Tidak Terapkan Tiga Instrumen, Matnoer: PPKM Darurat Terindikasi Gagal

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Guna menekan lonjakan pandemi virus Corona (Covid-19) yang dipicu merebaknya vaian Delta dari India, Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Pulau Jawa dan Bali, 3-20 Juli.

 

Namun, setelah sepekan berjalan, kebijakan PPKM Darurat dinilai partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia tidak efektif meredam Covid-19 varian Delta karena Pemerintah tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan.

 

Terbukti, masih banyak dijumpai perusahaan sektor non esensial dan kritikal yang tidak mematuhi PPKM Darurat, memaksa pekerjanya bekerja di kantor, bukan dari rumah, disamping tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih rendah.

 

“Pemberlakuan PPKM Darurat terindikasi gagal redam lonjakan Covid-19 varian Delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan instrumen kekuasaan,” kata Ketua bidang Kebijakan Publik partai Gelora Indonesia, Achmad Nur Hidayat (Matnoer) di Jakarta pekan ini.

Tiga instumen kekuasaan yang dimaksud Matnoer adalah instrumen law enforcement (penegakan hukum), keuangan, leadership (kepemimpinan).

Indikasi PPKM Darurat gagal, karena PPKM Darurat belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020, malahan sebaliknya terjadi lonjakan kasus aktif dan laju kematian.

 

Data Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 di Indonesia hingga Rabu (7/7) 2.379.397 sejak ditemukan pandemi Covid di Indonesia, Maret lalu. Ada penambahan 34.379 kasus baru Covid-19 yang merupakan rekor terbaru.

 

Hal itu mendekati prediksi Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang menyebut kasus harian bisa mencapai 40.000 per hari.

Sedangkan pasien Corona yang dinyatakan sembuh hingga saat ini 1.973.388 orang dan yang meninggal dunia 62.908 orang.

 

“PPKM Darurat berjalan sejak 3 Juli tapi belum mampu menghentikan laju kematian dan laju kasus aktif Covid-19.  Laju kesembuhan belum juga menunjukan level normal sebelum PPKM darurat,” kata dia.

Matnoer menilai, PPKM Darurat Jawa Bali tak disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement).

“Di lapangan banyak perusahaan non esensial dan non kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk kantor. Perusahaan itu tidak mendapatkan hukuman,” kata Matnoer.

Melihat lemahnya penegakan hukum dalam PPKM Darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat.

“Penunjukan Luhut tak dilandasi perencanaan matang. Akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement.”
Terkait instrumen keuangan, Matnoer juga melihat tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini dalam dukungan anggaran.

“Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan Rp 225,4 triliun. Namun, implementasinya butuh waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh pula waktu 1 bulan untuk implementasi lapangannya. Sementara PPKM darurat berakhir 20 Juli. Artinya, dukungan keuangan terlambat,” ungkap dia.

Kebijakan PPKM Darurat ini, lanjut dia, contoh bagaimana kebijakan penanganan pandemi tidak terstruktur, Pemerintah gagap dan tak belajar setahun kemarin. Ini perlu penangangan langsung Presiden.

 

“Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan 3 hari, padahal RS sudah bleeding keuangannya.  Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang,” kata pendiri Narasi Institute ini.

 

Matnoer berharap Jokowi segera  memanggil Menteri Keuangan  Sri Mulyani untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No.113/2020.

Tanpa perubahan Perpres sebagai payung hukumnya, APBN 2021 tak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat.

 

“APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian Delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar,” kata dia.

Sebab, patut diingat APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR seperti tercantum dalam Perpres No.113/2020 yang merupakan payung hukum perencanaan, penetapan dan pelaksanaan APBN 2021.

“Karena itu, perubahan APBN 2021 cukup dilakukan perubahan Perpres,” kata dia.

Ditegaskan, selain itu ada gap besar terkait kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, sehingga kesulitan dalam berkoordinasi. Koordinasi seharusnya berada di tangan Presiden, bukan menteri.

 

Untuk mempersempit gap leadership, PPKM tidak bisa dikoordinasikan selain Presiden. Bila varian Delta ini diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, Presiden yang harus memimpin counter attack dari serangan itu, bukan pembantu Presiden. Hanya Perintah Presiden yang mampu meredam. Presiden juga bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing,” demikian Achmad Nur Hidayat. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait