JAKARTA, Beritalima.com– Pakar komunikasi politik Muhammad Jamiludin Ritonga tidak begitu mempercayai hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei yang tumbuh bagaikan jamur pada musim hujan di tanah air beberapa tahun belakangan ini.
Soalnya, jelas pengajar metode penelitian komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta tersebut saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta pekan ini, lembaga survei itu lemah dalam pengambilan sampel.
Dalam hal ini, bapak dua laki-laki yang akrab disapa teman-temanya ‘Pak Dosen’ tersebut memberikan contoh terkait banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) khsusnya Kota Jakarta belakangan ini.
“Masak dalam melakukan polling terkait banjir Jakarta, respondennya bukan warga yang berdomisili di Jakarta atau sekitarnya, melainkan orang dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Bahkan yang lebih parah lagi, yang ditanya warga dari daerah ‘antah berantah’. Respondennya bukan hanya tak paham Jakarta, ke ibu kota saja tidak pernah,” kata dia.
Selain itu, jelas Jamil, acap kali pertanyaan yang diajukan kepada responden tersebut harus sesuai dengan keinginan dari lembaga survei, pihak yang memesan atau membiayai lembaga survei itu. “Caranya dengan memberikan pertanyaan menggiring pembaca. Misalnya, responden memilih jawaban iya atau tidak.”
Kelemahan lain, lembaga yang melakukan survei tak terbuka atau transparan karena tidak menyebutkan siapa saja responden yang ditanya serta dari mana biaya untuk melakukan survei itu. Untuk melakukan survei apalagi bersekala nasional seperti di Indonesia, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Menurut saya, hampir mustahil lembaga survei yang menjamur belakangan ini melakukan kegiatannya bukan karena pesanan dari kelompok tertentu dalam usaha menggiring opini publik. Apalagi, kalau lembaga survei itu menyebut mereka independen,” kata dia.
Untuk memenuhi ‘pesanan’ kelompok tertentu itu, boleh jadi yang menjadi responden lembaga survei hanya satu kelompok saja, misalnya mereka yang pro atau kontra.
Saya, kata Jamil, bukannya tidak percaya dengan survei. Tetapi lembaga yang melakukan harus terbuka baik dalam metode yang digunakan maupun daftar pertanyaan yang diajukan, dana untuk membiayainya, siapa saja responden termasuk tingkat pendidikan. ‘Dengan keterbukaan itu, kita dapat ketahui hasil survei itu valid atau tidak,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)