baru setelah dia secara aklamasi terpilih dalam Kongres Partai Demokrat di JCC awal tahun lalu. Jadi, tidak sebandinglah pengalaman AHY dengan kandidat lain yang digadang-gadang bakal maju pada Pilpres 2024,” kata Max.

Politisi kelahiran Ambon 2 Maret 1946 tersebut malah mempertanyakan hasil survei yang menempatkan AHY pada posisi kedua setelah Prabowo Subianto. “Saya tidak mengerti bagaimana cara surveinya. Masak iya calon-calon yang mencer posisinya dibawah AHY dalam survei. Apa tidak keliru,” jelas Max dengan nada bertanya.

Malah Max mengatakan, saat ini AHY kalau ditelusuri memang sepertinya kerja utama AHY sebagai petugas partai. Apalagi Syahrial Nasution sebagai Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Partai Demokrat versi Proklamasi tanpa refrensi menyerang Achmad Qodari dengan istilah periuk nasi retak.

Itu istilah sangat konyol bagi seorang politisi dan intelektual. Namun, itu dilakukan hanya karena harus berperan sebagai penjilat, opini orang dianggap rusak.

“Saya mau nanya, siapa orang yang meragukan kredibilitas Qodari dengan Indo barometernya. Sejak 2003 dia sudah malang melintang dalam survei. Dan, SBY juga sangat memberi perhatian terhadap Qodari dengan Indo Barometernya. Dan, saya yakin 1000 persen 2002-2003 Syahrial belum mimpi masuk Demokrat. Saran saya, kalau mau kritik orang seperti Qodari, pakailah refrensi. Tidak asal cuap,” demikian Max Sopacua. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait